11 Mei, 2008

Teori "collective action" dan soal beras: Catatan untuk Arianto A Patunru

Sebuah catatan atas tulisan ekonom Arianto Patunru (Universitas Indonesia) dalam blog Diskusi Ekonomi tentang ekonomi-politik proteksi beras. Patunru keliru menggunakan model tindakan kolektif.


PERSOALAN beras di Indonesia adalah ruwet. Menyebut ruwet, saya mengakui fakta bahwa produksi dan merosotnya nilai beras disebabkan banyak hal. Bagi ekonom Arianto A Patunru, distorsi perdagangan dalam impor beras (juga ekspor), adalah duduk soal masalah beras.

Saya tidak akan memberi catatan tentang hal ini. Dalam tulisan yang kaya analisa di blog Diskusi Ekonomi itu, Patunru juga mengajukan model teoretik ekonomi-politik proteksi beras. Fokus catatan saya terbatas pada pokok ini. Secara lebih khusus lagi, pada hubungan antara petani - sebagai produsen beras - dengan konsumen beras.

Tindakan kolektif dan model Olson

”Bagaimana menjelaskan kenyataan”, tanya Patunru, ”bahwa proteksi tetap kuat, sekalipun yang dirugikan lebih banyak daripada yang diuntungkan?”

Dalam usahanya menjawab pertanyaan ini, wakil direktur di Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia ini mengajukan beberapa teori dan model. Bagi Patunru, model ”collective action”, yang saya alihbahasa sebagai tindakan kolektif, adalah model yang barangkali paling mampu menjelaskan situasi proteksi beras di Indonesia. Ekonom Mancur Olson adalah sosok yang pertama kali menggembangkan model ini.

Sejauh pemahaman saya, Patunru melakukan kekeliruan dalam menerapkan model Olson.

Hemat saya, ada dua hal yang tidak dapat dilepaskan satu dengan yang lainnya, ketika merujuk model Olson. Pertama, teori kelompok. Kedua, penyediaan atau provisi barang publik; di sini, penyediaan barang publik merupakan common interest seluruh agen dalam grup atau kelompok.

Disertasi Olson, yang kemudian diterbitkan dengan judul The Logic of Collective Action – Public Goods and the Theory of Groups (1965), berangkat dari teori theory of groups berikut komposisi agen dalam (defined) group tersebut untuk menjelaskan, mengapa barang publik tersedia atau tidak tersedia. (Dalam buku tersebut, Olson sering mempertukarkan barang publik dengan barang kolektif.) Dimensi penting dalam jejalin penjelasan antara komposisi kelompok dan barang publik, adalah apa yang di kemudian waktu dikenal mahasiswa fakultas ekonomi sebagai perilaku penumpang gelap, free-riding behavior.

Sebagai contoh: petani dan irigasi. Dalam contoh sederhana ini, untuk menjelaskan komposisi grup, kita punya petani berlahan kecil, atau petani penggarap, juga petani berlahan besar. Semuanya kita sebut sebagai agen dalam defined group bernama petani. Lalu, apa barang publik yang hendak mereka sediakan? Misalnya pengadaan irigasi. Mengapa disebut barang publik, karena sekali irigasi tersedia, siapapun bisa menggunakannya, meski tidak ikut dalam penyediaan atau pengadaan atau pemeliharaan irigasi tersebut. Ekonom punya penyebutan khas tentang hal ini, yakni non-excludability -- salah satu karakter penting (selain non-rivalry, atau persaingan dalam konsumsi) untuk barang publik.

Irigasi tidak tersedia bila di antara petani saling berharap, bahwa ada petani lain di luar dirinya yang akan melakukan. Petani bersangkutan tinggal makan untung, alias jadi penumpang gelap. Irigasi bisa pula tersedia, misalnya, andai petani berlahan besar merasa bahwa irigasi terlalu penting bagi lahannya, sehingga ia menanggung semua biaya pengadaan irigasi sendiri, walaupun tidak didukung petani berlahan kecil; dan walaupun nanti, petani kecil itu ikut menikmati fasilitas irigasi tersebut. Olson menyatakan hal terakhir ini dengan eskpresi ”eksploitasi si besar oleh si kecil”.

Setiap petani dalam grup tersebut memiliki kepentingan yang sama: tersedianya irigasi. Yang berbeda adalah usaha yang dilakukan setiap petani (yang heterogen kepemilikan lahannya) dalam grup petani tersebut. Ada yang mendapat untung lebih besar dibanding usaha yang diberikan dalam bekerja sama menyediakan irigasi. Ada pula yang menanggung biaya lebih besar relatif atas sumbangannya bagi penyediaan barang publik. Dalam jargon ekonom, para petani di sini punya marginal rate of return yang berbeda-beda dari biaya, atau upaya, yang mereka berikan untuk pengadaan barang publik.

Penting untuk dicatat, asumsi perilaku dalam model Olsonian adalah setiap agen merupakan self-regarding subjects. Saat mengambil keputusan, satu-satunya rujukan agen dalam dunia Olsonian adalah keuntungan (payoff) bagi dirinya.

Interaksi anggota kelompok

Sekarang, mari perhatikan grup dalam konteks penjelasan Patunru. Terdapat dua grup berbeda: konsumen beras dan produsen beras. Tidak seperti para petani dalam contoh irigasi di atas, kepentingan kedua kelompok ini berbeda. Konsumen ingin impor, produsen tidak ingin beras impor.

Tidak terdapat common interest di antara para agen, konsumen dan produsen beras, dalam kelompok Patunru itu. Apa barang publik atau barang kolektif dari kedua kelompok ini? Tidak ada. Dalam penjelasan Olsonian, (penyediaan) beras seperti dalam kasus ini masuk kelompok barang non-kolektif. Dengan kata lain, Patunru tidak bisa menggunakan model Olsonian untuk menjelaskan interaksi antar agen seperti yang dia bayangkan dalam tulisannya.

Secara teoretik, kenapa persoalan tindakan kolektif menjadi penting? Sesungguhnya, karena para angggota kelompok tidak bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama, yakni pengadaan barang publik. Lebih tepat lagi: karena agen (dianggap) self-interested, tidak ada insentif untuk bekerja sama. Walaupun keuntungan bersama lebih besar.

Padahal, bila bekerja sama, mereka bisa menyediakan barang publik. Keuntungan bersama (social welfare) lebih besar dibanding manfaat orang per orang. Akan halnya bila anggota kelompok tidak bekerjasama, barang publik tidak bakal tersedia. Di sini, barang publik dilihat sebagai perlu. Dalam bahasa teknis ekonomi, bila tidak bekerja sama, hasil yang dicapai adalah pareto inferior. Andaikata berlangsung kerja sama antar anggota kelompok, hasilnya pareto superior, yakni barang publik menjadi tersedia. Karenanya, antara lain, dibutuhkan koordinasi antar pelaku dalam grup. Inti dari mengatasi problem tindakan kolektif sesungguhnya adalah upaya merubah hasil inferior menjadi superior. Pareto adalah nama ilmuwan sosial dari Italia yang lahir di Perancis.

Untuk konteks interaksi yang digambarkan Patunru, model Olson barangkali bisa digunakan untuk menganalisa kelompok konsumen. Misalnya, mengapa para konsumen beras (sampai saat ini) tidak berhasil bekerjasama menuntut beras murah berkualitas, atau membiarkan impor berlangsung. Pengadaan beras adalah barang publik dalam contoh ini. Analisa tersebut dapat pula dipakai untuk melihat kelompok produsen. Sebagai contoh, mengapa para produsen beras berhasil mengatasi persoalan kerjasama dalam menggolkan kebijakan larangan impor. Tetapi model Olson tidak untuk dipakai dalam interaksi konsumen vis-a-vis produsen ala Patunru, dua grup yang punya kepentingan berbeda atas pengadaan beras.

Setelahnya, andai interaksi antar agen telah dimodelkan dengan benar, baru insentif selektif ala Olson bisa dikenakan.

Insentif dan preferensi sosial

Di titik ini, kita mesti awas dengan catatan yang lain. Terkait insentif, seperti telah saya singgung sekilas di atas, anggapan fondasi-mikro preferensi dari pelaku dalam model Olsonian berangkat dari asumsi neo-klasik. Semua pelaku dianggap adalah self-interested agents. Dalam kalimat sehari-hari, semua anggota masyarakat adalah egois. Amartya Sen, pemenang nobel ekonomi, menyebut agen-agen macam demikian ”social morons”.

Riset serius behavioral economics menunjukkan, bahwa asumsi demikian kurang akurat; asumsi itu hanya salah satu penjelas laku manusia, bukan satu-satunya. Telaah atas karya Olson dilakukan oleh ekonom Todd Sandler dalam Collective Action – Theory and Applications (1992). Saat mengantar buku tersebut, Olson mengakui keterbatasan teorinya. ”Reality is so complex that very simple general principles can almost never apply (without exception) to all cases,” tulis Olson.

Saya ingin menyisipkan satu catatan kecil tentang preferensi. Sekali preferensi sosial diintegrasikan ke dalam model interaksi (baca: agen mangacu pula pada payoff agen lain, bukan cuma dirinya, saat mengambil keputusan), equilibrium (keseimbangan) menjadi tidak lagi tunggal dan unik, seperti dalam model kanonik Teori Permainan, yakni Selfish Nash Equilbrium. Dalam model preferensi sosial, equilibrium menjadi multiple.

Selfish Nash Equilibrium adalah proposisi yang digunakan dalam teori tindakan kolektif Olsonian. Sementara, menurut behavioral economics, Teori Permainan hanya mampu memprediksi beberapa Nash equlibirium yang akan dimainkan, ”but not which one.”

Lantas, kombinasi strategi mana yang diambil pelaku? Equilibrium mana yang menjadi hasil tindakan? Pertanyaan-pertanyaan ini adalah perkara empiris. ***

Sonny Mumbunan, ekonom.


Baca juga
Tanggapan Arianto Patunru atas tulisan ini, sini.

01 Mei, 2008

Minahasa dalam tempurung

Sonny Mumbunan
Komentar (Manado), 29 dan 30 April, 2008

Pernah mencoba permainan ini? Kedua kaki Anda berdiri di atas dua tempurung. Jari-jari kaki menjepit tali yang terikat di lobang kecil di tiap ujung cekung tempurung. Tempurung menggantung di bawah kaki, Anda berjalan. Ikut tali yang diatur gerak tangan.

Di tempat lain di Minahasa, orang bermain pica tampurung. Tempurung diadu tempurung. Barangsiapa lebih kuat menghantam tempurung, atau punya tempurung lebih keras, dia pemenang. Winner takes all. Tempurung si kalah berpindah tangan pada pemenang.

Tempurung bukan sekedar alat bermain. Sering ia berfungsi bahan bakar. Kadang-kadang, bagian keras buah kelapa ini jadi pemanas seterika, dan perkakas masak. Hidup sebagian besar masyarakat Minahasa –tempat saya lahir, dan tinggal– memang bergantung pada kelapa. Ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Ambil contoh kopra. Komoditas ini sangat penting bagi ekonomi Minahasa. Akhir 1930an hampir 90 persen dari seluruh ekspor Minahasa adalah kopra, catat ahli geografi Karl Pelzer.

Kopra turut memicu pemberontakan Permesta. Ilmuwan politik Barbara Harvey, menunjukkan, bagaimana struktur pasar kopra mendorong Minahasa melawan Jakarta.

Struktur pasar kopra? Kalau sekarang pasar bebas ditolak petani cengkih, dulu sebaliknya. Ketika itu, mekanisme pasar berlangsung di Jawa. Produksi kopra di daerah ini sedikit. Sementara di timur Indonesia –produsen utama kopra– Jakarta memberlakukan monopoli. Kopra Minahasa dibayar lebih rendah dibanding harga pasar, meski punya kwaliteit lebih baik.

Penyelundupan kopra pun marak. Jakarta lalu menutup pelabuhan Bitung. Minahasa protes. “Buka ulang Bitung atau kami berontak!” adalah slogan populer sekitar Juni 1956.

Warga dan tentara Minahasa mendukung penyelundupan. Dari dana penyelundupan (baca: surplus ekspor), berbagai infrastruktur dibenahi. Jembatan. Irigasi. Gedung. Pelabuhan. Serta, tentu, jalan. 5 bulan sejak Permesta dicetuskan, 70 persen jalan diperbaiki.

Saya bermain tempurung ketika masih sekolah dasar. Di Tonsea, daerah cantik di utara Minahasa, tanah tempat kelapa tumbuh baik. Kelapa bikin masyarakatnya makmur. Sampai-sampai, Tonsea dulu pernah jadi “kuburan mobil“.

Istilah tersebut ciptaan antropolog Mieke Schouten. Daya beli yang meroket karena kopra sayangnya diikuti perilaku konsumtif. Barang-barang mewah seperti mobil dibeli. Berkembangnya industri sabun dan mentega di Eropah dan Amerika Utara kala itu, memang membuat nilai kopra tinggi.

Lalu dunia dihantam krisis besar ekonomi tahun 1930. Sebagai bagian ekonomi dunia, Minahasa ikut goncang. Harga kopra terjun bebas. Tonsea jatuh miskin. Utang bertumpuk. Mobil-mobil tak terpakai. Diparkir, tak terawat. Tampak seperti kuburan.

Biasanya saya bermain sepulang sekolah. Bermaeng tampurung sampai berkeringat. Daki bergaris-garis di kerah baju atau di leher kaos oblong. Tak jarang lecet di sela jari-jari kaki.

Sistem produksi berubah. Masyarakat berubah. Corak penggunaan sumberdaya alam juga berubah. David Henley, seorang pakar geografi, mendokumentasikan perubahan semacam itu, termasuk di Minahasa, dalam buku Fertility, Food, and Fever – Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930.

Buku ini bahas macam-macam. Dari pola kependudukan dan pasokan pangan, sampai penggunaan lahan. Serta hubungan manusia dengan alam dalam produksi pertanian di bawah kolonialisme.

Banyak keterangan menarik dalam buku ini. Misalnya, meski di beberapa tempat tumbuh padat, tanaman kelapa pada 1930an hanya menggunakan tak sampai 10 persen dari seluruh lahan yang diubah aktivitas manusia. Berbeda dengan foodcrop seperti beras yang boros lahan.

Juga cerita lucu. Petinggi Belanda acap mengeluh, melihat kebiasaan orang Tonsea. Jatah waktu untuk perayaan rupanya lebih banyak dibanding aktivitas produktif. Terkadang sampai sembilan hari, untuk sekali acara.

Karena produksi kolonial butuh tenaga kerja, akhirnya tahun 1856, AJF Jansen, residen Minahasa yang ambisius itu, melarang apa saja yang berlangsung lebih dari tiga hari. Ia melarang acara, pesta, termasuk foso (pantangan) kerja.

Sayang, tak satu pun cendekiawan Minahasa menimbang buku sangat kaya informasi yang terbit tahun 2005. Membacanya, menjadi lebih terang gambar besar di balik rencana World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado. Juga Buyat dan Tokatindung, tempat maskapai mancanegara menambang dan bermasalah.

Puji syukur, pohon kelapa kini masih jadi lambang Manado, Minahasa atau Sulawesi Utara. Nanti? Entahlah.

Beberapa tahun lalu, anggaran akku mobil Gubernur Sulut berkali-kali lebih besar dari anggaran bibit kelapa. Hari-hari ini, orang bahkan berencana menyulap balai riset kelapa jadi pacuan kuda.

Perkara pacuan kuda ini bikin saya khawatir dua kali. Pertama, ia contoh baik, bagaimana privatisasi sumberdaya publik mengambil bentuk. Lahan, pajak dan APBD kita digunakan untuk memuaskan tujuan pribadi.

Kedua, rabun jauh kebijakan publik. Policy myopia. Meski pertanian nafas ekonomi Sulawesi Utara, di mata penderita rabun jauh, satu dua ekor kuda milik bupati dan walikota tampak jauh lebih penting. Dibanding puluhan ribu petani berikut keluarganya.

Pengidap rabun tak bisa membedakan prioritas. Padahal riset kelapa meningkatkan produktifitas petani dan nilai kelapa. “Pemberontak” Permesta masih lebih jago soal prioritas.

Dulu, Permesta bikin jalan dan ditembak mati. Sekarang, kita bikin baliho raksasa di pinggir jalan, dipampang foto keluarga atau kuda piaraan. Balai riset kelapa digusur untuk balapan kuda piaraan? Kalau betul, Oom Sam Ratulangi dan Oom Alex Kawilarang pasti meringis di dalam kubur.

Kelapa memang baru lambang. Belum prioritas kebijakan. Di Tonsea, 40.500 keluarga masuk kelompok tak sejahtera pada tahun 2006. Kalau data ini akurat, berarti sekitar 47 persen. Di tanah tempat kelapa tumbuh baik itu, hampir separuh keluarga adalah miskin.

Kemiskinan bukan takdir Tuhan. Seperti sapu lidi, kemiskinan adalah bikinan orang. Di tahun yang sama, seorang anggota DPRD Minut yang dulu sederhana, kini punya rumah mewah.

Pada tahun yang sama pula, anggaran rumah tangga bupati setara dengan sekitar dua pertiga PAD Minut sebelumnya. Orang Tonsea masih linglung, mengapa bupatinya digadang Komisi Pemberantasan Korupsi tersangkut kasus Kutai.

Dus, di satu sisi, rabun jauh kebijakan. Di sisi lain, salah urus sumberdaya. Di Minahasa, keduanya melingkar seperti ikan sogili kawin. Lalu meremas leher petani secara serentak. Kapasitas produktif pertanian hancur.

Hal-hal berikut tiba-tiba jadi relevan. Kenapa banyak perempuan muda keluarga petani Minahasa akhirnya menjual tubuh dan harga diri untuk bertahan hidup? Mengapa banyak orang cuma ba hoba, melenggang kangkung, dan tidak menenteng belanjaan di Boulevard Manado?

Jawabannya rumit. Tetapi logikanya gampang. Pertanian adalah penyerap utama kelimpahan tenaga kerja di desa. Pertanian penentu penting daya konsumsi masyarakat. Begitu di Minahasa. Pertanian keok? Perempuan Minahasa mungkin melacur. Boulevard bisa bangkrut.

Membagikan uang cash 20 ribu rupiah [pada masyarakat] itu mulia. Sayangnya, kemiskinan cuma pergi 20 jam. Berbeda dengan mobilisasi dana APBD untuk mendukung pengembangan masal dan modern tanaman kelapa. Dampaknya panjang dan menyeluruh.

Apalagi, bila mobilisasi dana itu dikelola secara mapalus. Secara bersama-sama.

Maksudnya? Anda dan saya, warga kota dan desa, kelompok tani, jemaat gereja, komite sekolah, menyusun rencana anggaran daerah. Kita susun RAPBD kita sendiri. Seraya berkonsultasi dengan Bapedda, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Kemudian kita bawa ke DPRD dan pemerintah. Mirip yang dilakukan orang Brazil.

Saya menyebutnya MAESA, Mapalus menyusun APBD.

Maaf melebar jauh. Mari balik ke tempurung. Ternyata, permainan-permainan pembuka tulisan ini tinggal beberapa dari yang tersisa.

In menggelisahkan jurnalis Lingkan S. Wolf. “Permainan tempurung patut dihidupkan kembali,“ ujarnya sekitar 1980an dalam siaran budaya Radio Sion Tomohon. “Meskipun permainan ini statis, dibanding olahraga modern.”

Dia mengumpulkan beragam permainan tempurung. Ada sebelas macam.

Mamingkir adalah jenis permainan melempar tempurung dengan kaki sambil membelakangi sasaran. Lalu Mangombo. Di sini, pemain melompat dan dua betisnya menjepit tempurung.

Dalam permainan Manusuk, tempurung didorong dengan jari kaki. Tempurung dilempar pula dengan mata kaki (Mangomper), lutut (Mamopo), jepitan jari kaki (Mangopit) atau jepitan belakang lutut (Mameko). Mengguling tempurung sampai kena sasaran namanya Mangalaus.

Tempurung dimainkan juga sambil balik badan (Mamentir), atau tutup mata (Mamola), dan tangan mengarahkan tempurung ke sasaran. Kalau Maneinteng, tempurung diletakkan di kepala dan dikenakan pada tempurung yang disasar.

Dalam permainan-permainan ini, persaingan dan kerjasama sosial yang orisinal dan kuat mungkin terbangun. Di luar itu, permainan murah ini mewakili kecerdasan gerak dan koordinasi tubuh. Kecerdasan yang tidak ditawarkan alat modern macam PlayStation.

Sampai sini, Anda mungkin berpikir, si Mumbunan mulai nyanda ma slak, mengada-ada. Terjangkit romantisme. Ia berniat memberi nafas pada budaya lama, agar bisa berdiri dan berjalan, persis orang sedang main tempurung.

Awo, ba butul lei ni dia? Mengajak orang bermain tempurung, saat internet dan multimedia sudah kosakata sehari-hari?

Saya akan berkelit. Lalu bilang, memang tidak semua pencapaian budaya lama itu buruk. Sementara tak seluruh yang lama pas dengan kenyataan, dengan kelembagaan, dengan pengorganisasian masyarakat baru.

Dan kita punya sekarung cerita tentang masyarakat yang berubah. Bahasa Minahasa misalnya. Bahasa yang ditinggal.

Akankah nasib bahasa ini berakhir seperti permainan tempurung?

***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu ekonomi di Universitaet Leipzig, Jerman. Catatan: Terdapat beberapa perubahan kecil dalam tulisan ini dibanding format di harian Komentar.












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar