29 Februari, 2008

Goderich, kota kecil itu

Hari-hari ini saya mendengar lagu-lagu Tegan and Sara. Saya sampai pada kembar dari Kanada ini secara tak sengaja, ketika membuka-buka Der Spiegel. Dua minggu lalu, majalah mingguan Jerman ini membahas kedua penyanyi tersebut.

“Liriknya jujur,“ tulis Der Spiegel.

Saya lalu ingat dua perempuan muda lain: Jessi dan Melisa. Mereka juga suka musik dengan aliran sejenis. Tahun 1997, atas beasiswa pemerintah Kanada saya ikut pertukaran internasional. Saya tinggal di rumah mereka. Di kota Goderich.

Goderich adalah kota kecil. Sebuah town di propinsi Ontario, Kanada. Terletak sekitar 200 km sebelah barat Toronto. Goderich berada disamping danau Huron. Ini danau yang sangat luas, melingkari Michigan, tersambung sampai Chicago di Amerika Serikat. Ada industri garam di kota kecil ini.

Saya punya beberapa penggal pengalaman berkesan di Goderich. Di sana, kali pertama saya memegang salju. Bagi manusia dari daerah tropis, bertemu salju tetaplah hal luar biasa. Di sana pula, saya menabrakkan traktor pada sebuah mobil yang parkir di halaman rumah. Semoga ini adalah yang pertama sekaligus terakhir.

Kemudian nikmatnya pancake yang diluluri sirup mepel. Makanan ini saya kenal pertama kali di sini. 80 persen produksi sirup mepel dunia berasal dari Kanada. Sirup ini awalnya diolah warga Indian, sebelum pendatang Eropa mengolahnya lebih lanjut.

Pohon mepel memang banyak tumbuh di Kanada. Barangkali ini alasan, mengapa di bendera Kanada ada daun mepel. Maple leaf.

Pertama kali artikel saya dimuat koran umum, juga di kota ini. Koran lokal Goderich Signal Star memuat tulisan saya tentang Indonesia.

Goderich pula yang mencelik mata saya tentang hak sipil dan partisipasi publik. Ketika itu, Propinsi Ontario diguncang demonstrasi guru menolak rencana undang-undang (Bill 160) yang, antara lain, berisi pengurangan subsidi pendidikan.

Dalam sejarah Amerika Utara, ini adalah pemogokan guru terbesar. Lebih besar dibanding yang terjadi tahun 1975 di New York.

Pemogokan guru berlangsung satu bulan. Kebetulan, salah satu orang tua angkat saya adalah guru. Sungguh menarik, bagaimana para guru yang mogok membuat kelas paralel bagi murid-muridnya.

Siang hari, guru-guru itu membuka rumah mereka menjadi sekolah alternatif. Hanya mata pelajaran utama yang diajarkan. Pada malam hari, para guru datang ke gereja atau ke balai-balai pertemuan umum. Bergabung bersama warga.

Di sana orang berdiskusi dan berdebat. Ramai sekali. Ada deliberasi, ada orasi, ada agitasi. Ada macam-macam. Kadang-kadang juga ada penganan enak. Kecintaan saya pada cokelat hangat, hot chocolate, bermula dari sini.

Suatu waktu, seorang sahabat saya dari Toronto meminta bapaknya untuk membawa mobil ke tempat kami tinggal di Goderich. Jantung saya hampir lepas, ketika dia memacu mobil itu balik ke Toronto. Ia putar lagu-lagu Oasis, band Inggris itu, keras-keras.

Dia mengajak saya pula ke jantung kota, ke gedung parlemen. Di Queen’s park, halaman gedung itu, tupai-tupai kerap berkeliaran. Sayang, tak seekorpun tupai kami temukan. Mereka bersembunyi di lobang-lobang pohon. Hari itu, halaman parlemen dipenuhi pengunjuk rasa yang menolak rancangan undang-undang bidang pendidikan.

Mendengar lagu-lagu Tegan and Sara, saya jadi rindu dengan keluarga di Goderich. Semoga mereka sehat dan baik-baik saja.

***

24 Februari, 2008

Mau ikut saya?: Tiket kereta dan ekonomi

Ketimpangan informasi membuat sumberdaya terbuang. Koordinasi dan preferensi sosial mungkin mengatasinya. Cerita tentang penumpang kereta di negeri Jerman.

Dua orang antri di depan kotak otomat karcis kereta. Saya dan seorang pemusik. Saya berdiri tepat di depan dia. Hendak menuju kota Wittenberg, mengisi akhir pekan, saya membeli tiket.

Wittenberg adalah kota tempat Martin Luther menulis 95 tesis yang terkenal, pemicu lahirnya Protestanisme. Tiket itu seharga 27 Euro. Bisa digunakan oleh 5 orang untuk sehari penuh.

Di tengah perjalanan nanti, saya rencananya akan menjemput beberapa teman yang telah menunggu di kota Halle. Kami ingin melihat kota tempat Luther berkarya. Saya berangkat dari kota Leipzig. Kira-kira, seperti Anda berangkat sendiri dari Jakarta, menjemput orang di Bandung, lantas bersama-sama menuju Semarang.

Dalam perjalanan dari Leipzig ke kota Halle (ingat Jakarta ke Bandung), saya berangkat seorang diri dengan tiket untuk 5 orang. Karena sendiri, kapasitas tiket tersebut tidak digunakan sepenuhnya. Para ekonom menyebut ini tidak efisien. Dan, bila menggunakan mekanisme pasar, kapasitas itu akan sia-sia. Setidaknya, untuk pasar mungil bernama pasar tiket kereta api.

Dalam teori standar yang dipelajari mahasiswa ekonomi, mereka yang antri membeli tiket dianggap memiliki informasi lengkap.

Asumsi tersebut tidak akurat. Dalam cerita ini, terdapat begitu banyak penumpang kereta yang tidak tahu-menahu kebutuhan penumpang lainnya dan (kapasitas) sumberdaya tiket yang mereka miliki. Sumberdaya itu terbuang percuma, tak terpakai.

Pemusik itu hendak pergi ke kota tempat teman-teman saya menunggu. Tujuan dia sama dengan tujuan antara saya. Saya tak kenal dia, dia juga tidak mengenal saya. Dia hendak membeli tiket untuk dirinya sendiri seharga sekitar 5 Euro.

Agar alokasi sumberdaya (tiket kereta) berlangsung efisien, saya menoleh ke belakang. Menawarkan dia untuk pergi bersama saya, tanpa perlu membayar atau membeli tiket. Ada dua efek. Pertama, dengan begitu dia tidak perlu "membuang" uang 5 Euro. Kedua, saya hanya “rugi” tiga orang, lebih sedikit dibanding empat orang bila tanpa dia.

Dengan menerima tawaran saya tersebut, kami berdua sama-sama untung, dibanding tanpa tawaran itu. Meminjam istilah ekonom, posisi kami berdua adalah pareto improving. Pareto adalah nama pemikir sosial asal Italia yang lahir di Perancis.

Tentu, saya akan lebih untung lagi, bila misalnya saya menawarkan dia untuk membayar pada saya, katakanlah, seharga 1 Euro. Saya untung 1 Euro, plus 1 orang tambahan penumpang. Dia untung 4 Euro, dibanding membayar harga tiket penuh.

Dia akan sangat senang hati hanya membayar 1/5 harga tiketnya. Pokoknya, selama tawaran saya lebih kecil dari uang yang harus dia keluarkan tanpa tawaran tersebut, yakni 5 Euro.

Sampai sebelum saya menoleh padanya (= mengetahui kebutuhan dia, menjelaskan tawaran saya, dan kami berdua bersepakat), pasar tidaklah efisien. Penyebabnya, kami berdua (atau, dalam kasus ini: salah satu dari kami) tidak tahu-menahu informasi sumberdaya dan keinginan yang dimiliki setiap orang.

Dan ketimpangan informasi semacam ini, biasa disebut asymmetric information, lazim ditemukan dalam mekanisme pasar. Dengan sedikit koordinasi, seperti yang dilakukan saya dan pemusik itu, persoalan akut dalam mekanisme pasar ini bisa diatasi.

Joseph Stiglitz, Michael Spence dan George Akerlof memperoleh Nobel Ekonomi tahun 2001 untuk sumbangan mereka atas persoalan-persoalan semacam ini.

Saya dan pemusik itu juga mendapat "hadiah nobel" kecil. Dia tak perlu merogoh saku untuk sampai kota tujuan. Dan saya mendapat teman bicara, ketika kereta melaju menembus pagi.


***

Catatan

Dalam cerita di atas, contoh Jakarta-Bandung-Semarang dipilih untuk membantu membayangkan arah kereta jalur Leipzig-Halle-Wittenberg, bukan jarak. Perbandingan jarak dalam kedua contoh ini tidak sama: Jakarta-Semarang jauh lebih panjang dibanding Leipzig-Wittenberg. Jarak Jakarta-Bandung misalnya, adalah sekitar tiga kali lebih panjang dibanding Leipzig-Halle. Terima kasih untuk F Thufail, sendirinya ikut ke Wittenberg, yang telah menunjukkan pokok ini.

Baca juga


21 Februari, 2008

Selotip Der Die Das

Ini masih tentang kursus bahasa Jerman si Cya. Juga masih soal menghapal artikel penunjuk der, die, das itu.

Dia lagi ketiban ide. “Say, C dapat ide titian keledai”, tulis dia dalam SMSnya, tentang trik menghapal yang baru dia temukan. Dia biasa menyingkat namanya jadi C.

Semua barang di kamar miliknya dia beri label. Persis di toko mebel. Label-label itu ditempel dengan selotip.

Label Der Kugelschreiber untuk pulpen. Das Buch untuk buku. Der Fernseher dia tempel di atas televisi. Dan seterusnya.

Di ujung kegiatan tempel-menempel, saya membayangkan dia berdiri sejenak. Berpikir, menggaruk-garuk kepala. "Mmh, ... label Der Sonny mau ditempel di mana, ya? Di lemari? Atau di daun pintu?".

Tiba-tiba, saya merasa, di jidat saya ada selotip.


***

Baca juga ...

19 Februari, 2008

Tambang di Minahasa: LSM protes rencana DPRD Sulawesi Utara dan OC Kaligis

Sejumlah LSM melakukan protes atas rencana dengar pendapat tentang penolakan Amdal perusahaan tambang Australia di Minahasa. Dengar pendapat ini diajukan DPRD Sulawesi Utara berdasar pertimbangan pengacara OC Kaligis, kuasa hukum perusahaan tambang tersebut. Gubernur Sulut menolak perusahaan tersebut beroperasi. Sebelumnya, DPRD Sulut juga menolak. Berikut pernyataan sikap LSM.



Kepada YTH.

Ketua KOMISI A DPRD SULUT

di Manado


PETISI dan Permintaan Klarifikasi tentang Rencana Hearing Komisi A DPRD Sulut tanggal 19 Februari 2008 Sehubungan dengan Penolakan Amdal PT MSM oleh Gubernur Sulawesi Utara.

Dengan hormat,


Merujuk:


1. Surat DPRD Sulut nomor: 160/DPRD/130 tanggal 10 Februari 2003 tentang Pemberitahuan, yang intinya antara lain merekomendasikan kepada Gubernur Sulut untuk TIDAK MENERBITKAN IZIN bagi PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN), fotocopy terlampir;


2. Surat Gubernur Sulawesi Utara nomor: 660/209/Sekr tanggal 2 Februari 2007 tentang Tanggapan Hasil Penilaian Dokumen Amdal PT MSM dan PT TTN yang intinya adalah Amdal PT MSM dan PT TTN Tidak dapat disetujui oleh Gubernur Sulut, fotocopy terlampir;


3. Surat DPRD Sulut nomor: 160/DPRD/84 tanggal 26 Maret 2007 tentang Dukungan DPRD terhadap Sikap Gubernur mengenai Penolakan dokumen Amdal PT MSM dan PT TTN, fotocopy terlampir;


4. Hasil hearing Komisi A,B,C dan D tanggal 9 Agustus 2007 dengan beberapa NGO yaitu Ammalta Sulut, Yayasan Suara Nurani, Walhi Sulut, Majelis Adat Minahasa, Perkumpulan Kelola, dan masyarakat yang bersengketa tanah dengan PT MSM (foto-foto terlampir); Adapun hasil hearing tersebut adalah mendukung sikap Gubernur Sulut dalam menolak Amdal PT MSM dan mempertanyakan sikap Dirjen Minerba Dep. ESDM, sdr Simon Sembiring yang menganalogikan pemerintah dan rakyat Sulut sebagai kambing-kambing;

Dengan ini kami memprotes, sekaligus meminta klarifikasi Komisi A tentang rencana hearing Komisi A DPRD Sulut atas penolakan Gubernur Sulut terhadap dokumen Amdal PT MSM dan PT TTN karena hal-hal sebagai berikut:


1. Bahwa surat DPRD nomor: 160/DPRD/130 tanggal 10 Februari 2003, diinisiasi oleh Komisi A;


2. Bahwa sikap Dewan Perwakilan Rakyat Sulut sebagaimana dimaksud surat DPRD Sulut nomor 160/DPRD/84 tanggal 26 Maret 2007, serta hasil hearing lintas komisi tanggal 9 Agustus 2007, adalah sikap resmi DPRD Sulut dimana Komisi A sudah termasuk didalamnya;


3. Bahwa menurut PP Nomor 27 tahun 1999 tentang Amdal, terdapat beberapa cacat hukum dalam dokumen amdal PT MSM dan PT TTN, antara lainnya bertentangan dengan ketentuan hukum yang dimaksud pasal 8 s/d pasal 12 PP Nomor 27 tahun 1999; Sehingga oleh karenanya, alasan-alasan yang diajukan oleh Advokat OC. Kaligis tentang Amdal PT MSM telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, patut diragukan dan dipertanyakan;


4. Bahwa rencana hearing Komisi A DPRD Sulut terhadap kasus ini, menurut kami adalah sikap inkonsistensi Komisi A DPRD Sulut sebagai lembaga politik yang seharusnya mempertahankan kehormatannya; Bahkan menurut beberapa kalangan, agenda hearing tersebut memiliki korelasi dengan analogi Sdr. Simon Sembiring tentang Pemerintah dan rakyat Sulut sebagai kambing-kambing;


Demikian penyampaian kami, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.


Hormat Kami,

David Katang (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang (AMMALTA) Sulut, Jull Takaliuang (Yayasan Suara Nurani), Yahya Laode (Walhi Sulut), Decky Tiwow (Perkumpulan Kelola).

Tembusan:
1. Menteri Dalam Negeri RI di Jakarta; 2. Gubernur Provinsi Sulawesi Utara di Manado; 3. DPP Partai Golkar di Jakarta;
4.DPP PDIP di Jakarta; 5. DPP PKB di Jakarta; 6. DPP PKS di Jakarta; 7. DPP PDS di Jakarta; 8. DPD Partai Golkar Sulut di Manado; 9. DPD PDIP Sulut di Manado; 10. DPD PKB Sulut di Manado; 11. DPD PKS Sulut di Manado; 12. DPD PDS Sulut di Manado



Catatan


Perusahaan MSM (Meares Soputan Mining Offshore Pty. Ltd) dan TTN (PT Tambang Tondano Nusajaya) adalah dua anak perusahaan Aurora dari Australia. MSM berencana melakukan eksploitasi tambang di kawasan seluas 8,9 ribu hektar di Bitung dan Minahasa Utara. Sementara TTN, seluas 30,2 ribu hektar di Minahasa Utara.


85 persen saham Aurora dijual kepada Archipelago Resources PLC (terdaftar di Inggris), bulan Februari 2002. Para pemegang saham Archipelago Resources antara lain Ocean Resources Capital Holdings (Australia), John Colin Loosemore, Michael Norman Arnett dan istri.


Sejak Agustus 2005, Archipelago Resources dikelola oleh Ambrian Partners Ltd London yang memperoleh dana untuk konstruksi tambang di Toka Tindung, Sulawesi Utara. Bulan Maret 2006, perusahaan ini memperolah pendanaan dari NM Rothschild & Sons (Australia). Perusahaan yang lazim dikenal dengan Rothschild.


Sumber: www.save-lembeh.info



15 Februari, 2008

Minum obat sosial-demokrasi

Jerman memraktekkan sistem kesehatan menyeluruh bagi warganya. Bagaimana efisiensi sumberdaya dikenalkan sambil menjamin akses warga atas layanan kesehatan? Sebuah pengalaman pribadi.

Pintu ruang praktek dokter Rieger masih tutup, ketika saya tiba. Hari masih pagi, sekitar jam 8.

Dokter Rieger adalah dokter lokal untuk empat asrama mahasiswa di kawasan Leipzig Zentrum Suedost, tempat saya tinggal. Usia perempuan ini sudah lanjut. Ia dikenal ramah pada pasien.

Saya orang kedua yang diperiksa pagi itu setelah seorang nenek yang sudah bikin janji dengannya. Sejak awal Januari saya dijangkiti batuk yang tak berhenti. “Lho, kenapa baru kemari sekarang?“ tanya dia. Saya cuma tersenyum kecut.

Setelah memeriksa saya, dia bilang batuk saya antara lain disebabkan meningkatnya kadar asam dalam perut. Ini memicu paru-paru memroduksi batuk. Sebelumnya dia tanya, apa saja yang saya makan akhir-akhir ini.

Di kertas resep, dia menulis Omeprazol-biomo. Ini adalah kapsul yang harus saya minum tiap setengah jam sebelum sarapan pagi.

“Kamu tinggal di Sumatra?”, tanya dia di sela-sela pemeriksaan. Saya bilang, bahwa saya tinggal di utara Sulawesi yang tidak disapu tsunami.

Dia juga menulis surat rujukan agar saya melakukan Roentgen di klinik radiologi milik Universitas Leipzig. Dengan jalan kaki, klinik itu dicapai tak sampai 10 menit dari asrama saya. Hasil sinar Roentgen akan dikirim padanya lewat pos.

“Seperti yang Anda baca di ruang tunggu,“ ujar dokter Rieger sambil menulis surat rujuk itu, “Anda membayar 20 Euro.” Saya lalu mengambil dompet. “Tetapi, Anda kan masih mahasiswa. Anda cukup bayar 10 Euro saja.” Saya tersenyum dan merogoh saku.

Di ruang tunggu saya memang lihat pengumuman biaya dokter. Di print tebal di atas kertas putih dengan tinta warna merah.

Di ruang itu, sambil menunggu giliran periksa, saya melanjutkan membaca buku Tim Harford, The Logic of Life. Buku menarik, ringan dibaca, tentang logika ilmu ekonomi sehari-hari. Sebagian besar argumentasi Harford, sayangnya, masih bersandar pada konsep rasionalitas yang terbukti kurang akurat oleh behavioural economics.

Saya menebus resep obat tersebut malamnya di Loewen-Apotheke, di Augustuzplatz, di pusat kota Leipzig. Saya membayar 29 Euro untuk 50 biji kapsul ukuran 20 miligram.

Rupanya saya adalah bagian dari sebuah sistem besar yang bekerja. Jerman memiliki sistem pelayanan kesehatan publik salah satu yang terbaik di dunia.

Di negeri ini, sejak reformasi sektor kesehatan, setiap orang sakit membayar 10 Euro (atau 20 Euro, tergantung dokter). Bayaran itu hanya dipungut satu kali dan berlaku untuk 3 bulan. Sebelumnya pasien tidak membayar sama sekali.

Reformasi sektor kesehatan itu uniknya berlangsung dibawah pemerintahan sosial-demokrat. Sosial-demokrasi adalah paham tentang pengorganisasian masyarakat, diyakini sebagian besar orang Jerman.

Paham ini beranggapan, antara lain, bahwa setiap warga negara memiliki akses atas layanan kesehatan. Sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, baik warga negara Jerman ataupun pendatang mesti terdaftar dalam asuransi kesehatan.

Dulu, asuransi hanyalah asuransi yang disebut Gesetzliche Krankenversicherung (GKV). Ini asuransi yang dikelola negara. Sejak reformasi tersebut, asuransi model swasta juga dikenalkan, Private Krankenversicherung (PKV).

Termasuk dikenalkannya 10 Euro itu. Saya duga, ini cara kaum sosial-demokrat mencari jalan tengah antara akses kesehatan bagi seluruh warga negara di satu sisi, dan efisiensi penggunaan sumber daya kesehatan, di sisi yang lain.

Kedua macam asuransi ini punya keunggulan dan kelemahan. GKV misalnya lebih mahal dibanding asuransi privat PKV, sebab asuransi GKV mengandung elemen solidaritas. Ada bagian iuran asuransi ini yang dipakai untuk membantu mereka yang tidak mampu.

Sebagai gambaran, seorang mahasiswa membayar sekitar 60 Euro setiap bulan bila menggunakan GKV. Ini setara dengan sekitar 780 ribu Rupiah. Mereka yang sudah bekerja, membayar lebih mahal berdasarkan tingkat pendapatan.

Warga negara diberi kebebasan memilih asuransi mana yang disukai. Adalah menarik bahwa sebagian besar orang Jerman memilih asuransi yang lebih mahal.

Menurut KBV (Kassenaerztliche Bundesvereinigung), sebuah persatuan dokter Jerman, pada tahun 2006 terdapat sekitar 70 juta orang Jerman yang menggunakan GKV. Asuransi privat PKV digunakan oleh 8,5 juta orang. Saya sendiri pernah menggunakan kedua jenis asuransi ini.

Tiga hari kemudian saya datang kembali pada dokter Rieger.

“Dokter, kok batuk saya belum kunjung reda?“ tanya saya.

“Obat butuh minimal tiga hari untuk dinilai efeknya”. Dia melirik kalender. Saya datang pertama kali 4 Februari, 2008. Dia juga menelpon Klinik Universitas dan menanyakan hasil Roentgen saya.

Dia memeriksa bidang lidah saya. Tak lama kemudian ia membuka buku katalog obat yang tebal, warna putih, dan menulis resep baru. Kali ini saya diberi Symbicort Turbohaler. Obat dalam bentuk serbuk, yang harus saya hisap setiap pagi dan saat malam tiba.

Di apotek yang sama saya membeli obat ini. 80 mikrogram, dosis 4.5, untuk 120 kali hisap. Harganya 69 Euro. Lebih dari dua kali dibanding harga obat pertama.

Kecuali 10 Euro itu, semua biaya pengobatan saya akan diganti asuransi kesehatan. Saya cukup mengirim kuitansi dan resep dokter guna memperoleh penggantian tersebut.

Bagaimana Jerman membiayai sistem kesehatannya? Bagaimana negeri ini menyekolahkan gratis lalu membiayai orang-orang seperti dokter Rieger yang kompeten dan ramah melayani pasiennya?

Saya melihat kuitansi obat. Pajak Pertambahan Nilai tertulis sebesar 19 persen. Hampir dua kali lipat dibanding pajak sejenis untuk obat di negeri saya.

***

Baca juga

11 Februari, 2008

Jembatan Keledai untuk Der Die Das

Sabtu lalu si Cya melanjutkan kursus. Kursus Bahasa Jerman dia di Goethe Institut sempat terhenti, sejak Jakarta disergap banjir.

Sepulang kursus, dia menelepon saya.

"Say, ada Jembatan Keledai ngga untuk belajar tu Der Die Das?", tanya dia dari seberang telepon, dengan logat Manado yang khas.

Rupanya dia sedang mencari siasat untuk memudahkan dirinya menghapal dan mengingat artikel dalam Bahasa Jerman.

Dalam Bahasa Jerman, terdapat tiga artikel dasar: Der, Die dan Das. "Der" digunakan untuk menunjuk kata benda yang maskulin; "Die" untuk feminin, juga untuk jamak; sementara kata benda netral mengunakan artikel "Das".

Repotnya, dalam Bahasa Jerman tidak pernah ada patokan, kelompok kata benda mana saja yang masuk kategori feminin, maskulin atau netral.

Ambil contoh kata "Maedchen". Kata Jerman untuk gadis atau perempuan muda ini masuk kategori netral, bukan feminin. Jadinya Das Maedchen, bukan Die Maedchen. Saya dapat mengerti, mengapa Cya mencari-cari Jembatan Keledai.

Sebagai pembanding, dalam Bahasa Inggris pasangan artikel dan kata benda jauh lebih mudah diingat. Penggunaannya begitu jelas. Kita cukup melihat huruf pertama dari kata benda tersebut, beres.

Bahasa Inggris punya tiga artikel: The, A dan An. "The" untuk kata benda yang sudah dirujuk; "A" untuk kata benda yang diawali huruf mati; "An" dipakai untuk kata benda dengan huruf hidup (a, i, u, e, o) dan untuk kata benda berhuruf mati tetapi berbunyi seperti huruf hidup, misalnya huruf mati "h" dalam kata "hour" (jam).

Kata "Apple" misalnya pasti menggunakan artikel "An", karena huruf hidup di awal kata tersebut.

Di Sekolah Menengah, salah satu taktik yang kerap kita gunakan untuk urusan hapal-menghapal adalah menggunakan Jembatan Keledai. Otak kita lantas dimanipulasi sedemikan rupa agar berfungsi lebih. Dengan membangun jembatan antara asosiasi tertentu dengan apa yang ingin kita hapal, misalnya.

Lalu, bagaimana dong menghapal artikel dalam bahasa Jerman?

Cya yang malang. Tidak ada pilihan bagi perempuan manis dan cerdas ini selain mengingat artikel-artikel tersebut bersama kata-kata benda pasangannya. "Tidak ada" Jembatan Keledai yang bisa dia gunakan.

Memang, terdapat beberapa kecenderungan kata yang bisa membantunya. Misalnya, kata-kata benda dengan akhiran tertentu biasanya menggunakan artikel "Die". Seperti kata dengan akhiran -ung. Contoh: Die Uebung [latihan], Die Gestaltung [bentuk], atau Die Weltanschauung [filsafat hidup, carapandang].

Meski demikian, ada begitu banyak pengecualian dalam Bahasa Jerman. Cukup banyak untuk membuat pengecualian tersebut menjadi "aturan" yang baru.

Begitulah. Deutsche Sprache, schwere Sprache, kata orang. Bahasa Jerman, bahasa yang rumit. Barangsiapa yang pernah belajar bahasa ini tahu persoalan itu. Kita pantas iri dengan orang Jerman yang "tidak pernah" harus belajar gramatik dalam bahasa mereka sendiri.

Saya tertawa mendengar pertanyaan dia di telepon itu. Dia juga ikut tertawa. "Ntar juga jadi hapal sendiri", saya memberi semangat.

Dalam sambungan telepon yang terentang belasan ribu mil, kami akhirnya tertawa sama-sama.


***



CATATAN NO. 1

Artikel penunjuk kata benda yang disinggung di atas adalah artikel dalam bentuk penggunaan yang paling dasar dalam Bahasa Jerman. Penggunaan dalam apa yang biasa disebut Genus. Misalnya Der Stern [bintang], Das Wasser [air] dan Die Sonne [matahari]. Bahasa Inggris cuma punya satu artikel untuk ini: The.

Bahasa Jerman juga mengenal artikel yang belum pasti atau spesifik dirujuk, Unbestimmter Artikel. Kata "ein" digunakan untuk menunjuk kata benda maskulin dan netral, dan "eine" untuk kata benda feminin. Misalnya, ein Haus (sebuah rumah) atau eine Mutter (seorang ibu).

Artikel dalam Bahasa Jerman akan turut menyesuaikan dirinya alias berubah bentuk bergantung pula pada Kasus. Apakah kasusnya Nominativ (siapa pelaku), Dativ (kepada siapa) atau Akkusativ (apa). Di sini, artikel Der dan Das menjadi Dem, sementara Die berubah menjadi Der.

Saya pikir, bagian inilah bagian paling sulit dari belajar Bahasa Jerman. Di satu sisi, kita harus memikirkan artikel dalam bentuk Genus di atas. Dan secara bersamaan, merubahnya ke dalam bentuk sesuai posisi Kasus kata benda tersebut.

Di luar itu, terdapat pula yang disebut dengan Genitiv. Ini biasa digunakan untuk kepemilikan. Misal: rumahnya, haknya, dll. Dalam bagian ini, Der dan Das berubah menjadi Des, lazimnya diikuti dengan penambahan akhiran -s pada kata benda yang dirujuk. Sementara Die menjadi Der.


CATATAN NO. 2

Uniknya, kata sifat (adjektiv) yang terkait dengan penggunaan-penggunaan di atas, juga ikut berubah mengikuti kata benda, artikel dan sudah barang tentu, posisi Kasus. Para ahli Bahasa Jerman menyebutnya sebagai deklinasi. Bahasa Jerman punya banyak Adjektivdeklination.

Saya membayangkan, seperti apa Cya akan ngomel pada saya, ketika kursus dia mulai masuk pada bagian deklinasi ini.


CATATAN NO. 3

Fadjar, sahabat saya yang juga lagi kursus Bahasa Jerman dan bergumul dengan "misteri" Der Die Das, memberikan beberapa tips berikut untuk memudahkan menghapal artikel penunjuk.

DER

*Orang dan profesi laki2
*Nama2 hari, bulan, musim
*Kata benda berakhiran: -and, -ent, -er, -ig, -ismus, -ist, -ling, -or

DIE

*Orang dan profesi perempuan
*Kebanyakan nama bunga dan pohon
*Kata benda berakhiran: -ei, -enz, -heit, -keit, -ie, -ik, -in, -ion, -schaft, -taet, -ung

DAS

*Kebanyakan kt benda dengan prefix -Ge
*Semua kata benda berakhiran: -chen, -lein (ini menjelaskan das Maedchen)
*Kebanyakan kata benda berakhiran: -nis, -ment, -o, -tum


03 Februari, 2008

Indonesia urutan buntut di EPI 2008

Environmental Performance Index (EPI) tahun 2008 diluncurkan. Dan prestasi Indonesia lumayan buruk. Dengan skor 66 poin prosentase, Indonesia berada pada peringkat 102 dari 149 negara yang dinilai.

Dibanding negara tetangga, Indonesia relatif tertinggal. Malaysia misalnya berada pada peringkat 27 (skor=84). Sementara Thailand di posisi 53 (skor=79).

Peringkat terbaik tahun ini ditempati Swiss, dengan skor 95.5 poin. Lalu, diikuti oleh negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia dan Finlandia. Yang menarik adalah Kosta Rika. Negara kecil di Amerika Latin ini menempati posisi ke-5.

Bagaimana membaca EPI?

EPI merupakan indeks yang disusun berdasarkan sekumpulan data terkait perlindungan lingkungan hidup dan keberlanjutan global, global sustainability.

Ada dua Fokus dari EPI. Pertama, mengurangi tekanan lingkungan atas kesehatan manusia. Kedua, memajukan vitalitas ekosistem dan pengelolaan sumberdaya alam yang tepat.

Secara metodologi, rancangan EPI berkait dengan upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), khususnya environmental sustainability. MDG adalah program yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dan berisi target pembangunan yang harus dicapai.

Membaca indeks EPI bisa dengan contoh berikut. Katakanlah skor sebuah negara untuk kategori kebijakan X adalah 70 persen. Artinya, secara kuantitatif kebijakan negara tersebut untuk kategori kebijakan dimaksud, telah mencapai 70 persen target MDG.

Meski Indonesia secara keseluruhan masih buruk, terdapat beberapa kategori kebijakan di mana negara kita membukukan skor yang baik. Misalnya, kebijakan dampak polusi udara atas ekosistem, efek polusi lingkungan atas penyakit, dan polusi air atas ekosistem.

Hampir 100 persen target untuk kategori-kategori kebijakan yang disebut di atas telah tercapai. Akan tetapi, misalnya untuk kategori kebijakan memperlambat laju perubahan iklim, pencapaian Indonesia belum sampai 60 persen.

Lebih detail tentang country scores, kategori kebijakan, dan indikator untuk Indonesia dapat dilihat di sini. Laporan EPI 2008 secara lengkap dapat dibaca di sini.


Kritik atas index ini


EPI bukan tanpa kritik. Menurut Helmholtz Center for Environmental Research (UFZ) Leipzig, Jerman, salah satu lembaga riset lingkungan hidup terbesar dan penting di Eropa, EPI 2008 punya kelemahan. Antara lain.

  • Tidak melakukan pembedaan metodologis yang sesuai. Misalnya, perbedaan antara negara industri maju dan negara berkembang, atau juga perbedaan antar benua. Afrika dengan Eropa contohnya .
  • Pembobotan (weight) menguntungkan negara maju. Misalnya, untuk indikator penyakit yang disebabkan polusi lingkungan, pembobotan dalam EPI adalah tinggi. Negara maju, dengan dana besar yang tersedia, tentu memiliki kemampuan lebih besar dalam aspek ini. Tak heran, dengan bobot yang tinggi, negara maju punya indeks relatif lebih tinggi. Bandingkan misalnya dengan indikator penggunaan energi dan sumberdaya. EPI 2008 memberikan pembobotan yang rendah untuk indikator ini. Padahal, negara-negara maju adalah pengguna energi terbesar dan merupakan bagian dari masalah global sustainability.
  • EPI 2008 memiliki persoalan legitimasi. Terkait dengan Proximity-to-Target dalam metodologi EPI ini, sebagian indikator tidak berdasarkan pada target kebijakan hasil proses politik di negeri bersangkutan. Melainkan, target tersebut ditentukan oleh pendapat para ahli.
  • Telah ada instrumen yang lebih cocok dibanding EPI. Untuk negara-negara yang belum memiliki sistem monitoring, EPI tentu bisa menjadi orientasi yang baik untuk pembuatan kebijakan lingkungan. Sementara, bagi negara-negara seperti Uni Eropa, EPI kurang cocok. Uni Eropa sendiri telah memiliki instrumen yang lebih cocok dan lebih tepat dibanding EPI.
Selengkapnya, siaran pers UFZ di atas dapat dibaca di sini. (Dalam bahasa Jerman).


***












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar