31 Desember, 2007

Cicero menutup tahun

Salus populi suprema lex esto!
Kebaikan umum haruslah menjadi hukum tertinggi!

Cicero (106-43 SM)
Politikus, ahli hukum dan filsuf.
Dikutip dari
De Legibus bagian III, 8.


***

Nyaris tengah malam, 31 Desember 2007.

Saya memandangi langit lewat jendela kamar kos.
Berbaju hangat tebal-tebal.
Beringus, terbatuk-batuk.

Kembang api mulai meraja di udara kota Leipzig.
Merah, kuning, hijau, ...
berpendaran,
ke segala penjuru langit yang pekat.


Menutup mata.
Bunyi-bunyi mercon itu demikian akrab.
Kampung halaman seketika menjadi sedepa tangan.

***

23:59 Uhr

Ich stehe und schaue hustend ins Fenster hinaus.
In der düsteren Höhe,
fangen
buntes Feuerwerk und Raketen an,
das neue Jahr zu begrüßen.

Oogh.. oogh... hustend!
Ein grossartiges Farbenspiel und der arme Ich.


Augen zu fühle ich mich diese Knalle so wohl
und zugleich annähernd.


Eine Sehnsucht nach zu Hause und der gesegnete Ich.



Membaca Kaum Muda

AM Lilik Agung
Kompas, 29 Desember 2007

Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Indra Jaya Piliang, Mohammad Sobary, Sukardi Rinakit, dan tulisan saya, Sonny Mumbunan. Semua tulisan tersebut terbit di Harian Kompas, masing-masing pada 15/12, 2/12, 4/12, dan 21/11, 2007.



Dari sebuah gang di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah patung manusia dengan wajah penguasa otoriter negeri ini dinaikkan ke atas becak dan diarak menuju tempat demonstrasi. Halaman depan Balairung Universitas Gadjah Mada semakin riuh atas kehadiran patung berwajah penguasa otoriter tersebut.

Peristiwa itu pantas dicatat dalam sejarah penumbangan rezim otoriter Orde Baru. Patung tersebut dibakar habis para demonstran. Inilah api yang menyulut demonstrasi akbar para mahasiswa di hampir seluruh pelosok Tanah Air.

Benar bila Indra Jaya Piliang menyebut bahwa gerakan mahasiswa 1998 bukan produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, dan Yogyakarta. (Kompas, 15/12/2007). Ketika para mahasiswa di Jakarta masih disibukkan dengan mengejar IPK dan jalan-jalan di mal, mahasiswa daerah lain (terutama Yogyakarta dan Bandung) harus menghadapi pentungan, gamparan, darah, penjara, penculikan, hingga kematian untuk demokrasi.

Namun, ketika Indra Piliang menyebut bahwa kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki tangan, buntung secara so- sial, tunasosial, dan tanpa keringat, pernyataan ini jadi cacat yang layak untuk di- gugat. Benar bahwa ada kaum muda Jakar- ta seperti apa yang disebut Indra. Namun, banyak kaum muda Jakarta yang utuh secara sosial dan bergelut dengan keringat untuk menegakkan keadilan sosial.

Sebagai contoh kasus yang dilakukan kaum muda profesional Jakarta (baca: pelaku bisnis). Ketika terjadi bencana di mana pun di negeri ini, kaum muda profesional Jakarta menjadi orang yang paling awal mendatangi korban bencana tersebut. Walaupun semua kegiatan tersebut bersifat karitatif, menandakan di tengah keterjepitan waktu mengejar target pekerjaan, para profesional muda Jakarta melek secara sosial. Hanya saja, aktivitas ini jauh dari publikasi media massa ataupun perbincangan politik karena mereka memang tidak ingin ditampilkan ke media massa seperti layaknya tokoh politik.

Bebas primordialisme

Pascagerakan mahasiswa 1998, tak bisa dielakkan mayoritas pelaku gerakan berlarian menyerbu Jakarta. Sebagian bergiat pada ranah politik praktis. Sebagian lagi bergiat di wilayah lembaga swadaya masyarakat, media massa, ataupun kampus. Tak sedikit yang menjadi profesional perusahaan atau menjalankan usaha sendiri.

Benar seperti apa yang ditulis Mohamad Sobary bahwa dibandingkan dengan tokoh-tokoh bisnis, media, keilmuan, dan LSM, tokoh politik kaum muda jauh tertinggal. Kualitas tokoh politik kita (kaum muda) hanya setingkat dengan stereotip yang kita lekatkan kepada pegawai negeri: seadanya, kurang kreatif, ogah berinisiatif, dan gigih menjaga "tradisi" tak bertanggung jawab (Kompas, 2/12/2007).

Mengharap kaum muda memimpin negeri ini jelas tidak bisa diharapkan hanya dari kaum muda yang sekarang bergiat di ranah politik. Kolaborasi menjadi tidak terelakkan antara tokoh politik dan tokoh bisnis, tokoh media, tokoh keilmuan, dan tokoh LSM. Mengoptimalkan tokoh bisnis muda untuk ikut memimpin menjadi sebuah keharusan.

Ada banyak keunggulan tokoh bisnis muda dibandingkan dengan tokoh-tokoh muda lainnya. Dari segi pendidikan, mereka sangat terdidik dan bahkan banyak lulusan universitas terbaik di luar negeri. Dari sudut ekonomi, mereka golongan masyarakat strata A yang tidak lagi takjub untuk bepergian ke luar negeri ataupun rapat di hotel berbintang. Dari sisi manajemen, mereka sudah bergaul intim dengan apa yang disebut cara mengelola organisasi secara efektif dan efisien. Lebih dari itu mereka relatif terbebas dari wawasan sempit primordialisme lantaran lingkup kerja dan pergaulan mereka sudah global. Hanya dua hal yang perlu dipoles dari mereka: kecakapan berpolitik dan kecerdasan menggerakkan massa.

Kapitalisme

Pepatah bijak Sun Tzu mengatakan bunuhlah ular dengan rumputnya. Pepatah ini pantas untuk menengahi opini Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/2007) dalam menjawab opini Sonny Mumbunan menyoal kereta baru milik kaum muda, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos), bisa jadi bakal mogok karena bahan bakarnya keliru pada aras konsep (Kompas, 21/11/2007).

Kaum muda era sekarang dibesarkan dalam sebuah tatanan kapitalisme global. Mereka melihat, merasakan, dan bergaul dengan kapitalisme. Ketika tiba-tiba mereka harus membendung dengan kereta bernama epasos jelas akan terengah-engah kehabisan napas. Cara paling cerdas, "meniduri" kapitalisme tersebut dengan aktif di dalamnya.

Pada dasarnya kapitalisme bersifat netral. Ia bisa digerakkan individu ataupun negara. Bahkan pada era ketika privatisasi BUMN sedang gencar dilakukan di negeri ini, justru di negeri tetangga BUMN mereka ramai-ramai mengakuisisi perusahaan swasta. Sebutlah contoh Temasek (Singapura), Petronas (Malaysia), atau yang paling fenomenal, yaitu Dubai Corporation (Uni Emirat Arab). Tiga raksasa besar BUMN ini yang bisnisnya menggurita dan "lebih" kapitalis dibandingkan dengan perusahaan multinasional seperti yang selama ini dipahami.

Lebih dari itu, kapitalisme bisa menjadi malaikat penyelamat apabila berada di tangan orang-orang bijak. Bisa disimpulkan gerakan filantropis global dengan penyandang dana nyaris tak terbatas berasal dari perusahaan multinasional ataupun perorangan yang sejauh ini dicap sebagai kapitalis buas. Bill Gates merupakan orang yang paling banyak mengucurkan dana untuk kegiatan filantropis. Di bawahnya ada Warren Buffet, Mike Bloomberg, dan George Soros yang jelas seorang kapitalis murni.

Pada sisi lain, para penganjur ekonomi jalan tengah, epasos, ekonomi kerakyatan, atau apapun namanya di negeri ini justru pendidikannya banyak dibiayai oleh perusahaan kapitalis, semisal Toyota Foundation, Ford Fondation, Rockefeller Foundation, hingga perusahaan lokal Astra Foundation dan Sampoerna Foundation. Ada dikotomi di sini. Pada satu sisi mereka menentang kapitalisme, tetapi di sisi lain mereka dibiayai kapitalisme.

Prinsip paling bijak ketika kaum muda memulai memimpin, mereka berkawan dengan kapitalisme. Jangan ketika kaki kanan bernama politik masih rapuh harus mengamputasi kaki kiri ekonomi dengan melawan kapitalisme. Sementara itu, konsep ekonominya sendiri masih diperdebatkan. Roda ekonomi sebuah negara bukan sebuah konsep, tetapi tindakan.

AM Lilik Agung Mitra pengelola High Leap Consulting, Praktisi bisnis.


28 Desember, 2007

Mengapa takut ekonomi pasar?

Komentar saya atas gagasan Ekonomi Pasar Sosial (Epasos) dan peran pasar oleh Muhammad Husni Thamrin dari Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta.


Tabea Thamrin,

tabea adalah kata santun yang biasa ditutur orang Minahasa, untuk membuka pembicaraan. Terima kasih untuk link-nya ke situs Kedai Kebebasan. Saya telah membaca tulisan tersebut.

Ada beberapa hal yang kurang akurat. Pertama, Andreas Mueller-Armack, seperti tertera di tulisan itu, adalah anak Mueller-Armack. Sementara peletak teori Soziale Marktwirtschaft (dengan "s" besar), yang saya singkat Epasos di Harian Kompas, adalah Alfred Mueller-Armack alias sang bapak.

Itu pertama. Kedua, menempatkan Ludwig Erhard, kanselir Jerman tahun 1963-1966, hasil koalisi partai CDU dan beberapa kelompok kecil partai konservatif dan liberal, sebagai "pusat" teori Epasos, seperti terkesan dalam tulisan Thamrin, menurut saya mengandung masalah.

CDU, Partai Uni Kristen Demokrat Jerman, sedikit-banyak dipengaruhi "sosialisme Kristen". Ini dapat dilihat dalam apa yang disebut Ahlener Program, milik CDU. Pengaruh tersebut, mesti ditempatkan dalam konteks politik Jerman secara menyeluruh, dalam mana tradisi dan gagasan sosialis berkembang dan melembaga dalam masyarakat Jerman. Ada yang berspekulasi, ini salah satu alasan mengapa Epasos menggunakan kata "sosial".

Dalam politik Jerman, Partai CDU berada di sebelah kanan SPD (partai sosial-demokrat Jerman). CDU berada lebih kanan lagi dari PDS (partai sosialis Jerman). Tetapi, CDU berada di sebelah kiri FDP (partai liberal Jerman). Partai yang disebut terakhir, sering disebut "kanan jauh", bukan karena konservatisme politik tapi karena menganjurkan keutamaan fundementalisme pasar, atau apa yang sering disebut secara serampang sebagai "neo-liberalisme".

Yayasan milik FDP adalah tempat di mana Thamrin bekerja sekarang. Friedrich Naumann Stiftung nama yayasan itu. Yayasan yang juga mendukung kegiatan Freedom Institute, Jakarta, lembaga lain yang menganjurkan keutamaan mekanisme dan solusi pasar dalam bidang ekonomi dan politik.

Saya menyinggung komposisi parpol Jerman di atas dengan maksud menunjukkan, mudah-mudahan, bagaimana ide Epasos berevolusi, termasuk interpretasinya. Alfred Mueller-Armack sendiri adalah anggota CDU. Ia bekerja dengan Ludwig Erhard, ketua CDU, ketika Erhard menjadi menteri ekonomi dan kemudian kanselir Jerman hasil koalisi. Dalam koalisi itu, partai kecil yang tergabung adalah FDP.


Thamrin yang baik,

barangkali adalah hal yang baik, dalam hemat saya, apabila Epasos dipahami menurut gagasan Alfred Mueller-Armack sendiri. Dus, tidak dipahami sebagai gagasan sintesa antara dia dengan Ludwig Erhard, misalnya yang tertulis dalam Manifest 72, karya mereka berdua. Gagasan Mueller-Armack merupakan gabungan ide-ide dari Walter Eucken dan Friedrich von Hayek tentang pentingnya pasar dan kompetisi, serta pengaruh gagasan "sosialisme kristen" (christliche Soziallehre), seperti saya singgung di atas, semisal kemaslahatan bersama dan perlunya solidaritas dalam bermasyarakat. Gagasan Soziallehre adalah hal yang lumrah ditemukan dalam nyaris semua denominasi Kristen di Jerman. Financial Times edisi Jerman, 23/02/2007, menyebut konsep Epasos itu lahir dari Klosterzelle. Dari bilik biara.

Epasos kelihatannya bukan milik kaum kiri, bukan pula milik kaum liberal seperti FDP. Menarik memang, bahwa dalam praktek, kedua kelompok ini berebut menggunakan nama Epasos. Partai liberal FDP kini bersiasat dengan meluncurkan Neue Soziale Marktwirtschaft, edisi anyar Epasos. Sementara, SPD, kaum sosial demokrat itu, setelah ditekan anggota serikat buruh, "meninggalkan" Epasos dan kembali menggunakan kosakata sosialisme demokratis. Di kolong langit, gagasan memang berevolusi.

Sekarang, soal memenangkan kesadaran orang banyak. Meyakinkan keunggulan liberalisme di depan kaum miskin, memang bukan hal gampang. Tanpa upah minimum, memberi kebebasan penuh pemilik pabrik untuk memecat buruh, atau bayar biaya sekolah dan layanan rumah sakit sendiri tanpa bantuan negara, misalnya, adalah gagasan yang sulit diterima kaum papa. Kaum liberal tulen, termasuk FDP, sepertinya harus taktis dalam diksi. Dalam pilihan kata atau slogan. Di sini, mereka harus ikut-ikutan tampil "populis". Termasuk menggunakan kata "sosial" dalam usulan kebijakannya.

Kepada teman-teman FDP saya, boleh juga kepada Thamrin, saya sering mengajukan pertanyaan sepele berikut.

Bila keutamaan liberalisme seperti yang diyakini FDP atau Friedrich Naumann Stiftung membawa kemaslahatan bersama, mengapa di Jerman, FDP hanya dipilih sekitar 10 persen pemilih, sepanjang sejarah partai mereka?

Kok, faedah "liberalisasi", "privatisasi", atau manfaat "pemenuhan kepentingan diri sendiri ( self interest)", tidak bisa para pemilih itu lihat sih?

Bodohkah para pemilih?

Tidak rasionalkah mereka, seperti anggapan kebanyakan "ekonom"?

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah politis. Cuma amatiran membaca politik, saya tidak akan berusaha menjawab ini dari perspektif politik. Saya membaca behavioral economics dan ekonomi eksperimental. Menghindari ketimpangan, adalah sentimen moral ekonomi yang secara robust telah teruji dalam bidang ilmu yang saya sebut itu. Sudah tentu, ada beberapa catatan dan syarat kelembagaan terkait robustness tersebut. Meski demikian, tetap terdapat satu kecenderungan umum. Yakni, dalam banyak masyarakat, preferensi atas egalitarianisme mendapat tempat yang penting. Dan tidak bisa diabaikan.

Boleh jadi, ini salah satu sebab, mengapa fundamentalisme pasar yang memberikan penekanan pada self-regarding, pada Aku, dan bukan other-regarding, atau pada Yang Lain Selain Aku, kurang punya cukup resonansi dalam masyarakat. Sebagaimana ditunjukkan kecilnya perolehan suara FDP. (Catatan 29/12/07: Sebaliknya, ketidakmunculan perilaku other-regarding dari tindakan yang mencederai keadilan yang dirasa, perceived, adalah hal yang juga ditemukan dalam riset-riset terkait. Persepsi atas keadilan distributif atau kerelaan untuk kerjasama sosial merupakan hal-hal yang bersyarat dan tergantung konteks).

Selanjutnya tentang pasar. Menyoal pasar membuat kita masuk pada diskusi yang kompleks. Demikian pula ketika kita menyoal peran negara. Terdapat konteks dan syarat-syarat kelembagaan spesifik yang mesti ditelisik lanjut dalam dua bentuk mekanisme pembagian sumberdaya tersebut. Termasuk diskusi usulan di antara dua mekanisme itu. Kita butuh kesempatan lain untuk keperluan itu.

Di satu hal, pasar dapat berperan menyejahterahkan. Pasar membawa manfaat. Pasar, misalnya, berperan menghindari pemusatan kekuasaan dan pemburuan rente. Atau menyediakan harga dengan surplus konsumen/produsen yang lebih besar, dibanding tanpa pasar. Dengan pasar, kita berkesempatan mendapatkan harga barang atau jasa yang (relatif) lebih murah dengan kualitas yang sepadan, atau lebih baik.

Di lain hal, pasar punya efek menghancurkan. Misalnya, solusi cabut subsidi pendidikan dan kesehatan dalam rangka disiplin fiskal untuk stabilisasi ekonomi makro seturut mekanisme pasar (seperti di anjurkan IMF). Menghancurkan, terutama untuk negara dengan warga yang demikian bergantung pada jasa sektor publik, luasnya sektor informal, dan tak dilengkapi jejaring pengaman sosial, seperti negeri kita. Tentu, mencabut subsidi BLBI bagi para sub-klien IMF, terkait contoh ini, adalah hal baik berkait perlunya pendekatan pasar. Bukan begitu?

Salah satu bidang dimana pendekatan pasar berdampak paling merusak adalah lingkungan hidup, misalnya tentang eksternalitas. Contoh lain adalah aspek entropi yang lekat dengan konsumsi tak ramah ekologi. Ini tidak bisa ditangani mekanisme pasar. Pasar bagian dari persoalan itu sendiri.

Salam,
S. Mumbunan


26 Desember, 2007

Natal dalam sekantong tas plastik


Majalah Der Spiegel, Jerman, dalam edisi online 25 Desember 2007, memuat foto anak-anak di satu kawasan miskin di kota Manila, Filipina.

Anak-anak itu berharap, mendapat sesuatu yang bisa dimakan saat Natal. Plastik kuning dalam foto ini berisi makanan.


Di wajah mereka, kita barangkali menemukan pernyataan Natal yang paling jujur. Dan getir.


Catatan pinggir: Salah satu ucapan Natal paling awal pada saya, datang dari sahabat karib, seorang peneliti di University of the Philippines. Dulu, dia pernah mengirim kartu memikat, dengan gambar yang dilukis anak nelayan Filipina.

(Kredit foto: Reuters)


25 Desember, 2007

Pohon kecil

Aku mencintaimu.
Siapa namamu?

Di matamu berpendar damai.
Jemarimu beku.

Mangkuk mungil.
Dan boneka kain.
Kau gantung di pohon kecil.

Yang papa.
Sendiri.
Menggigil.

Pohon kecil itu milik kalian.


S. Mumbunan
Leipzig, 25 Desember 2007



19 Desember, 2007

Korupsi Kukar, korupsi Minut

Harian Komentar (Manado), "Mumbunan: Kasus Kutai Kartanegara-Minut miliki kesamaan", 23 Maret 2007.


Dugaan korupsi Bupati Kutai Kertanegara (Kukar) HR Syaukani yang belakangan juga turut menyeret Bupati Minahasa Utara (Minut) Vonnie Panambunan sebagai saksi mendapat perhatian serius masyarakat.

Kandidat doktor ilmu ekonomi Universitas Leipzig, Sonny Mumbunan, yang juga warga Minut menyatakan dari telaahnya ada kesamaan antara kasus korupsi Syaukani dengan beberapa dugaan penyimpangan pemanfaatan dana publik di Minut.


Modus korupsi dengan memobilisasi sumber daya masyarakat secara sepihak dan relatif tertutup melalui atau dengan mendagangkan aset pribadi pada negara untuk memburu keuntungan melalui penggelembungan nilai pengadaan barang sebagaimana di Kutai Kertanegara pantas diduga terjadi di Minut, ujar Mumbunan.


Secara khusus, Mumbunan menunjuk kasus rumah sakit di mana diduga terjadi penggelembungan nilai beli tanah jauh di atas kewajaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Serta, pembelian itu dilakukan tanpa kajian memadai, termasuk rencana relokasi SMP Negeri 1 Airmadidi, salah satu situs pendidikan bersejarah.

Bila kondisinya demikian, jelas berpotensi merugikan negara dan menghilangkan kesempatan masyarakat memperoleh sarana dan layanan lebih optimal dari jumlah satuan sumber daya yang sama, papar Mumbunan.


Sementara ditanggapi aktivis Center for Alternative Policy (CAP) Pitres Sombowadile, ada baiknya KPK membuka slot penyelidikan baru atas pola dugaan penyelewengan sumber daya publik di Minut. Apalagi, ucapnya, kasus RS Airmadidi pernah dalam penyelidikan kejaksaan.


Sangat tepat bila KPK mengambil alih kasus itu, karena hubungan modus dengan kasus Kutai Kertanegara dan Bupati Minut juga salah satu figur yang turut diperiksa dalam kasus Syaukani, kata mantan Direktur Eksekutif Yayasan Suara Nurani, Tomohon ini.


Dirinya juga mempertanyakan Polres Minut yang menjadikan Mumbunan sebagai tersangka pencemaran nama baik dan penghinaan pejabat negara.


Upaya polisi bisa ditafsir mengkriminalisasi partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, yang jelas-jelas dijamin UU Nomor 31 Tahun 1999, UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, katanya. (von)

Bupati Minahasa Utara gugat warga sendiri

Harian Komentar (Manado), "Bupati Minut gugat lima warganya milyaran rupiah", 3 Mei 2007.


Bupati Minahasa Utara (Minut), Vonnie Anneke Panambunan secara resmi melayangkan gugatan kepada lima warganya masing-masing Sonny Mumbunan, Noris Tirajoh, Christian Kawatu, Stenly Kandou, Toar, dan turut tergugat Peggy Mekel melalui PN Manado.

Gugatan yang dilayangkan Panambunan tersebut dengan nomor perkara 79/Pdt. G/2007 disampaikan melalui penasehat hukumnya Hari Purwadi SH dan Ali Antonius SH.

Dalam gugatannya tersebut, Panambunan dinyatakan tersinggung dengan kegiatan diskusi yang digelar tergugat yang difasilitasi Komite Rakyat Minut pada awal Maret 2007 lalu. Di mana dalam kegiatan tersebut para tergugat mengangkat tema ‘Merampok Minut? Korupsi Sumber Daya Publik dan Pemerintahan Vonnie Panambunan’.

Mereka dinilai telah melakukan pencemaran nama baik sehingga melanggar Pasal 1365 dan 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP).

Mereka juga dalam kegiatan tersebut menyinggung bahwa Panambunan terlibat dalam dugaan korupsi Bupati Kutai Kertanegara, H Syaukani yang kini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu pengalihan aset pribadinya menjadi aset Pemerintah Kabupaten Minut juga dikatakan dengan membuat transaksi yang telah membebani rakyat.

Dalam gugatan tersebut, karena merasa tercemar nama baiknya, Panambunan memintakan ganti rugi Rp 3 miliar kepada tergugat I dan II sementara tergugat III sampai V dimintakan Rp 1 miliar.

Selain itu, jika putusan diterima mereka juga diminta membayar Rp 100 ribu per hari sampai ganti rugi dibayarkan. Persidangan perkara tersebut pekan ini se-benarnya sudah memasuki agenda jawaban tergugat yang diwakili penasehat hukum Maharani SH. Namun pihak tergugat belum bisa menghadirkan jawabannya sehingga sidang ditunda pekan mendatang. (gra)

***


Baca juga berita terkait ...

Korupsi Kukar, Korupsi Minut [ klik sini ]

PAD bocor di Pasar Airmadidi, Minahasa [ klik sini ]


***

PAD bocor di Pasar Airmadidi, Minahasa

Harian Komentar (Manado), "Hindari kebocoran retribusi pasar, dibutuhkan profesionalitas", 7 Maret 2007.

Catatan: Airmadidi adalah ibukota kabupaten Minahasa Utara, di Sulawesi Utara.


Kemampuan keuangan daerah memang tak dapat lepas dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu, PAD menjadi satu-satunya pendapatan yang diandalkan oleh daerah.


Dengan demikian, sumber PAD yang ada harus dikelola secara maksimal dan profesional. Sebab, ini menyangkut kelangsungan jalannya roda pemerintahan dan pembangunan daerah. Namun sayangnya sumber-sumber penghasil PAD yang ada di Pemkab Minut dewasa ini, contohnya seperti Pasar Airmadidi, justru banyak mengalami kebocoran.

Sehingga tidak mengherankan jika dalam satu tahun, tepatnya laporan tahun 2006, tarikan retribusi pasar hanya mampu menyetor sekitar Rp 70,1 juta. Padahal idealnya, jika retribusi pasar ini dikelola dengan baik mampu menghasilkan sekitar Rp 600-800 juta per tahun. Bahkan dapat berpotensi mencapai Rp 1 miliar.


Data tersebut merupakan hasil riset yang dapat dipertanggungjawabkan. Di mana didasarkan pada kriteria, Pasar Airmadidi merupakan pasar kelas satu yang tentu saja mampu menghasilkan PAD antara Rp 600-800 juta, ujar ekonom asal Minut, Sonny Mumbunan, yang saat ini merupakan kandidat doktor di Universitas Leipzig, Jerman, kepada wartawan, Selasa (06/03) kemarin.


Lebih lanjut, Mumbunan menerangkan, bahwa penyebab kebocoran tarikan retribusi tersebut disebabkan oleh sejumlah hal, antara lain, rendahnya tingkat pengumpulan retribusi baik dari sisi pedagang maupun petugas pasar yang sama-sama tidak melakukan kewajibannya. Bahkan tidak membayar retribusi sesuai ketentuan yang ada.

Sementara itu, dari sisi otoritas pemungut retribusi atau dinas pasar di Pasar Airmadidi, diduga bahwa penyebabnya adalah penerimaan yang sudah diatur sesuai perda tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Demikian juga dengan rendahnya upaya pemungutan retribusi. Hal-hal seperti ini semestinya akan dapat dihindari jika ada pengelolaan yang profesional, tukasnya kembali.


Di sisi lain, Mumbunan juga mengingatkan bahwa semua masalah tersebut dapat diatasi apabila tingkat pengumpulan retribusi pedagang di Pasar Airmadidi yang jauh dari tingkat potensialnya, dilakukan perbaikan.


Yakni dengan solusi pembuatan kebijakan yang meliputi struktur insentif yang mendorong atau memfasilitasi usaha maksimalisasi pemungutan retribusi hingga mendekati nilai potensialnya. Dan tentu saja satu hal yang harus dilakukan adalah evaluasi retribusi tambahnya.(eda)



18 Desember, 2007

Kaum muda tanpa kaum

Oleh Indra Jaya Piliang
Kompas, 15 Desember 2007

Catatan: Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan tulisan saya (Sonny Mumbunan, Kompas, 21/11/2007), Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/2007) dan Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/2007).

Atas nama amanat penderitaan rakyat, mari kita tafakur, berpikir dan berzikir. Juga, atas nama kita sendiri, kaum muda (pergerakan) Indonesia.

Kita tidak perlu dulu berpikir dengan konsep karena itu milik filsuf. Revolusi tidak pernah lahir dari konsep, melainkan dari pamflet, grafiti di tembok-tembok kota, lukisan-lukisan kepal tangan, juga karikatur-karikatur yang membentangkan kesenjangan sosial. "Demokrasi Kita" yang ditulis oleh Bung Syahrir juga berupa pamflet, sebagaimana halnya dengan "Common Sense" citarasa Thomas Paine di Amerika Serikat sana.

Tentu kita juga tidak perlu bertanya tentang dari mana kita mulai. Apakah lewat gerontokrasi, karakter-karakter dinasti politik, oligopoli ekonomi, ataupun hanya sekadar pedagogi hitam di dunia pendidikan. Yang jelas, tempat berpijak yang harus mulai dipikirkan agar kokoh adalah tentang kaum muda itu sendiri. Spesies apakah kaum muda itu? Apakah ia hanya berupa kaum Hobbit dalam Lord of The Rings yang membawa cincin untuk dimusnahkan? Ataukah para kurcaci dalam dongeng putri salju?

Kaum atau perkauman adalah sekumpulan komunitas yang memiliki karakter yang berbeda dengan komunitas yang lain. Ia tidak pernah sama, apalagi serupa, karena latar budayanya memang berbeda, dibentuk oleh pahatan sejarah yang berlainan dan kosmologi pikiran inkoheren. Muda ada pada batasan usia atau spirit yang menonjolkan sikap anti-status quo, kontra-kemapanan dan nihil-kemanjaan.

Pergerakan sendiri memiliki dimensi ombak, bukan karena ada perahu yang lewat atau peselancar bermain di atasnya, melainkan mempunyai energi potensial yang menyebabkan ia terus mengalir.

Garis batas

Dari sini, kaum muda adalah sekumpulan orang yang membentuk komunitas—entah epistemis, ideologis, atau hanya sekadar calo-calo kekuasaan—yang mempunyai kosmologi pikiran yang berbeda dengan kaum tua. Sebagai pergerakan, kaum muda tidak menyukai patung-patung pahlawan yang didatangi oleh para penguasa dalam hening upacara bendera selama lima menit.

Kaum muda yang bergerak juga menantang doktrin-doktrin yang dianggap sebagai kesesatan pikiran, terutama yang diproduksi oleh negara. Dari sini, sebetulnya, kaum muda memiliki musuh yang jelas, yakni negara yang serakah, kepemimpinan absolut, dan pengabaian atas ilmu pengetahuan.

Dan, semakin jelas bahwa kaum muda itu bukanlah orang-orang yang berubah menjadi para pencinta jalan-jalan kenabian sehingga rela diludahi atau dicambuk oleh para pemilik kekuasaan. Kaum muda, karena ia bergerak, adalah orang-orang yang terpukau pada kehidupan. Dengan bentangan usia yang masih lama lagi menghirup udara, dibandingkan dengan kaum tua sesuai dengan tuntutan alamiah, kaum muda memilih jalan kehidupan dan barangkali sebagian (besar) mencintai kehidupan itu sendiri.

Ada garis batas yang jelas tentang ini, yakni kaum muda lebih merasa berhak menentukan masa depan, sementara kaum tua silakan bicara tentang masa lalu. Pertentangan menjadi tidak terelakkan ketika Sukardi Rinakit (Kompas, 04/12/2007) dan Mohamad Sobary (Kompas, 02/12/2007) lebih banyak mendiskusikan masa lalu, sembari menaruh nama Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, atau Tan Malaka, ketimbang Sonny Mumbunan (Kompas, 21/11/2007) yang dingin menatap masa depan.

Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, atau Tan Malaka hanyalah diorama dalam museum-museum sejarah yang daya pikatnya makin mengilat ketika sejarah dan kebudayaan hanyalah warisan dari perilaku kita mengelap-elapnya supaya makin bersinar dan bercahaya.

Sebuah pamflet kaum muda hari ini lebih layak dijadikan acuan ketimbang memberati dengan berton-ton timbunan dokumen-dokumen pikiran yang sebagian besar juga gagal sebagai capaian. Apakah marhaenisme berhasil ketika Soekarno masih menjadi presiden selama 20 tahun? Atau ia hanya berhasil ketika dirumuskan, sebagaimana juga "Demokrasi Kita" Bung Syahrir yang mendasarkan diri kepada humanisme? Barangkali Bung Hatta juga tidak sampai selesai mengembangkan sebuah koperasi, seberhasil Muhammad Yunus menerapkan di bumi Banglades sana. Tan Malaka, ia terobsesi kepada revolusi dan terbunuh karena itu.

Tanpa Jakarta

Lalu, dari mana kita harus memulai? Sekali lagi, apakah kaum muda sudah memiliki kaum? Jangan-jangan yang dimiliki hanyalah auman melengking dalam kandang-kandang besar bernama konsumerisme, hedonisme, gaya hidup, atau jepretan kamera-kamera digital.

Barangkali, kaum muda hanyalah bagian dari kaum muda digital itu yang menilai revolusi hanya sekadar pemberitaan masif di media. Media, dalam zaman ini, hanya alat penampung, medium pemuai, dari segala jenis informasi yang telah dicabik-cabik dan dibingkai sesuai dengan segala jenis paradigma para pekerjanya.

Kaum muda yang memiliki kaum barangkali hanya hadir sesaat, selintas, dalam media yang sebenarnya. Ia menjadi bagian dari representasi sosial masyarakatnya. Ia berlumpur di Sidoarjo, berkoteka di hutan rimba Papua, bermukena di meunasah-meunasah Aceh, serta berselimutkan belerang di kaki-kaki bukit bekas galian.

Di laut-laut ganas mereka hanya berpendidikan sekolah dasar atau tidak tamat sekolah dasar, lebih dari 80 persen, dengan perahu-perahu yang mudah karam. Di desa-desa, mereka berhadapan dengan hama, perubahan iklim, dan para tengkulak. Kaum muda yang berkaum itu tidak lagi sempat membaca koran, melihat televisi, atau mendengarkan radio. Semua itu hanyalah benda-benda mewah hasil kerja para orang tua yang ingin menikmati masa tuanya.

Kaum muda Jakarta bukanlah representasi sosial dari kaum muda seperti itu. Kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki dan tangan. Kaum muda yang buntung secara sosial. Kaum muda yang tuna sosial. Kaum muda Jakarta adalah kaum muda tanpa keringat. Yang ada hanyalah pikiran tak berakar dan amanat tanpa alamat. Maka, ketika kaum muda Jakarta menciptakan sebuah ikrar, tentu ia ibarat teriakan di sebuah lembah yang terdengar disahuti, padahal memantul sendiri, berkali-kali.

Jadi, tanpa melibatkan kaum muda yang punya kaum, saya sepakat agar diskusi soal kaum muda ini lebih baik diperdengarkan secara berbisik. Tidak perlu diteriakkan, apalagi dianggap sebagai tawaran sebuah perubahan. Saya sudah menjadi saksi—semoga kita tidak lupa—bahwa gerakan mahasiswa 1998 pun bukanlah produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, atau Yogyakarta.

Benar, kemudian lebih banyak yang terluka dan terbunuh di Jakarta, tetapi yang mengawali tetap sebagai awal, selebihnya menjadi pengawal. Pasukan terbaik Napoleon Bonaparte pun tidak diambil dari kota Paris atau tentara Romawi dari kota Roma, melainkan berasal dari daerah-daerah pinggiran. Kaum muda yang tanpa kaum hanya akan menjadi kue panggang yang tidak matang dalam oven perubahan.

Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Kaum muda

Oleh Sukardi Rinakit
Kompas, 4 Desember 2007

Catatan: Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/2007) dan tulisan saya (Sonny Mumbunan, Kompas, 21/11/2007).


Bacalah koran, lihatlah televisi, dan dengarkanlah radio. Dengan mudah kita akan berkesimpulan bahwa banyak orang, termasuk para elite Republik ini, hanya menonjolkan kepentingan diri sendiri dan kelompok. Mereka terampil memaksakan kehendak, saling tuduh, mempermainkan hukum, dan tega mengorbankan anak sebangsa yang dililit kemiskinan dan pengangguran.

Itulah yang meresahkan kaum muda. Keprihatinan yang sama atas kedaulatan bangsa yang rapuh, kesedihan yang sama atas menipisnya kebanggaan sebagai bangsa, membuat kaum muda ini sering bertemu. Alam bawah sadar mereka dicekam rasa malu kepada ketiga bung besar: Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir. Di dalam mimpi mereka dihantui pesan ketiga bung itu, "Kami wariskan sebuah Republik, kalau kamu bisa menjaganya!"

Kang Sobary

Jadi keprihatinan pada nasib anak-anak sebangsa itulah yang membuat kami berkumpul, Kang Sobary. Bukan untuk tujuan sempit menuntut hak, apalagi merengek-rengek meminta giliran memimpin (Kompas, 2/12/2007). "Ikrar Kaum Muda Indonesia" yang dikumandangkan 28 Oktober lalu itu ingin mengingatkan kita semua agar taat asas dalam membangun negeri ini.

Negeri ini berdiri dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.

Harus jujur diakui, selama ini para pemimpin masih kurang taat asas pada pencapaian tujuan nasional tersebut. Oleh sebab itu, kaum muda merasa terpanggil untuk mengembuskan angin sejarah biar air laut bergolak dan bumi bergetar. Biar semua komponen bangsa, terutama para pemimpinnya, terbangun dan bekerja mati-matian untuk bangsanya. Itulah wiridan kami.

Di depan mata, India akan segera menguasai produk software dunia, China akan segera merajai produk hardware dunia. Kita bisa nowhere jika para pemimpinnya hanya mengeluh (kurang tidur atau "cuci piring" yang ditinggalkan pesta kekuasaan sebelumnya, misalnya) dan menikmati kebun mawar kekuasaan. Seperti di India dan China, kaum muda mendominasi ranah ekonomi dan politik serta menjadi motor penggerak utama kemajuan. Indonesia dituntut melakukan hal yang sama jika ingin mengejar ketertinggalan.

Pergerakan Kaum Muda Indonesia ingin membangun optimisme dan mimpi bersama. Ia mewadahi siapa pun. Ada rektor, pengusaha, tokoh-tokoh LSM, peneliti, tokoh buruh, nelayan, petani, seniman, dan lain-lain. Pluralisme menjadi kesadaran bersama. Mimpi kami satu: ingin seluruh rakyat Indonesia bisa mesem (tersenyum) karena cukup pangan-sandang-papan dan biaya sekolah serta kesehatan terjangkau.

Kang Sobary, Pergerakan itu memang masih embrio. Ini bukan anak-anak muda, ini Pergerakan Kaum Muda. Jadi siapa pun yang tulus dan peduli pada perwujudan tujuan nasional, berapa pun usianya, dia adalah kaum muda. Sosok seperti Kang Sobary otomatis menjadi "bagian" dari pergerakan ini karena kepedulian Anda pada tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Pergerakan ini tidak diam, Ia ibarat api dalam sekam. Secara mandiri para aktivisnya sedang bergerak ke daerah-daerah sekarang ini.

Bung Sonny Mumbunan

Selain Kang Sobary, sosok yang secara otomatis menjadi bagian dari Pergerakan Kaum Muda Indonesia adalah Bung Sonny Mumbunan. Dari Helmholtz Gemeinschaft (Jerman), dia mempertanyakan apa konsep kaum muda untuk membangun Indonesia. Selain itu, juga memperingatkan bahwa kereta baru milik kaum muda, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos), bisa jadi bakal mogok karena bahan bakarnya keliru pada aras konsep (Kompas, 21/11/2007).

Bung Sonny memperingatkan bahwa epasos bukanlah sekadar mencangkok yang baik dari kapitalisme, seperti efisiensi pasar dengan apa yang baik dari sosialisme seperti akses dan kendali semua orang atas sumber daya. Tentu peringatan demikian sangat berguna bagi penyusunan paradigma pembangunan untuk revitalisasi Indonesia.

Secara filosofis, apa yang saya bayangkan dari epasos model Indonesia adalah menempatkan keluarga sebagai unsur dominan dalam paradigma pembangunan berdampingan dengan negara. Negara-negara kesejahteraan Eropa selama ini menempatkan keluarga dalam kotak marjinal bersama dengan pasar. Adapun negara mempunyai peran dominan. Sebaliknya, negara-negara penganut neoliberal, seperti Amerika Serikat, menempatkan pasar dalam kotak dominan. Sementara itu, peran negara dan keluarga adalah marjinal.

Pada kedua sistem itu, keluarga dianggap marjinal. Inti kekuatan hanya ditempati negara atau pasar. Fenomena ini kemungkinan dipengaruhi oleh cara pandang Aristotelian yang berpendapat bahwa politik berhenti ketika sampai pada tingkat keluarga. Padahal dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, peran keluarga sangat besar. Bukan "keluarga" dalam arti sempit, yang memperkaya anak-cucu atau bagi-bagi jabatan untuk sanak saudara. Sistem kekerabatan seperti model ninik-mamak dan kebijakan tradisional mangan ora mangan asal ngumpul (makan tidak makan asal kumpul) adalah katup pengaman sekaligus energi dasar bagi pemberdayaan bangsa.

Dengan istilah lain, paradigma pembangunan Indonesia menitikberatkan pada pembangunan sistem dengan basis utamanya adalah negara dan keluarga. Tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pun adalah pembangunan sistem, bukan individu-individu. Dari dasar filosofi ini, diturunkan program aksi yang taat asas, yaitu baik struktur maupun isinya sesuai dengan tujuan nasional tersebut.

Dengan demikian, paradigma pembangunan Indonesia yang dipikirkan kaum muda bukanlah sekadar cangkokan. Bahkan inti pemikirannya telah diletakkan oleh para bapak bangsa jauh hari sebelum Alfred Mueller-Armack (1956) meletakkan teori epasos. Saat ini, Pergerakan Kaum Muda sedang menggarap konsep, paradigma pembangunan, manifesto, dan program aksi kebijakan. Pasti ada calon pemimpin yang komitmen menjalankan manifesto tersebut.

Semoga seluruh rakyat Indonesia suatu hari nanti bisa mesem dan kaum muda tidak dihantui mimpi ketemu ketiga bung besar yang selalu berkata, "Kami wariskan sebuah Republik, kalau kamu bisa menjaganya!"

Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate

Ekonomi pasar sosial?

Sonny Mumbunan
Kompas, 21 November 2007


Belum lama ini, kaum muda membuat ikrar. Saatnya yang muda, progresif, dan kerakyatan memimpin. Bagi mereka, kereta sejarah sekadar berhenti sebentar di stasiun bernama kapitalisme.

Dalam usulan tata ekonomi-politik masyarakat baru, kaum muda mengajukan sosial-demokrasi (sosdem) dan ekonomi pasar sosial (epasos) dalam satu tarikan napas. Pengamat politik Sukardi Rinakit, pengucap ikrar, menulis sketsa tentang tata masyarakat itu (Kompas, 9/10/2007).

Agaknya, kereta baru milik kaum muda itu bakal mogok. Bahan bakarnya keliru pada aras konsep. Tak serupa dengan pemahaman umum, epasos bukan seperti mencangkok buah mangga. Apa yang baik dari kapitalisme, efisiensi pasar misalnya, disandingkan hal-hal baik dari sosialisme, seperti akses dan kendali semua orang atas sumber daya. Diharapkan buah hasil cangkok adalah pasar yang berkeadilan sosial.

Peletak teori epasos, Alfred Mueller-Armack (1956), tidak bermaksud membuat cangkokan seperti kaum muda itu.

Dalam pandangan ekonom, sosiolog, dan anggota Partai Kristen Demokrat Jerman (CDU)—partai penganjur keutamaan pasar—persaingan harus menjadi prinsip utama koordinasi dalam pengelolaan masyarakat. Inti konsepnya, Soziale Marktwirtschaft, yang di sini disingkat epasos, diperas dari pikiran Friedrich von Hayek dan Walter Eucken, penganjur ekonomi pasar liberal.

Ide epasos

Ide epasos dibangun di atas keutamaan ekonomi pasar yang kompetitif, saat inisiatif bebas setiap orang di bidang ekonomi yang dipilihnya secara bebas dijamin. Untuk itu, diperlukan kerangka kelembagaan (rahmenordnung) yang secara jelas menjamin persaingan. Pada titik ini, pada kadar tertentu, ada kemiripan usulan kelembagaan Mueller-Armack dengan yang sering diajukan ekonom Faisal Basri, tokoh yang turut berikrar.

Apa yang sosial dalam epasos? Kerangka kelembagaan itu menjamin pencapaian pribadi dalam seluruh bidang kemajuan masyarakat, bersamaan sistem perlindungan sosial untuk lapisan yang secara ekonomi lemah. Campur tangan negara harus sepadan dengan ekonomi pasar sesuai penciptaan pendapatan yang terkait pasar. Artinya, tujuan sosial harus melalui kebijakan yang "taat pasar" (marktkonforme). Lugasnya? Tujuan sosial tidak boleh dicapai dengan mengganggu mekanisme harga dalam sistem pasar.

Berikut contoh kebijakan yang mirip epasos. Perlindungan warga miskin akibat pencabutan subsidi BBM tidak boleh mengganggu mekanisme pasar dalam penentuan harga BBM. Subsidi BBM harus dicabut karena tidak sesuai dengan mekanisme pasar dan tidak efisien. Lalu, rakyat paling miskin serentak mendapat bantuan yang terdefinisi, tidak menyeluruh. Dalam epasos, ini efisien sekaligus sosial.

Contoh lain soal air. Harga air yang terjangkau orang miskin tidak boleh mengganggu prinsip cost recovery dalam pengadaan air secara keseluruhan. Dalam epasos, privatisasi PDAM dan prinsip harga air ala pasar tetap harus dijalankan.

Bagaimana dengan sosdem? Pemilahan politik lazim menempatkan sosdem pada sebelah kiri spektrum. Karena kapitalisme dalam produksi sosial diyakini berpotensi meminggirkan sebagian besar masyarakat, sosdem menjadi "penawar" bagi "racun" kapitalisme. Pokok ini tidak dilihat dengan pendekatan ekonomistis semata. Dalam sejarah dan praktik politik, wujud dan isi sosial-demokrasi lebih sering merupakan buah pertarungan ide dan kebijakan, antara yang "kiri" dan "kanan".

Tindakan ganjil pernah dilakukan Partai Sosial Demokrasi Jerman (SPD). SPD mengambil konsep epasos sekaligus mencomot namanya. Wujud kebijakan itu tampak nyata di bawah pimpinan Gerhard Schroeder. Hasilnya? Sosdem yang awalnya dikonsepkan menjadi penawar kapitalisme berubah menjadi pendukung fungsi mekanisme pasar. SPD ditinggalkan pendukung tradisionalnya, anggota serikat buruh. Partai sendiri pecah.

Pada hari yang sama, 28 Oktober 2007, saat elite muda di Jakarta berikrar di Gedung Arsip Nasional, SPD menutup kongres partai di Hamburg, Jerman. Dalam kongres, mayoritas anggota partai sepakat "meninjau ulang" konsep ekonomi pasar sosial dan "kembali" kepada visi sosialisme demokratis, yang menjadi prinsip tindak-tanduk politik (Hamburger Programm—Grundsatzprogramm der SPD, Oktober 2007). Program partai sebelumnya ditulis 18 tahun lalu, saat sosialisme negara di ujung bangkrut dan neoliberalisme menguat di bawah Ronald Reagan dan Margareth Thatcher.

Hari-hari ini, menindaklanjuti amanat kongres, SPD mengevaluasi koalisi pemerintahannya untuk berbagai tema seperti upah minimum atau privatisasi badan usaha milik negara. Bersama Partai Kristen Demokrat (CDU) dan Partai Uni Sosial Kristen (CSU), SPD menjalankan pemerintahan koalisi dengan Angela Merkel (CDU) sebagai kanselir.

Asal comot

Epasos rupanya bukan milik kaum "progresif kerakyatan", seperti dipahami pengikrar. Maka, kaum muda itu dituntut mendefinisikan secara jelas dan runtut isi konsepnya. Tidak kalah penting, mencari nama konsepsional baru yang lebih cocok dan "bukan asal comot" nama.

Negeri yang kaya tetapi banyak orang miskin ini terlalu ruwet untuk ditangani sebuah aliran pemikiran. Diharapkan, di masa datang, berbagai kelompok anak muda lain kian berani tampil, percaya diri, dan terbuka, berkata "kami bangga jadi neoliberal!", sebagai tanggapan kian meluasnya sentimen sosialis.

Perdebatan aneka kutub pemikiran akan menentukan mutu gagasan negara kesejahteraan, sosial-demokrasi, atau kecenderungan abstraksi lain dalam label jalan ketiga. Kebiasaan cangkok-mencangkok pemikiran, yang sering berlawanan ide logisnya, bisa pelan-pelan dikurangi. Dari situ, semoga demokrasi dapat didalamkan, dengan definisi baru atas peran pasar, negara, dan komunitas.

Orang-orang muda pun tak kurang bermasalah dengan gerbong keretanya. Dalam demokrasi parlementarian, partai politik adalah alat artikulasi konsep paling memadai dan menyeluruh. Perlu bagi kaum muda membangun partai sendiri untuk memenangkan konsep tentang bentuk-bentuk pembagian sumber daya dalam masyarakat secara adil sekaligus efisien. Jika tidak, tudingan akan datang, mereka sekadar meminta kekuasaan dari kaum tua yang mereka kritik. Atau, ikrar mereka dianggap sekadar sebuah pembicaraan santai akhir pekan.

Tanpa partai, di atas Bumi, tak ada yang bisa ditumpangi kaum muda menuju stasiun sejarah berikutnya. Apa pun nama stasiun itu. ***

Sonny Mumbunan, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi; Meneliti di Helmholtz Gemeinschaft, Jerman.


Baca juga

  • Kaum muda - Sukardi Rinakit. Kompas, 4 Desember 2007.

Updates

Tulisan "Ekonomi pasar sosial?" menggunakan atau dipengaruhi kepustakaan berikut

Eucken, Walter. 1948. Das Ordnungspolitische Problem. ORDO 1, hal. 56-90.

Müller-Armack, Alfred. 1956/1996. Wirtschaftsordnung und Wirtschaftspolitik, Freiburg im Breisgau, hal. 243-249.

Nachtwey, Oliver. 2007. Die SPD verliert ihren Identitätskern. Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung, 16 September, hal. 15.

SPD, 2007. Hamburger Programm - Grundsatzprogramm der Sozialdemokratischen Partei Deutschland. Di akses dari http://parteitag.spd.de/servlet/PB/
show/1731523/Hamburger%20Programm_final.pdf, pada Oktober 2007.


16 Desember, 2007

Taxi kuning besar

Pagi yang hening. Dan musim panas yang tak lama lagi berakhir.

Di satu sudut kota Hamburg, di sebuah rumah di kawasan Muemmelmansberg, saya menikmati pagi. Minum jus jeruk dan makan roti kurbis, sambil sesekali menyepuhnya dengan mentega.

Sepasang suami-istri yang baik hati, sang pemilik rumah, sementara membaca Kabar Baik, ketika saya masuk dapur. Kami bertiga duduk melingkari meja makan. Mereka telah bangun lebih dulu dibanding anak muda ini.

Terus membaca, mereka membiarkan saya menikmati sarapan. Diam-diam, saya memerhatikan mereka. Melihat kedua orang itu, kedamaian serasa turun seperti rintik-rintik hujan.

Suaminya tampak lemah. Rasanya ada jeda di setiap tarikan nafas, di setiap helaan kaki. Seperti sudah-sudah, kesan seperti itu yang saya tangkap tiap kali bertemu dengannya. Dia pemain sepakbola dan selalu bergairah bila bicara bola. Entah itu soal tim kota Hamburg, atau tentang tim nasional Jerman.

Kanker telah melemahkan raganya. Dan kami membicarakan pokok ini setiap kali saya mampir di Hamburg. Kami membicarakan macam-macam hal: dari teknis kedokteran, penanganan pasien, sampai moril si sakit. Serta, tentang apa arti sakit bagi seseorang di negeri dengan layanan kesehatan sebaik Jerman atau di negeri seperti Indonesia.

Suami dari kakak saya, juga didera kanker. Ini alasan mengapa diskusi tentang itu menjadi sesuatu yang begitu personal.

Istrinya masuk kembali ke dapur, membawa buah apel. Beberapa buah apel.

Ia menawarkan pada kami. Pada sebagian buah apel itu terdapat lobang-lobang bekas gigitan serangga. Tidak mulus seperti apel yang lazim kita temukan di gerai supermarket.

Aneh. Lelaki itu memilih apel berbekas gigitan serangga. Dahi saya berkerut. Dia pasti punya alasan yang cerdas untuk itu.

"Lubang-lubang ini penunjuk, bahwa apel tidak disemprot bahan kimia", ujar dia, sambil berdiri hendak mencuci apel.

"[Apel] yang mulus, biasanya tidak lagi dikunjungi serangga", tambah istrinya. Ia kemudian menyodorkan buah apel pada saya.

Di pagi yang masih tetap tenang itu, saya belajar, alam rupanya punya kecerdasan sendiri.

"Coba ngana rasa kwa", lanjutnya dalam bahasa melayu Manado.

Saya mengangguk.

Sambil memotong apel pikiran saya menerawang. Pada produksi masal. Pada corak pertanian yang mengabdi tuntutan pemenuhan libido industri buah-buahan. Pada negara-negara miskin pemasok buah. Pada nexus hubungan manusia-masyarakat-alam. Pada kerumitan ekonomi-ekologis, yang saya tekuni akhir-akhir ini.

Dan pada lelaki lemah itu, yang begitu nikmat menyudahi buah apelnya.


Judulnya big yellow taxi. Ini lagu lama.

Lagu ini pernah dinyanyikan Joni Mitchell lantas kembali dinyanyikan oleh Counting Crows, salah satu grup musik kesukaan saya.

Sejujurnya, pernah saya dengar lagu itu sebelumnya. Hanya saja, saya agak kurang ambil peduli dengan liriknya. Ketika secara kebetulan mendengarkan lagu itu kembali, saya segera ingat pada pagi yang hening itu.

Surga itu mereka timbun, dan bangun tempat parkir di atasnya
Ada hotel merah muda. Ada butik. Ada tempat nongkrong


Hei, bukankah selalu begitu, bahwa kau tak pernah rasa, tak pernah tahu,
sampai kau kehilangan sesuatu yang berarti?

Pohon-pohon itu mereka tebang, lantas dipajang di musium pohon.

Kau bayar satu setengah perak, untuk dapat lihat pohon-pohon itu.

... Pak tani, hai pak tani, jangan pakai pestisida lagi.

Tak mengapa kok, di buah apel saya ada lubang-lubang kecil bekas geratan ulat.

Pak tani, tolong, biarkan burung dan lebah terbang.

Biarkan mata saya menikmati mereka terbang.

... Lihat, sekarang, surga itu telah mereka timbun, dan berdiri tempat parkir di atasnya.


Seperti semalam. Saya dengar gerbang rumah terbuka.

Ada suara taxi besar, warna kuning, membawa pergi pacar saya.

Dan, bukankah selalu begitu, bahwa kita tak pernah rasa, tak pernah tahu,

sampai kita kehilangan sesuatu yang sungguh berarti?

Persis seperti surga yang ditimbun itu, dan di atasnya dibangun tempat parkir.


... Tak bakal kubiarkan.

Surga itu ditimbun, dibangun tempat parkir di atasnya.


***


Catatan: Video lagu ini dapat dilihat di YouTube














Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar