28 Juli, 2008

Gerai

Catatan Pinggir Goenawan Muhammad
Majalah Tempo, Edisi 22/XXXVII/21 - 27 Juli 2008


Mungkinkah Indonesia akhirnya hanya sederet partai?

Sekitar seabad yang lalu, kita tak akan berkeberatan dengan itu. Indische Partij, Partai Komunis, Partai Sarekat Islam, PNI, dan lain-lain lahir. Mereka datang dengan keyakinan.

Pada masa itu, ”politik” adalah gugatan. ”Politik” adalah usaha membongkar sebuah wacana yang dianggap cacat, tapi dijejalkan oleh mesin kekuasaan kolonial sebagai konstruksi yang final. Menghadapi itulah ”politik” adalah ”pergerakan”.

Berarti, di dalamnya ada kehendak mengubah keadaan, ke arah emansipasi sosial dan musnahnya ketidakadilan. Dengan kata lain, ada social imaginary: sebuah gambaran yang menggerakkan hati tentang sebuah kehidupan masyarakat yang lain, walaupun gambaran itu bukan sebuah desain yang siap.

Konon, pada awal abad ke-20, di asrama mereka, para murid STOVIA—yang kemudian jadi bara pertama perlawanan antikolonialisme—tiap malam menyanyikan lagu revolusi Prancis dengan berkobar-kobar: ”Kita lawan tirani!”

Berkobar-kobar—Chantal Mouffe menyebut arti passion dalam politik: fantasi, hasrat, ”semua hal yang tak dapat diringkus jadi kepentingan dan rasionalitas”, semua hal yang membentuk subyektivitas manusia. Dengan catatan: ”subyektivitas” itu bukan tentang ”aku”. Ia justru timbul karena ada sesuatu yang universal yang datang mengimbau, sesuatu yang berarti bukan cuma buatku, tapi bagi engkau, bagi sesama, sebuah dunia yang melampaui jagat kecilku.

Dari situlah passion, atau gelora hati, terbit. Mouffe bahkan menyebut perlunya ”mobilisasi gelora hati”. Sebab politik sebuah partai yang menganggap dirinya bagian dari pergerakan, sebuah partai dengan ”imajinari sosial” yang menggugah passion—partai politik yang seperti itu bukanlah tanda nafsi-nafsi.

Justru sebaliknya: didirikan hanya segelintir orang pun—seperti halnya Indische Partij—partai seperti itu pada dasarnya ingin menjangkau liyan, mereka yang lain yang juga sesama. PNI yang berangkat atas nama kaum ”marhaen” dan PKI yang atas nama kaum buruh keduanya membayangkan sebuah masyarakat di mana marhaen dan proletar akan lenyap, sebab tak akan ada kelas sosial lagi: manusia akan sama rata, sama rasa.

Tapi adakah partai yang seperti itu sekarang?

Kini sejumlah partai baru muncul bagaikan lapak dan gerai, kios dan show-room. Inilah zaman ketika advertensi tak henti-hentinya menyusupi ruang kehidupan. Inilah masa ketika hasil jajak pendapat umum jadi ukuran yang lebih penting ketimbang kebenaran, ketika penampilan yang atraktif dan riuh-rendah di televisi lebih efektif ketimbang prestasi dan gagasan sosial yang menggugah. Berangsur-angsur, dalam lapak dan gerai itu yang lebih menentukan bukanlah benda yang ditawarkan. Yang lebih penting: kemasan.

Sebuah parodi yang tak disengaja naik pentas: politik jadi pekan raya. Tiap tauke kios akan berusaha mendapatkan pembeli sebanyak-banyaknya. Tapi ketegangan hanya terbatas di situ: tak akan ada yang menggugat wacana yang mendukung (dan didukung) pekan raya itu sendiri.

Jika dulu lahirnya partai politik adalah isyarat tentang apa yang berlubang dalam situasi di mana ia lahir, kini partai berdiri sebagai indikator sebaliknya: terbukanya peluang untuk investasi—yang hanya bisa dilakukan mereka dengan kekayaan yang surplus.

Di sini memang politik tampak sebagai jalan yang aman. Partai tak akan jadi pembelot. Tapi saya kira sebetulnya sebuah fragmentasi diam-diam berlangsung. Sebab inilah politik tanpa ”imajinari sosial”, tanpa gelora hati, tanpa militansi. Inilah politik yang tak membentuk subyektivitas yang lahir karena terpanggil oleh yang universal.

Memang ada niat menjangkau pelanggan di mana saja, kapan saja. Tapi ini cuma universalitas sebagai façade. Dalam percakapan para juru kampanye partai, seperti di kantor perdagangan, orang bicara bukan jangkauan yang tanpa batas, melainkan tentang ”segmen pasar”.

Tentu, di pekan raya, para tauke memang bisa membuat usaha patungan. Tapi pada awal dan akhirnya yang berlaku adalah ke-masing-masing-an. Para pemilih akan datang bak konsumen. Tapi sejauh mana mereka yakin? Inilah zaman ketika kita tahu bahwa iklan mengandung dusta tapi kita toh membiarkan diri terpikat—zaman berkuasanya perangai ”akal yang sinis”, der Zynischen Vernunft, dalam diagnosis Peter Sloterdijk.

Mungkin kita tak akan punya lagi gelora hati dalam politik. Tapi kita tak bisa mengelakkan keniscayaan hadirnya partai di sebuah demokrasi. Haruskah kita jadi ronin di luar dinding Negara? Jangan-jangan. Bagaimanapun, sebuah masyarakat tak akan dapat mengelakkan dimensi politiknya—politik sebagai pertarungan: konsensus akan selalu berlubang, ketakadilan akan menimbulkan jerit.

Saya masih percaya, di dalam dan di luar partai, jerit itu tak akan jadi bisu. Akan selalu muncul mereka yang setia kepada gelora hati para penggugat, segumpal subyektivitas yang terbit dalam militansi, sujet fidèle dalam pengertian Alain Badiou.

Saya teringat pada senja 22 Juni 1996. Di satu ruang kantor Lembaga Bantuan Hukum di Jalan Diponegoro, Jakarta, di bawah lampu neon yang tak terang, sejumlah pemuda duduk. Kurus, lusuh, tapi intens. Di leher mereka terkalung bandana merah. Mereka memaklumkan berdirinya Partai Rakyat Demokratik, sebuah partai kiri—ketika suasana tambah represif di bawah ”Orde Baru” dan apa saja yang merah dan kiri dihabisi dan tiap partai alternatif akan dibabat.

Di ruang itu saya duduk bersama Pramoedya Ananta Toer memandangi mereka. Kami tahu, ke sana mata-mata penguasa mengintip, senjata disiapkan, penjara dicadangkan. Tapi anak-anak muda tetap saja dengan upacara sederhana yang bersejarah itu.

Bersejarah, apalagi bila dibandingkan dengan pesta kelahiran partai-partai hari ini.


24 Juli, 2008

Obama di Berlin

"Tempatnya di Siegessäule!" katanya pada saya. Dia lalu pergi sambil meninggalkan senyum.

Perempuan dengan senyum itu sukarelawan Americans Abroad, sebuah jaringan pendukung pencalonan Barack Obama untuk Presiden AS. Gadis berwajah Asia timur ini membagikan undangan di depan Reichstag, gedung parlemen Jerman, di Berlin. Undangan ukuran kecil, warnanya biru.

Kemarin, saya di Berlin menemani seorang teman yang pelesir di Eropah. Matahari bersinar agak terik. Orang antri memanjang di depan gedung Reichstag.

Siegessäule adalah monumen kemenangan Jerman dalam perang Eropah pada abad ke-19. Letaknya tak jauh dari gedung parlemen. Senator Barack Obama rencananya berbicara di depan publik Berlin hari ini.

Awalnya, Obama hendak bicara di depan Brandenburger Tor, tempat di mana John F. Kennedy dulu mempopulerkan kalimat “Ich bin ein Berliner”. Kanselir Jerman, Angela Merkel, kurang bersepakat dengan pilihan tempat itu, mengingat Obama barulah kandidat, belum presiden AS. Pendapat Merkel ini terkesan agak berlebihan, pasalnya siapa saja sesungguhnya bisa berbicara di tempat bersejarah itu. Pernah saya menyaksikan baik anggota neo-Nazi atau orang muslim Turki unjuk rasa di sana - dalam dua waktu berbeda.

Rasanya alasan Merkel politis. Merkel datang dari partai konservatif Jerman, Partai Uni Kristen Demokrat, CDU. Dari tindak-tanduk dan program politiknya, partai ini condong dekat dengan Partai Republik di AS. Sambutan lebih ramah justru diberikan walikota Berlin yang berasal dari partai sosial-demokrat.

Obama memilih Berlin dengan perhitungan. Dalam kunjungan Eropahnya, kota ini jadi tempat singgah pertama. Secara politis, Berlin adalah kota terpenting Eropah kini. Kunjungan Obama di Berlin sepertinya hendak mengirim tanda simbolik ke Amerika dan Eropah secara sekaligus. Saya sendiri menyukai Berlin karena sejarah kotanya. Sejarah yang dramatis dan naik-turun. Termasuk ketika AS memasok makanan, cokelat dan bahan bakar lewat udara untuk Berlin Barat yang diblokade Soviet, 1948-1949. Sejarah mengenalnya dengan istilah “jembatan udara” (Luftbrücke).

Obama bicara dengan tenang. Seperti Bung Karno, ia sosok karismatis. Ia punya talenta retorik mengagumkan. Tak bosan orang mendengarnya bicara lama tanpa manuskrip. Saya menyaksikannya di televisi. Menurut perkiraan media, ia bicara di depan sekitar 200 ribu orang.

Dalam pidatonya, Obama menyentuh peran Eropah dalam penyelesaian soal-soal internasional, lebih khusus terorisme. Hubungan Jerman dan AS sedikit regang memang, utamanya saat perang Irak. Kanselir Jerman kala itu, Gerhard Schröder, menolak mendukung AS dalam perang Irak. Tak ketinggalan, Obama menyelip dan mendramatisasi peristiwa jembatan udara di atas dalam pidato.

Setelah sihir

Barack Obama menyihir pendengarnya. Diluar konser musik rock atau pertandingan sepakbola Piala Dunia atau Piala Eropa, agaknya tak ada yang mampu menandingi kumpulan massa saat ia pidato di depan monumen Siegessäule. Setelah kena sihir berlalu, bagaimana kita melihat Obama?

Posisi kebijakan luar negeri Obama problematis. Di satu sisi, dia menghendaki penarikan pasukan AS dari Irak. Di sisi lain, ia mendukung penambahan pasukan di Afghanistan. Sebuah posisi politis jalan tengah yang pragmatis tetapi dapat dimaklumi dalam kenyataan politik mutakhir di AS. Akan halnya warga Jerman, apalagi Berlin, dengan kecenderungan anti-perang yang kental, keinginan yang menghendaki penarikan pasukan dari kedua tempat itu begitu terasa. Eropah menuntut pula AS agar tidak plintat-plintut dalam isu perubahan iklim.

Majalah The New Yorker, edisi 21 Juli, 2008, memuat tulisan panjang Ryan Lizza tentang karir politik Barack Obama. (Majalah ini tiba di kotak pos saya saban Senin; saya baru bisa membacanya setiap Sabtu. Obama pidato hari Kamis, 24 Juli.) Dalam hemat Lizza, anggapan bahwa Obama semacam sosok yang anti struktur mapan, adalah sebuah kekeliruan. “Every stage of his political career,” tulis Lizza tentang Obama, “has been marked by an eagerness to accomodate himself to existing institutions rather than tear them down or replace them.”

Harapan agar Obama bersikap lebih maju - bila jadi presiden AS - untuk tema-tema seperti Irak, senjata nuklir, perubahan iklim, atau layanan kesehatan menyeluruh, barangkali sepantasnya tetap ditempatkan dalam catatan Lizza tersebut. Kita masih perlu menunggu, seperti apa wujud retorika memikat di
Berlin itu dalam tindakan Obama.

AS tak bakal mampu membereskan konflik internasional seorang diri. Obama berharap, Eropah memainkan peran lebih besar. Berkait peran itu, saya jadi ingat Noam Chomsky. Ia profesor di Massachusetts Institute of Technology, MIT, dan salah satu kritikus paling tajam kebijakan luar negeri AS. Pada pagi yang dingin, 24 Maret, 2005, Chomsky memberi ceramah di universitas tempat saya kuliah, Universitas Leipzig.

Ruangan penuh sesak. (Beralasan, mengapa ia acapkali dikerubuni orang. Seperti Britney Spears di mata anak ABG, demikan Chomsky bagi sebagian cendekiawan.) Mengenakan sweater warna biru tua, Chomsky bicara tentang konflik Israel dan Palestina. Sesekali ia meneguk air minum. “Eropah punya pilihan untuk turut campur tangan … bagi tujuan keadilan dan perdamaian,” katanya. “Dan keadilan bukanlah sesuatu yang tidak mungkin.”

Semoga itu pula alasan moral sesungguhnya, saat Obama menggandeng Eropah.

***

Tulisan ini muncul di situs IndonesianMuslim.com, 27 Juli, 2008.

11 Juli, 2008

Tambang Minahasa, Tutupmulut SBY

Menteri ESDM Lakukan Kejahatan Jabatan,
Mengapa SBY Diam?
Siaran Pers JATAM, WALHI, ICEL, AMMALTA
9 Juli 2008

Proyek pertambangan diteruskan jika bisa dipastikan warga sekitarnya menyetujui rencana pertambangan dan proyek tersebut aman bagi warga. Tapi ini tak berlaku untuk PT Meares Soputan Mining (MSM). Menteri ESDM bahkan rela melakukan kejahatan jabatan untuk membela perusahaan.

Sejak Maret 2006, Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro telah mengeluarkan surat yang mengijinkan PT MSM dan PT TTN melakukan konstruksi, di saat dokumen AMDAL perusahaan dinyatakan oleh Kementrian Lingkungan Hidup tak layak pakai lagi alias kadaluarsa.

Dan Konstruksi dengan AMDAL Kadaluarsa itu membuahkan hasil. Setahun kemudian, setelah dilakukan penebangan hutan untuk membangun fasilitas tambang, termasuk membelokkan aliran sungai Budo di Toka Tindung. Banjir besar melanda kawasan pesisir desa-desa lingkar tambang PT MSM. Banjir lumpur yang menggenangi rumah-rumah, yang tak pernah terjadi sebelumnya. Dan hingga saat ini, kawasan pesisir Rinondoran – khususnya sekitar sungai Araren tak sejernih dulu lagi.

Tindakan Menteri ESDM ini bertentangan dengan pasal 28l ayat (4) UUD 1945 dan pasal 17 UU No 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Dimana sebagai pejabat negara, sudah menjadi kewajibannya untuk melindungi, memajukkan dan menegakkan HAM.

Itulah sebabnya, Juni lalu, Komnas HAM mendukung tindakan gubenur yang tidak menyetujui AMDAL kedua perusahaan. Gubenur Sulut menolak mengesahkan AMDAL dengan alasan penolakan masyarakat, teknologi pembuangan limbah yang beresiko dan bertentangan dengan tata ruang propinsi Sulawesi Utara.

Tapi, lewat Direktorat Jenderal Mineral Batubara dan Panas Bumi, Maret lalu Departemen ESDM mengeluarkan perpanjangan konstruksi PT MSM dan PT Nusa Tondano Jaya.

Dalam kasus PT MSM, Menteri ESDM telah melakukan kejahatan, dengan mengeluarkan surat yang memerintahkan perusahaan untuk melanjutkan kegiatannya, di saat persyaratan utamanya belum terpenuhi.

Dan itu berakibat fatal. Akibatnya terjadi tindakan di atas hukum yang mengakibatkan kekacauan hukum, sehingga dimanfaatkan korporasi asing untuk melanggar hukum di Indonesia. Lebih lanjut, tindakan itu telah mengakibatkan pelanggaran HAM, yang ditandai menurunnya kualitas lingkungan sekitar, meningkatnya kasus-kasus sengketa tanah dan konflik horizontal di kawasan tersebut.

Tindakan di atas membuat PT MSM dan PT TTN berani menggunakan berbagai cara untuk meneruskan tambangnya, lewat memecah belah warga, intimidasi, premanisasi, kriminalisasi warga hingga intervensi proses-proses politik di tingkat lokal, seperti pemilihan Kepala Desa.

Sudah dua tahun Presiden SBY membiarkan Menteri ESDM melakukan kejahatan jabatan. Kami mendesak SBY segera memecat Menteri ESDM. Dan meminta pihak yang berwajib, baik Kepolisian, Komnas HAM, Komisi Pemberantasan Korupsi, Komisi Ombudsman untuk memberikan perhatian lebih serius pada kasus ini dan memeriksa para pejabat di daerah dan pusat yang mendukung proyek yang membahayakan warga ini.

Kontak Media: Luluk Uliyah, HP: 08159480246

***












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar