27 April, 2008

Energi terbarukan dan Parabola Scheffler

Begitu cantik akhir pekan lalu. Saya menghabiskannya di kota Goettingen. Sebuah kota kecil, kota mahasiswa, yang dikelilingi perbukitan rendah. Letaknya di negara bagian Niedersachsen, Jerman. Pekan lalu, matahari muncul penuh menyinari kota ini.

Saya ikut seminar tentang energi terbarukan. Seminar berlangsung tiga hari, dari Jumat sampai Minggu, 25 sampai 27 April, 2008. Afrikanisch-Asiatische Studienfoerderung (AASF), organisasi pendukung mahasiswa Afrika dan Asia di Jerman yang berdiri tahun 1974, adalah penyelenggara.

Tahun ini, peserta dari Birma, Pakistan, Cina, Afganistan dan Etiopia tampaknya lebih didahulukan. Proporsi mereka lebih banyak dibanding dari negara lain. Mahasiswa Indonesia cuma saya sendiri. Rata-rata peserta adalah mahasiswa teknik lingkungan, teknologi atau kimia. Saya seorang yang belajar ilmu ekonomi. Seminar ini dibiayai Dinas Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) Jerman.

Tema setiap tahun berbeda-beda. Sebelumnya, Mohammad Yunus berkali-kali memberi kuliah di seminar ini. Yunus mengembangkan Grameen Bank di Banglades, bank rakyat yang memberi kredit bagi orang miskin. Dua tahun lalu, ekonom ini memenangkan hadiah Nobel Perdamaian.

Reflektor Scheffler

Dari beberapa pembicara seminar kali ini, Wolfgang Scheffler mencuri perhatian saya. Pembicara yang lain mengulas persoalan energi di Etiopia, inovasi biomas skala kecil di Jerman, dan desa ekologis di Afganistan.

Siapa si Scheffler? Di banyak tempat di Afrika, Asia dan Amerika Latin, warga miskin menggunakan apa yang oleh warga sendiri disebut sebagai Reflektor Scheffler. Ini sebentuk parabola dari kaca yang mengarahkan sinar matahari menjadi fokus. Sinar matahari itu digunakan untuk memasak, menjalankan mesin, sebagai pemanas, dan lain sebagainya. Termasuk menjalankan dapur umum raksasa.

Scheffler sendiri adalah sarjana fisika. Ia terpanggil mengabdikan hidupnya di negara miskin dan berkembang. 25 tahun lalu, ia mengembangkan reflektor ini di Kenya. Lalu pindah ke India. Kini, bersama istrinya, dia membangun reflektor di seluruh dunia. Situs Solare Bruecke menyelia informasi, dari kiprahnya sampai teknis pembuatan reflektor.

Scheffler orang yang ramah, bersahabat. Ia juga gemar dan tulus berbagi ilmu. Kami berbincang lama tiap kali jeda. Kebetulan, Schefller dan saya punya minat yang sama atas penyusunan anggaran partisipatif di Brazil. “Kamu baca buku ini, deh!“ ujar dia sambil menulis Die Plannungszelle, karya sosiolog Peter Dienel. Ini buku tentang bagaimana mendorong demokrasi deliberatif.

Saya (kanan) bersama Wolfgang Scheffler

Saya mengendus komitmen dari setiap penggal kata-katanya. “Pengetahuan haruslah menjadi milik umum, milik commons,“ kata dia pada saya, saat makan siang. Ini alasan, mengapa ia tidak pernah mematenkan reflektor temuannya. Membiarkannya jadi milik setiap orang.

“Bila bisa diakses umum, teknologi memudahkan kita mencapai kemakmuran bersama,“ tuturnya. Gagasannya tentang akses sumberdaya adalah radikal. “Kemiskinan di mana-mana, padahal kita punya sumberdaya berlimpah.“

Seminar ini punya sesi menarik yang lain: desa Bedmoschk di Afganistan. Sebuah desa yang menggunakan kombinasi energi terbarukan sebagai sumber energinya. Baik energi sinar matahari atau angin.

Sekarang warga desa sedang mengembangkan teknologi baru. Sambil duduk nonton TV, mengayuh "sepeda" pembangkit energi. Luar biasa sekaligus lucu. Soalnya, saya ingat Taliban, rejim-agama yang represif dan menyeramkan itu, kapan saja mendengar Afganistan. Scheffler dan istrinya membantu membangun pasokan energi desa percontohan ini.

Saya jadi ingat kampung saya. Di Minahasa, petani menurunkan kadar kopra dengan kubah dari seng. Kopra adalah kelapa yang diasapi. Petani juga menurunkan kadar air cengkih dengan menjemur langsung di bawah terik matahari. Butuh waktu dan sumberdaya lebih lama, lebih banyak. Orang juga memasak kue tradisional dengan minyak tanah, bahan bakar yang kian lama kian mahal.

Membuat Reflektor Scheffler tampaknya mudah. Bisa disesuaikan pula dengan kebutuhan setempat. Teknologi ini dapat dikelola warga secara bersama-sama, secara mapalus. Misalnya melalui kelompok tani atau kelompok pemuda. Scheffler bersedia memberi pelatihan selama dua bulan.

Menenteng berkantong-kantong perspektif baru, saya meninggalkan kota Goettingen.

***

Foto-foto kota Goettingen yang saya ambil, klik sini.

25 April, 2008

Warga, LSM, dan Gubernur tolak tambang di Minahasa Utara

Laporan Budi R Rarumangkay. Sulutlink, 25 April 2008. "Bersama Rakyat SHS tolak MSM!".

MANADO, Sulutlink. Kembali masa aksi menolak pertambangan emas di Sulut, turun jalan. Ribuan massa yang terdiri dari Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang (AMMALTA) Sulut, Yayasan Suara Nurani (YSN), LBH Manado, WALHI Sulut, KELOLA, KOFFAS, Tri Prasetya, MPA Tunas Hijau dan MPA Asteroida, tetap konsisten menjaga lingkungan dari ancaman bencana ekologi yang diakibatkan pertambangan.

Bahkan, massa yang dipimpin oleh Didi Koleangan, Yull Takaliuang dan tokoh Minut Piet Luntungan ini, menyatakan akan terus bersama-sama Gubernur Drs Sinyo Harry Sarundajang (SHS) menolak operasional PT Meares Soputan Minning (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN) di Tokatindung Minut.

“Jangan takut pak Gubernur !, kami akan terus bersama menolak operasional MSM di Minut !,”teriak aktivis Yull Takaliuang bersama ribuan massa aksi saat diterima SHS di halaman kantor gubernur, Kamis (24/04).

Karenanya kata Takaliuang, sebagai gubernur Sulut harus berani mengambil sikap tegas dengan menghentikan segala bentuk aktivitas PTMSM di Tokatindung. Sebab ungkapnya, sampai saat ini MSM terus melakukan aktivitasnya.” Masih banyak potensi lain yang bisa digarap selain pertambangan yang hanya menimbulkan bencana bagi anak cucu kita. Tahun 2009 nanti jangan lagi ada rakyat memilih para politisi busuk di dewan Minut yang mendukung MSM,” timpal Luntungan tokoh masyarakat Minut.

Gubernur Drs Sinyo Harry Sarundajang sendiri saat menerima pendemo mengatakan, penolakannya atas operasional MSM di Tokatindung Minut, dikarenakan rakyat juga menyatakan penolakannya.”Petisi masyarakat yang disampaikan ini akan saya teruskan pada Presiden SBY. Untuk itu, saya minta untuk tetap konsisten dalam menghalau para perusak lingkungan di Sulut. Bumi ciptaan Tuhan ini harus diselamatkan dari kerusakan, dan lebih dari itu keserakahan !,”tegas SHS dalam sambutannya usai menerima petisi masyarakat internasional dan pernyataan penolakan operasional MSM dari Yull Takaliuang, Didi Koleangan dan Piet Luntungan.

Sementara itu, Koleangan saat membacakan pernyataan sikap usir MSM dan TTN dari Sulut serta peringatan 1 tahun Ikrar Rakyat Menjaga Lingkungan Sulut dalam bingkai Green Award, menyatakan; Masyarakat Sulut saat ini, sedang diadu domba oleh MSM dan oknum-oknum korup di Departemen ESDM dengan memanfaatkan para penjual tanah air yang memilih sejahtera jangka pendek namun miskin merana dalam jangka panjang.

VOC baru sedang bergerilya untuk menguras habis kekayaan mineral Sulut dan hendak menebarkan bencana ekologi serta kerusakan lingkungan hidup bagi jutaan rakyat Sulut. Ketika bujukan sesaat (Investasi, menekan pengangguran, pertumbuhan ekonomi, “kesucian” kontrak karya), tidak diperhatikan, Departemen ESDM menunjukan sifat aslinya yaitu menjajah bangsa sendiri (Pemprov Sulut) dan menyerahkan nasib Negara Republik Indonesia kepada mafia peradilan internasional.

Departemen ESDM dan antek-anteknya di Sulut, khususnya di Minut telah mencederai aspirasi rakyat menolak operasi PT MSM dan PT TTN. Departemen ESDM memang terkenal sebagai instansi perusak lingkungan yang paling tidak bertanggungjawab, antara lainnya, sebagai pemberi ijin PT Lapindo Brantas, ternyata Dep ESDM sama sekali tidak menunjukan tanggungjawab ketika lumpur panas mulai menenggelamkan Provinsi Jawa Timur.

Para pembela MSM yang menjadi pejabat dengan gaji dari uang rakyat, telah menjungkirbalikan azas-azas- negara serta merusak sendi-sendi kehidupan masyarakat Sulut. Keputusan Gubernur dan DPRD Sulut menolak operasi PT MSM dan PT TTN di Sulut dianggap tidak ada. Penolakan rakyat dianggap cuma rekayasa LSM. Kepentingan rakyat dianggap bukan prioritas. Konspirasi elit politisi busuk dan partai busuk serta para petulangan penjual tanah air dianggap yang terpenting oleh Departemen ESDM.

Bargaining politisi busuk yang diduga kuat bertujuan mendapatkan donasi dinilai lebih penting ketimbang keselamatan masyarakat. Rakyat dan Pemprov Sulut dipaksa sukacita dan sukarela menerima semua kezaliman dan penghianatan ini. PT MSM dan PT TTN diberi ijin operasi oleh Departemen ESDM, tanpa Amdal, artinya, PT MSM dan PT TTN diberi ijin oleh Departemen ESDM untuk memperkosa lingkungan hidup dan hak-hak masyarakat Sulut dicabut. Ini adalah bukti penjajahan pusat terhadap daerah.

Upaya masyarakat Sulut mencegah bencana ekologi dan kerusakan lingkungan hendak dihentikan oleh para penjual tanah air. Ada politisi busuk di kursi empauk DPRD menghianati konstituennya dengan menjadi agen MSM hanya demi dana siluman partain tertentu. Ada 8 Hukum Tua dan 1 Lurah yang menjual dirinya kepada MSM demi uang community development atau company social response (CSR).

Ada ilmuan Unsrat yang melakukan kajian ilmiah dengan hasil yang sudah ditentukan oleh pemesannya yaitu MSM. Ada pejabat Minut yang mengambil alih kewenangan Menteri untuk memberi ijin pada PT MSM dengan mengorbankan kepentingan ribuan nelayan Minahasa Utara. Ada oknum oknum Wakil Ketua DPRD Minut yang mengklaim Ketua DPRD Minut lalu meneken Surat Keputusan (SK) DPRD Minut membela MSM. Ada Dirjen yang membuat Surat Keputusan operasi bagi PT MSM tanpa didukung Amdal. Ada pendeta yang membela MSM walaupun gerejanya pecah.

Seluruhnya mengindikasikan telah berlangsung sim salabim dan dugaan praktik suap pada hampir semua ijin PT MSM dan PT TTN. Beberapa oknum anggota DPRD Minut, bahkan diduga menggunakan dana APBD untuk memuluskan operasi MSM.

Dukungan Walikota Manado yang juga sebagai ketua salah satu partai politik di Sulut telah menuai protes internasional dan hampir seluruh negara maju di dunia yang akan melakukan embargo terhadap program Manado Kota Pariwisata Dunia (MKPD) 2010. Kepentingan uang kecil dan “uang kaget” oknum-oknum pembela MSM, harus ditebus dengan matinya salah satu sektor utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sulut.

Bertumbuh-pesatnya kesadaran masyarakat Sulut tentang pentingnya menjaga lingkungan, telah dijawab Gubernur Sulut dengan menolak tegas operasi PT MSM dan PT TTN pada tanggal 2 Februari 2007, setahun silam, 24 April 2007, 12 ribu orang masyarakat Sulut yang terdiri dari 7 Kabupaten dan Kota serta 44 LSM ketika memperingati Hari bumi, dengan inisiatif sendiri telah berikrar untuk menjaga lingkungan dan akan mengusir PT MSM dan PT TTN dari bumi Sulut.

Pada saat yang sama, massa telah menganugerahkan Green Award kepada gubernur Sulut Drs Sinyo Harry Sarundajang, karena sikapnya yang nyata-nyata membela kepentingan rakyatnya saat ini dan jangka panjang. Oleh karena itu, kami tegaskan akan mengusir PT MSM dan PT TTN dari bumi Sulut untuk kepentingan anak cucu. Kami tetap konsiten dalam ikrar Rakyat Sulut Menjaga Lingkungan. Dan Green Award 2007 adalah yang pertama dan satu-satunya yang dilakukan partisipatif berdasar solidariteit.

Berikut butir-butir pernyataan sikap Ammalta Sulut, Yayasan Suara Nurani, LBH Manado, Walhi Sulut, Kelola, Koffas, Tri Prasetya, MPA Tunas Hijau, MPA Asteroida;

1. Menuntut Departemen ESDM RI untuk membatalkan ijin operasi PT MSM dan PT TTN di Sulut dan menyatakan PT MSM dan PT TTN tidak layak beroperasi di Sulut.

2. Mendesak Pnt Jimmi Rimba Rogi dalam kapasitasnya sebagai Walikota Manado dan Ketua Partai Golkar Sulut untuk mencabut dukungannya terhadap PT MSM dan PT TTN.

3. Mendesak Mendiknas RI untuk mencabut gelar-gelar ilmuan Unsrat yang melacurkan penelitiannya untuk mendukung operasi PT MSM dan PT TTN.

4. Mendesak Bupati Minahasa Utara untuk menonaktifkan 8 Kepala Desa di Minut dan mendesak Walikota Bitung untuk memecat 1 lurah di Bitung yang mendukung operasi PT MSM dan PT TTN.

5. Mendesak Gubernur Sulut untuk memerintahkan pembongkaran dermaga ilegal milik MSM di Rinondoran, dan kembalikan fungsi pantai tersebut untuk kepentingan nelayan tradisional.

6. Usut dan tindak 13 anggota DPRD Minut yang menyalahgunakan jabatannya mendukung PT MSM dan PT TTN.

7. Usut dan penjarakan anggota-anggota DPRD Minut yang diduga menggunakan dana APBD untuk memuluskan operasi PT MSM dan PT TTN melalui ”perjuangan” RTRW di Jakarta.

8. Mendesak Kepala Kepolisian Daerah Sulut untuk menarik semua anggota polisi yang ditempatkan di PT MSM karena adanya indikasi menerima gaji ganda.

9. Mendesak Kepala Kepolisian Daerah Sulut untuk memproses pidana lingkungan terhadap PT MSM karena telah beroperasi tanpa AMDAL dan telah melakukan perubahan bentang alam serta mengalihkan badan sungai. ***


Kredit foto: Budi R Rarumangkay (Sulutlink)

22 April, 2008

Pakai rasio atau intuisi?

Profesor Gerd Gigerenzer. Leipzig, 22 April 2008.
Foto: Sonny M.



Di lantai dasar
toko Lehmanns Buchhandlung, salah satu toko buku terbesar di kota Leipzig, sekitar 30 kursi diatur berjejer. Di depan, ditaruh meja pembicara dengan taplak hitam pekat. Belum satu pun orang menempati tempat duduk.

Gerd Gigerenzer datang. Ia berjas biru gelap dengan kemeja biru terang. 15 menit lagi acara dimulai. Ia mengambil air minum. Lalu bincang-bincang dengan dua orang – sepertinya para penyelenggara.

Gigerenzer adalah psikolog paling penting Jerman saat ini. Dia kepala Max Planck Institute for Human Development, Berlin. Sebelumnya dia profesor di Universitas Chicago. Buku yang akan diluncurkan adalah edisi Jerman dari Good Feelings, bukunya tentang heuristik pengambilan keputusan.

Heuristik adalah semacam aturan atau prinsip yang menuntun kita membuat keputusan. Termasuk dalam mencari alternatif atau keterangan, atau keduanya, untuk keputusan itu. Atau kapan berhenti mencari keterangan. Dari keputusan beli odol gigi sampai menikah atau tidak, berlaku heuristik ini.

Dalam edisi Jerman, buku itu diberi judul Bauchentscheidung. Terjemahan literer: "keputusan perut". Begitu cara orang Jerman menyebut keputusan berdasar intuisi. Selama ini kita kenal "keputusan kepala" yang menggunakan logika dan rasio, bukan heuristik sederhana dan ringkas. Di Swiss, buku Gigerenzer ini memenangkan buku terbaik kategori buku ekonomi. Di Jerman, buku terbaik kategori sains. Buku itu sendiri adalah penjelasan populer dari penelitiannya tentang perilaku manusia.

Dia memberi senyum ramah. Saya mendekatinya. Saya mengenalkan diri, dan membuka pembicaraan.

“Dua hal perlu kita pahami: pikiran dan lingkungan” ujarnya menjawab pertanyaan saya tentang pendapat Herbert Simon. Simon adalah computer scientist, psikolog dan penerima Nobel Ekonomi tahun 1978. Menurut Simon, rasionalitas manusia terbatas dalam mengambil keputusan. Simon adalah penganjur konsep bounded rationality. Ini berbeda dengan teori ekonomi standar yang menganggap manusia punya rasionalitas penuh.

Manusia punya keterbatasan pengetahuan atau sumberdaya, termasuk kemampuan melakukan kalkulasi. Dalam banyak kasus, tahu lebih banyak tidak selalu lebih baik. Manusia melakukan satisficing, merasa cukup, ketika tingkat aspirasinya terpenuhi. Kalau tidak percaya, tanyalah pada mereka yang menikah. Mereka tidak terus-menerus mencari pasangan terbaik. Bukan cuma hal itu sulit, sering pula berakhir kecewa.

Dus, pilihan yang kita buat bersifat adaptif. Dalam membuat keputusan, kita tidak selalu membuat kategori untung-rugi, memberinya bobot, menghitung probabilitas dan utilitas masing-masing, lalu mengambil pilihan dengan jumlah poin tertinggi.

Kita tidak selalu melakukan optimisasi ketika berhadapan dengan keterbatasan. Kerap kita melakukan apa yang disebut Gigerenzer sebagai heuristik cepat dan ringkas, fast and frugal heuristic. Bila Simon mengajukan konsep satisficing, Gigerenzer muncul dengan heuristik ini. Kedua konsep ini anggota keluarga rasionalitas terbatas.

Gigerenzer meneguk air minum di gelas yang dia pegang. Lalu melihat buku yang saya bawa. Matanya sedikit memincing, berusaha membaca judul, sebelum akhirnya dia tersenyum.

Saya membawa buku Simple Heuristics That Make Us Smart yang ditulisnya bersama kolega riset dia. Berisi penjelasan teknis dari buku yang diluncurkan malam ini. Buku itu saya beli dua tahun lalu. “Anda lihat sendiri, Simon senang dengan riset kami,” kata dia sambil tersenyum.

Saya mulai sampai pada kesimpulan, tampaknya dia gemar tersenyum. Simon memang memberi endorsement untuk buku ini, bersama Reinhard Selten, ekonom Jerman penerima Nobel Ekonomi untuk Teori Permainan. Gigerenzer memperluas konsep Simon sekaligus melakukan kritik. “Cuma kritik kecil,” katanya, lagi-lagi dengan senyum.

Toko buku ditutup. Tersisa tinggal hadirin peluncuran buku. Sebagian lampu toko dimatikan. Pembacaan buku dimulai.

Gigerenzer memilih beberapa bagian buku untuk dibaca. Dia mengambil cerita tentang efektifitas heuristik-cepat-dan-ringkas itu. Ada kisah polisi di AS yang menggunakan intuisi untuk menangkap orang. Juga cerita peternak Jepang yang memakai intuisi untuk membedakan bayi-bayi ayam, apakah jantan atau betina. Bagaimana mereka melakukan itu? Baik polisi dan peternak itu menjawab “kami tidak tahu.“

Lalu kisah mahasiswa AS yang lebih sedikit prosentasenya memilih Detroit – dan bukannya Milwaukee, saat ditanya, kota mana berpenduduk lebih banyak. Sementara mahasiswa Jerman menjawab tepat dengan prosentase lebih tinggi, bahwa Detroit punya penduduk lebih banyak. Bukan karena mahasiswa Jerman tahu lebih banyak. Sebaliknya. Mereka justru tahu terlalu sedikit – banyak yang bahkan tidak pernah mendengar Milwaukee. Fenomena ini disebutnya recognition heuristic.

Tahu sedikit kerap lebih baik. Ignorance kadang bikin kita lebih pintar. Begitu pula bila kita cuma tahu setengah. Makanya, saran Gigerenzer, bila Anda berada dalam satu komisi yang berisi para ahli dan pakar, mintalah mereka untuk memberikan pendapat, usul atau solusi dalam jangka waktu yang singkat. Di sini, semakin singkat makin baik dalam membuat keputusan.

Kasusnya mirip andaikata Anda punya perusahaan, dan ingin merekrut karyawan. Melakukan banyak interview belum tentu lebih baik dibanding cuma beberapa kali wawancara.

Ia jelaskan pula, kapan heuristik ini tidak berfungsi. Misalnya ketika pilihannya tidak banyak. Atau rentang waktunya cuma pendek. “Kalau Anda merasa tidak yakin, buang informasi lain. Pakai intuisi,“ jelasnya.

Tentu, penggunaan rasio tetap berguna. “Bukan antara intuisi atau rasio, loh.“ Ia mengingatkan. Tetapi, “intusi dan rasio.“

Sekarang sesi tanya-jawab.

“Profesor, bagaimana Anda memilih makanan?“ tanya seorang dari belakang.

“Pertama, Anda tutup menunya“ kata dia, sambil menutup buku yang sebelumnya dia baca, seolah memegang menu makanan.

“Lalu tanya, ’Apa yang ada di [restoran] sini untuk dimakan?’“

“Jangan pernah tanya, ‘Apa saran Anda?’”.

Hadirin tertawa.

Jam 10 malam peluncuran buku itu selesai. Orang mulai meninggalkan toko buku. Saya menyempatkan diri, mendapatkan tanda tangannya di atas buku yang saya bawa.

“Ini bukan buku yang barusan Anda luncurkan, Profesor.“ Saya bergurau.

Dia tersenyum.

***

13 April, 2008

Kirim yang mana, ya?

Di kampus saya, di Universitas Leipzig, ada lomba foto untuk mahasiswa. Temanya tentang mahasiswa.

Peserta cuma boleh mengirim dua lembar foto. Sementara saya punya tiga. Kira-kira, menurut Anda, dua foto mana yang sebaiknya dikirim?

Apa alasan Anda memilih dua foto tersebut?

Terima kasih. Salam, SM.




















FOTO 1
Menunggu kereta kota, di depan stasiun pusat Leipzig.

(Sonny M, April 2008.)






























FOTO 2

Dua mahasiswa santai, menikmati sinar mentari musim semi.

(Sonny M, April 2008.)






















FOTO 3
Rak simpan di perpustakaan Albertina, Leipzig.

(Sonny M, April 2008.)




***

Tinggalkan komentar Anda di bawah ini. Terima kasih.

11 April, 2008

Kau, Kawan


Di kepalaku menempel gigi ompongmu.

Raga ringkih dan mata sipitmu.

Kau rindu bertani, dulu.
Kini kau racik Cap Tikus.

Kau tantang matahari.
Dari kolong langit.
Di antara seribu kepala.


SM, Leipzig, 11.04.2008

08 April, 2008

Balap karung


Foto ini dijepret Andi Scurita. Diberi judul "Sack Race", balap karung. Foto ini satu dari 57 finalis Sony World Photography Award, sebuah kompetisi foto bagi fotografer amatir.

01 April, 2008

Mimpi Aneh Kaum Muda

Akhmad Rizal Shidiq
Diskusi Ekonomi, 29 Maret 2008

Catatan: Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, peneliti LPEM-UI, dan mahasiswa doktoral di George Mason University, AS. Tulisan ini adalah tanggapan Shidiq atas polemik tentang ekonomi pasar sosial (Epasos) di harian Kompas. Polemik yang turut dipicu tulisan saya "Ekonomi pasar sosial?" (Sonny Mumbunan, Kompas, 21/11/2007).


Menurut Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/07) kaum muda Indonesia, --entah kaum muda yang mana --, sedang dihantui mimpi buruk; didatangi arwah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang meminta warisannya, Republik ini, dijaga. Salah satu caranya adalah dengan mengamalkan kembali ajaran lama, yang kemudian diterjemahkan dalam sebuah istilah Ekonomi Pasar Sosial (Epasos) ala Indonesia. Saya tidak tahu apa jadinya kalau yang datang arwah Tan Malaka.

Susahnya model Epasos ala Indonesia ini tidak lazim, Model ini tidak sama dengan interpretasi Sonny Mumbunan (Kompas, 21/11/07) yang dengan jernih menguraikan asal muasal istilah Epasos, yang lahir di Jerman selepas Perang Dunia kedua. Menurut Sonny, secara singkat, Epasos ala Jerman adalah kapitalisme dengan wajah yang diusahakan humanis.

Sementara itu, definisi Epasos ala Indonesia menurut Sukardi, --supaya tidak salah interpretasi, saya kutip utuh-- adalah sebagai berikut
:
“...Secara filosofis, apa yang saya bayangkan dari epasos model Indonesia adalah menempatkan keluarga sebagai unsur dominan dalam paradigma pembangunan berdampingan dengan negara. Negara-negara kesejahteraan Eropa selama ini menempatkan keluarga dalam kotak marjinal bersama dengan pasar. Adapun negara mempunyai peran dominan. Sebaliknya, negara-negara penganut neoliberal, seperti Amerika Serikat, menempatkan pasar dalam kotak dominan. Sementara itu, peran negara dan keluarga adalah marjinal...”

Dari satu paragraf ini kita akan membahas beberapa kerancuan berpikir yang terjadi dalam membayangkan sebuah konsep sistem perekonomian.

Model Epasos ala Indonesia memasukkan agen baru, yaitu keluarga. Saya kira keluarga dalam hal ini bukanlah terjemahan dari household (rumah tangga) yang lazim didapati dalam model circular flow interaksi perekonomian antara perusahaan, rumah tangga, dan negara, yang selalu diajarkan dalam kuliah pertama Pengantar Ekonomi. Keluarga dalam hal ini lebih mirip entitas sosiologis, sebuah sistem kekerabatan.

Persoalan akan muncul dalam upaya memasukkan sistem kekerabatan sebagai kategori sosiologis dalam sebuah sistem perekonomian, Tapi sebelumnya ada baiknya, kita perlebar perspektif kita tentang kategorisasi berbagai sistem perekonomian dalam kajian ekonomi politik, yang sebagian telah disinggung dalam kutipan di atas.

Kita mulai dari sistem pasar bebas. Dalam sistem ini, sumberdaya dimiliki oleh individu atau swasta. Alokasi sumberdaya tersebut, dalam mengatasi persoalan kelangkaan, dilakukan melalui mekanisme pasar, atau perdagangan. Harga, dalam mekanisme tersebut, berfungsi sebagai sumber informasi bagi para pelaku pasar (individu) dalam melakukan kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, perdagangan) dan menentukan arah pergerakan sumberdaya (alokasi) menuju efisiensi.

Bergerak ke kiri, di sisi lain, dalam sosialisme dan ekonomi terpimpin (planned economy), sumberdaya hampir semuanya dimiliki oleh negara. Alokasi sumberdaya juga dilakukan oleh negara melalui aparatus perencanaan, produksi, dan distribusi. Informasi pasar dikumpulkan dalam sebuah biro perencanaan yang serba tahu.

Tentu pada prakteknya, negara-negara di dunia berada di antara dua kutub tersebut. Seberapa besar peran pemerintah vis-a-vis swasta adalah soal derajat. Welfare states, atau negara kesejahteraan, adalah salah satu variannya. Di sini, hak milik pribadi sangat dominan dan ditegakkan, tetapi negara mengatur alokasi sumberdaya di bidang-bidang kesejahteraan sosial, terutama kesehatan, pendidikan, dan juga kesempatan kerja. Cara pembiayaan untuk subsidi dan tunjangan bidang kesejahteraan sosial tersebut adalah melalui perpajakan yang relatif tinggi.

Dalam model sosialisme, pasar bebas, dan welfare states, memang tidak pernah ada elemen sistem kekerabatan, atau keluarga. Jadi bagaimana mungkin yang tidak ada kemudian ditaruh dalam kotak marjinal, sebagiamana dilansir dalam kutipan di atas?

Menolak sistem pasar bebas sekaligus welfare states, sembari memasukkan elemen baru bernama keluarga, kemudian membawa dua pokok dalam sistem perekonomian: Apakah sumberdaya dimiliki oleh sistem kekerabatan? Bagaimana alokasi sumberdaya dilakukan dalam sistem kekeluargaan tersebut?

Sejarah kepemilikan sumber daya bergerak dari sistem komunalisme menuju ke sistem kepemilikan pribadi. Apakah kemudian kembali ke sistem kekeluargaan berarti semacam nasionalisasi, tapi kali ini dilakukan atas nama sistem kekerabatan?

Yang lebih krusial adalah soal bagaimana kemudian sumberdaya dialokasikan secara efisien dalam sistem kekeluargaan. Bagaimana informasi soal kelangkaan di satu tempat disampaikan ke tempat yang mengalami kelebihan? Bagaimana caranya anggota-anggota sistem kekerabatan menentukan berapa yang hendak diproduksi, dikonsumsi, dan dipertukarkan?


Soal-soal ini pernah dicoba dijawab dengan gagah berani melalui sistem ekonomi perencanaan, atau sosialisme. Tapi saya kira aman kalau kita bilang ekonomi sosialisme adalah proyek yang hanya berhasil menghasilkan diktator. Reproduksi model tersebut, dengan mengganti kata negara menjadi keluarga, saya kira adalah resep menuju kegagalan yang kemungkinan besar lebih dalam. Secara konseptual bahkan Epasos ala Indonesia tersebut lebih lemah ketimbang ekonomi terpimpin yang gagal tersebut.

Lalu mengapa kemudian sistem pasar tidak ditengok sebagai solusi? Mengapa kaum muda intelektual tersebut menghindari sistem pasar?

George Stigler (1984) dalam bukunya, “The Intellectual and the Marketplace” menulis bahwa ketidaksukaan kaum intelektual terhadap sistem pasar terutama sekali karena ketidaktahuan mereka terhadap logika dan cara kerjanya.

Misalnya, Bryan Caplan (2007) dalam “The Myth of Rational Voters: Why Democracies Choose Bad Policies”, mencatat bahwa sentimen anti pasar terjadi karena publik tidak memahami bahwa pembayaran dalam pasar (market payment) tidak sama dengan transfer (pemberian tanpa syarat). Atau dengan kata lain, profit (yang selalu dipandang rendah) bukan hadiah atau setoran.Profit atau pembayaran dalam pasar dilakukanhanya setelah seseorang melakukan sesuatu usaha.

Kedua, publik tidak memahami bahwa monopoli bukan hasil, tetapi bentuk kegagalan sistem pasar membentuk harga dan alokasi sumberdaya yang benar. Sistem pasar yang berhasil (dengan pergerakan keluar masuk pasar yang bebas) tidak akan menciptakan monopoli. Secara konseptual perilaku monopolistik sendiri selalu terancam gagal, apalagi bila melibatkan banyak pemain pasar. Dengan demikian, menyamakan perilaku monopoli dengan sistem pasar, tentu saja jauh panggang dari api.

Masih terkait dengan kegagalan membedakan monopoli dengan sistem pasar adalah kecenderungan publik menyalahkan monopolis (yang kemudian disamakan dengan pasar) apabila terjadi kenaikan harga. Monopoli bisa dipersalahkan untuk harga yang tinggi, tetapi bukan harga yang naik --karena monopolis sudah menetapkan harga yang paling tinggi pada tingkat penawaran dan permintaan tertentu (Landsburg, 2007).

Ketiga, terdapat kecenderungan intelektual untuk memberikan label tertentu yang salah alamat. Misalnya, menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara neo-liberal. Karakter neo-liberal, hantu yang belum terdefinisi dengan jelas, adalah pasar yang bebas dan peran negara yang minimal. Situasi ekonomi politik Amerika Serikat saat ini belum memenuhi persyaratan tersebut. Subsidi pertanian masih besar, tunjangan sosial masih dilakukan, proteksi dan pembatasan imigrasi masih kerap terjadi, dan yang jelas, peran negara masih besar dalam aktivitas ekonominya. Debat soal perlunya upaya bail out pemerintah dalam krisis sub prime mortgage belakangan ini adalah contoh jelasnya.

Agenda neo-liberal sejati, jika memang ada, masih berada di luar sistem utama ekonomi politik AS, dan masih terus disuarakan dari pinggir oleh para pendukungnya; sementara realitasnya pendulum politik bergerak tidak jauh dari tengah, sebatas isu seberapa besar subsidi atau tax cut yang akan dilakukan.

Di dalam negeri, upaya labeling juga problematis. Bagaimana mungkin kita menganggap SBY pro pasar, manakala ia menyatakan bahwa harga BBM tidak akan naik tahun depan, alias subsidi akan terus dijalankan. Atau misalnya, Megawati yang dalam masa pemerintahannya, Letter of Intent dengan IMF ditandatangani menteri-menterinya, adalah pembela ekonomi kerakyatan.

Jadi, daripada bermimpi di siang bolong, lebih baik kaum muda Indonesia bekerja dengan sebaik-baiknya, berpikir sedikit lebih jernih dan tertata, terbuka terhadap perubahan, berani berbeda pendapat (sekalipun dengan pendiri bangsa), dan menyebar dalam berbagai pandangan ekonomi politik. Demokrasi yang sehat tidak menawarkan pandangan yang seragam dan final, tetapi sebuah proses yang tidak pernah berhenti, dan membuka peluang untuk koreksi kesalahaan tanpa lewat paksaan dan kekerasan.

Dan seperti kata Kang Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/07), kaum muda perlu menghormati demokrasi dengan menghindari kemalasan membentuk partai politik jika ingin menyatukan kekuatan untuk memperbaiki negeri ini dari jalur kekuasaan. ***

Baca juga

  • Kaum muda - Sukardi Rinakit. Kompas, 4 Desember 2007.













Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar