06 September, 2008

Tanah tinggi

Kartu pos memanjang itu merangkum kota dari atas, dari tempat tinggi. Ada angkasa memeluk hangat hehijauan pohon di kolong langit. Ada pula bangunan-bangunan tua yang berbaris, menyembul di dasar kartu. Aku pilih kartu itu, agar kau sempat tengok kotaku. Kota tempatku belajar, tempatku menggumuli makna air mata. Dengan kartu itu, aku harap, kau bakal membiarkan senyummu lepas meninggalkan dada sesak penuh bangga yang menari-nari.

Di kartu itu, aku tulis, tak mampu balas sejumputpun bantuan yang kau selia bagi kami sekeluarga, bagiku sedari kecil. Di situ, dengan bergetar, aku menulis maaf: tak bisa membesukmu, saat kau letih meregang nafas. Kau menitikkan air mata, cerita mereka yang menemani kau membaca kartu.

Awal tahun depan pasti aku datang menjenguk, membawa minyak wangi titipanmu. Pasti. Akan kulepas selang-selang itu dan luluri minyak sampai sekujur ragamu harum. Akan kudorong tubuh ringkihmu meluncur di atas kursi roda, biarkan mentari pagi menyapa kulitmu yang kering dan mengelam. Berdua lantas kita pergi ke pusat kota, dan, seperti janjimu tempo hari, akan kau tunjukkan padaku penjahit jas terbaik agar aku tampil necis di hari pernikahanku nanti.

Kau tidak menunggu. Di sore yang tenang kemarin, kau pamit ke tempat jauh. Ke tanah tinggi.

Selamat jalan, Ka Udjit.

***












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar