17 Oktober, 2009

Lanskap Ekonomi Baru Kaum Muda

M. Yudhie Haryono
Direktur Eksekutif Nusantara Centre
Salah Seorang Pengikrar Saatnya Kaum Muda Memimpin

Sonny Mumbunan, Rabu/21/11/2007 menulis artikel menarik berjudul ”Ekonomi Pasar Sosial” yang sangat jernih tentang kritiknya pada gagasan ekonomi politik kaum muda.
Setelah ikrar kaum muda dibacakan pada 28 Oktober kemarin, dunia media kita memang diguncangkan oleh wacana besar ini. Sebuah wacana yang kemudian dipergulirkan dengan dua buah pertanyaan penting. Pertama, lanskap politik seperti apa yang akan digunakan oleh kaum muda. Kedua, lanskap ekonomi ”apa” yang diusung kaum muda.

Tentu ini sesuatu yang menarik. Setidaknya karena kaum muda mengikrarkan tantangan dengan kalimat ”saatnya yang muda, progresif, dan kerakyatan memimpin.” Tetapi menurut Sonny, kereta baru milik kaum muda itu bakal mogok. Sebab bahan bakarnya keliru pada aras konsep. Dalam usulan tata ekonomi-politik masyarakat baru, kaum muda mengajukan sosial-demokrasi (sosdem) dan ekonomi pasar sosial (epasos) dalam satu tarikan napas. Selanjutnya, Sonny menuduh lanskap ekonomi kaum muda hanya karbon kopi, sedang lanskap politiknya tak memiliki partai.

Adakah sesederhana itu masalahnya? Tentu saja tidak sebab, kami juga bukan anti buku dan anti riset. Selebihnya dengan buku dan riset tersebut kami yakin bahwa kereta sejarah memang hanya berhenti sebentar di stasiun bernama kapitalisme dan komunisme. Keduanya akan mengalami revisi yang berulang sebagaimana hukum besi sejarah.

Betul bahwa yang kita kagumi dari kapitalisme adalah kemampuan dirinya untuk beradaptasi dengan iklim manapun. Kapitalisme tidak mendedahkan utopia, ia bersedia untuk dikritik. Kritikan tajam dari kalangan Marxian dan anak pinaknya itu justru membuat kapitalisme makin kuat. Itu artinya, kapitalisme tidak akan jadi purba. Ia merevisi diri sebagaimana juga paham yang lain. Dus, ekonomi politik kaum kapitalis, sebagaimana kaum komunis hanya akan berhenti ”sebentar” untuk berjalan kembali.

Yang ada kemudian adalah ”penyempurnaan.” Karena itu kaum muda sadar dan merasa terpanggil untuk melengkapi gerakan cinta tanah airnya secara lebih lengkap bukan hanya dengan ”anti” kapitalisme dan komunisisme. Mereka bergerak dan berikrar karena kesadaran sejarah dan panggilan suci dari pengetahuan yang dimiliki. Dus, dengan pertemuan dan ikrar yang meluas, kesadaran kebangkitan bangsa terasa dipanggul kembali oleh mereka. Kaum muda merasa wajib menghadirkan reformasi politik dan ekonomi sebagai jawaban atas kelambanan pemerintah dalam menyelesaikan problem rakyat banyak. Jika 1908, 1945, 1966, 1974, 1998 dan 2002 kaum muda lebih tajam pada tuntutan politik, gerakan kaum muda tahun ini mulai mewacanakan ”reformasi ekonomi.”

Kesadaran ini menguat karena mereka merasa ada yang kurang dari gerakan kaum muda yang telah berlangsung. Menyadari akan ”absennya” gagasan reformasi ekonomi pada tiap angkatan, kaum muda mengingat salah satu wawancara serius yang dilakukan Indonesianis terkemuka Benedict ROG Anderson di salah satu media terkemuka pada 15/8/07. Anderson mengungkapkan bahwa, “yang menghancurkan politik-ekonomi liberal bukanlah masyarakat luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara [TNI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.”

Hal ini karena tentara dan Bung Karno tidak melihat demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka. Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan menakut-nakuti kekuasaan mereka. Dengan ketakutan yang berlebihan pada demokrasi, gagasan reformasi ekonomi yang bertujuan ”mensejahterakan rakyat banyak” menjadi terbengkalai bahkan tenggelam. Satu peristiwa yang selanjutnya membuat presiden Soeharto merusaknya dengan mengharamkan demokrasi dan menggantinya dengan ekonomi [neolib] sebagai panglima. Persoalannya, presiden Soeharto yang menyadari kebutuhan ekonomi riil bagi terciptanya stabilitas ekonomi agar melahirkan kesejahteraan, ternyata juga ”gagal total.” Hal ini karena menurut kaum muda, presiden Soeharto lebih beriman pada ekonomi pasar yang dihidupi dari ”hutang-piutang,” pro-pertumbuhan dan tidak berbasis pada ekonomi riil, ekonomi kerakyatan.

Hari ini, kaum muda menyadari sepenuhnya bahwa kata Indonesia berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang berarti "pulau." Jadi, kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India. Tetapi, karena nama yang “impor” inilah, [almarhum] Umar Kayam menyebut Indonesia sebagai bangsa “salah kedaden” disebabkan tidak memiliki cita-cita dan praktek riil untuk merdeka secara ekonomi. Yang ada hanya kesadaran dan praktek merdeka secara politik, belum secara ekonomi.

Walaupun begitu, Indonesia adalah negara yang sangat kaya [terlengkap di dunia] SDAnya. Memiliki hutan terluas di dunia [121 juta hektar] dan terkaya ketiga setelah Brasil dan Konggo dalam mega biodiversity. Selanjutnya kita memiliki jumlah pulau 17.504 pulau [sampai 2004] tetapi belum seluruhnya diverifikasi dan diberi nama berdasarkan definisi pulau. Jumlah penghuninya adalah 211.000.598 yang menurut perhitungan nanti pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 250 juta jiwa dan tahun 2050 bisa mencapai 290 juta. Sayangnya, secara sosiologis kita dapat menyebut Indonesia sebagai “bangsa kaya” yang “miskin” karena hidup kekurangan sehingga hutang tiap tahun. Proyek hutang-piutang inilah awal mula penjajahan baru secara sosial, politik, ekonomi dan budaya.

Tragisnya, presiden dan pemerintahan selanjutnya ternyata mengulangi jalan yang sama, perilaku yang tidak berbeda dan paradigma yang tidak berubah; jalan hutang piutang, perilaku pasar bebas dan paradigma bukan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin. Karena hal tersebut di atas dan mengingat prestasi kesejahteraan rakat yang tak kunjung datang maka kaum muda kemudian merumuskan ulang lanskap ekonomi baru yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara mencapainya secara brilian demi rakyat miskin.

Dengan demikian jika dilihat dan diamati pernyataan dan brosur serta tulisan yang beredar, kaum muda menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu disegarkan. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan mereka sangat jelas, merebut kepemimpinan yang akan menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan, bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua, nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian]. Keempat, proteksi produksi dalam negeri [politik kemodernan]. Keempatnya dapat disederhanakan menjadi rekonstitusi sebagai penerjemahan bagi masa depan bangsa. Dan, hanya kaum muda [ide dan umur] yang mampu melaksanakan ide ini.

Empat visi di atas dikedepankan karena bagi kaum muda, problem yang lain hanya turunan dari empat babon problem bangsa kita. Itu artinya, siapapun presidennya nanti akan berhadapan dengan empat problem besar yang jika diselesaikan maka separo lebih persoalan bangsa kita akan teratasi.

Karena itu, gagasan ekonomi baru yang dibawa kaum muda ini memberikan pembobotan serius agar gerakan dan gagasan kaum muda memimpin bukan angin lalu yang “kosong” tanpa isi dan misi yang jelas. Dengan kesadaran sejarah dan kajian sosiologis, riset lapangan dan perpustakaan, gerakan kaum muda ingin mengatakan bahwa “rizki, kemakmuran, kemartabatan, kecerdasan, kemerdekaan dan kemodernan” bukan hanya mukjizat dari langit. Mereka merupakan produk sejarah yang harus direbut dan dibagikan. Tanpa itu, kita tak akan jadi mutiara yang dahsyat. Tak akan jadi negara yang disegani. Inilah laskap ekonomi baru kaum muda dalam menjalankan dan menunaikan politik keindonesiaan dalam bingkai kerakyatan dan kebinekaan.[]


Catatan
: Tulisan M. Yudhie Haryono ini merupakan tanggapan atas tulisan saya
Ekonomi Pasar Sosial?, diterbitkan Kompas (21/11/2007), yang memberikan kritik atas konsepsi ekonomi (Ekonomi Pasar Sosial - Epasos) dan konsepsi politik (Sosial Demokrasi - Sosdem) dari gerakan kaum muda di Indonesia.

09 Oktober, 2009

Melawan Sosialisme dengan sebatang lilin

Demonstrasi warga kota Leipzig pada Musim Gugur 1989, di jalan Leipziger Ring. Foto oleh Gerhard Gäbler.


Sosialisme pernah
coba dipraktekkan di Jerman Timur. Masyarakat negeri itu dikelola sedemikian rupa, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Sebut saja pendidikan yang dibikin gratis sampai universitas, dan berkualitas. Layanan kesehatan dibuat masal dan ditata apik. Setiap warga negara juga dijamin perumahan yang layak sebagaimana mereka yang usia kerja dijamin mendapat pekerjaan. Angka keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang bahkan melampaui partisipasi kamerad lelaki mereka. Di antero kota tersedia taman bermain. Dan sistem taman kanak-kanak negeri ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia.

Tidak ada alasan rasanya untuk merasa kurang puas. Tetapi mengapa warga negeri itu melawan?

Seperti Indonesia era Orde Baru yang punya Partai Golkar, Jerman Timur punya partai yang selalu menang, Partai Persatuan Sosialis Jerman (SED). Kalau di tanah air, mengkritik rejim Orde Baru dicap komunis atau anti-Pancasila, di sana dicap borjuis atau anti-Revolusi. Indonesia punya Koramil di kecamatan, Jerman Timur punya mata-mata di mana-mana. Karl Marx bakal geleng-geleng kepala – atau membelai-belai jenggot, mungkin – seakan tak percaya bahwa penjara-penjara politik kedua negeri ini dipenuhi kaum borjuis dan kaum komunis.

Di luar itu, berbekal usul dan bantuan Uni Sovyet, Jerman Timur menggenjot pertumbuhan ekonomi sambil menghancurkan lingkungan hidup. Agak mirip dengan di Indonesia, yang berbekal usul dan bantuan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi digenjot sambil menghancurkan hutan tropis dan laut.

Selebihnya, jikalau orang Indonesia dilarang Suharto belajar ke negara-negara sosialis, orang Jerman Timur dilarang Honecker bepergian ke negara-negara kapitalis. Pelesir ke luar negeri hanya berlaku contohnya ke Eropah Timur.

Singkat cerita, di Jerman Timur hak-hak yang satu dijunjung sementara hak-hak lain diabaikan, seperti partisipasi warga.

Antara lain lantaran itulah Leipzig, 20 tahun lalu, menjadi kota yang khas dalam khasanah sejarah dunia. Kota penting di timur Jerman ini jadi saksi dari sebuah revolusi damai. Menurut para pakar, ini satu-satunya revolusi damai di dunia.

Barangkali karena revolusi itu dimulai dengan sebatang lilin.

Orang dilarang berkumpul di Jerman Timur, kecuali untuk tujuan yang tidak politis. Tamasya bersama di pantai bisa, tapi diskusi atau demonstrasi anti-rejim, misalnya, adalah ilegal. Ibadah di gereja juga diperbolehkan.

Satu dua orang lantas menjadikan gereja sebagai tempat berkumpul. Seperti halnya gereja Nikolai di jantung kota Leipzig. Setiap Senin, mereka berdoa di sana. Sekitar Maret 1988, sejumlah kecil ini ibarat melawan dunia. Namun sedikit demi sedikit, dari Senin yang satu ke Senin yang lain, jumlah orang datang dan berdoa terus bertambah. Dianggap kontra-revolusi, rejim mulai memata-matai gereja Nikolai. Semakin lama, makin banyak orang berkumpul. Rejim menangkapi sebagian mereka, tetapi orang tetap berkumpul. Rejim bahkan menyusupkan agen, sampai 600 orang, ke dalam gereja yang berkapasitas 2000 tempat duduk itu.

Seiring waktu, orang mulai berkumpul di luar gereja. Mereka berdoa dan menyalakan lilin. Ini adalah provokasi! Begitu pikir para milisi bentukan rejim. Bila tetap berdemonstrasi, mereka harus digebuk, kalau perlu dengan senjata, tulis komandan milisi di Leipziger Volkszeitung, koran kota Leipzig. Statemen macam ini mengingatkan kita pada pernyataan para petinggi militer dan komandan milisi di Indonesia, saat peristiwa 27 Juli, 1996.

Tapi orang tetap berkumpul, dalam jumlah yang semakin banyak.

Senin, 9 Oktober 1989, rejim mengerahkan sekitar 3000 polisi untuk membubarkan kumpulan orang yang sudah membesar itu. 1500 anggota milisi Tentara Rakyat Nasional (NVA) yang bersenjata, bersiap-siap di pusat kota, menunggu perintah. Gas air mata, mobil penyemprot air, truk penghalau demonstran, semuanya disiagakan di sekitar stasiun kota. Perang sipil seperti mau pecah di kota Leipzig.

Tetapi orang terus saja berdatangan.

Pada Senin itu, apa yang mulanya hanya sekumpulan kecil orang, kini berubah menjadi sekitar 100.000 orang. Mereka menyalakan lilin dan melakukan rally, keluar dari kompleks gereja dan berjalan mengelilingi kota Leipzig.

Seruan “Keine Gewalt!”, tanpa kekerasan!, bergema di kerumunan massa.

Angin bertiup agak kencang di bulan Oktober. Saat musim gugur. Saat dingin mulai menusuk tulang dan orang merapatkan jaket. Barangsiapa memegang sebatang lilin, tangan yang lain harus menutupi cahaya lilin agar tak padam ditiup angin. Karena lilin yang menyala butuh dua tangan, tak ada lagi tangan yang tersisa untuk menggenggam batu.

Di hadapan puluhan ribu orang yang memegang lilin, ribuan aparat rejim yang bersenjata seperti tak berdaya. Slogan “Wir sind das Volk,” Kamilah Rakyat, bergemuruh di tengah kerumunan orang di bulan Oktober 1989, di ruas-ruas jalan di negeri buruh-tani itu.

Demonstrasi di Leipzig menyulut aksi-aksi massa yang lain di seluruh negeri, termasuk Berlin, sampai negeri Jerman bersatu kembali. Tembok Berlin tidak runtuh karena demonstrasi di Berlin.

Demikianlah. Kota Leipzig pada akhirnya jadi dikenal bukan saja karena Bach, Leibniz, Goethe, Luther atau Nietzsche. Tapi juga karena demonstrasi saban Senin itu, karena Montagsdemo.

Di sini sejarah barangkali bukanlah sebuah mobil mogok, yang bergerak lalu mandek. Seperti ditengarai pimpinan partai sosialis di Jerman Timur atau Francis Fukuyama, penulis The End of History. Dan kemanusiaan mungkin lebih mirip sebuah sungai. Sungai yang terus mengalir mencari muara.

Saya acapkali menjumpai beberapa orang menyalakan lilin di dinding, di pintu, di halaman, atau di dalam gereja Nikolai. Sejumlah kecil orang juga kembali melakukan unjuk rasa setiap hari Senin, berdoa dan menyulut lilin di gereja.

Sebagian mereka adalah warga gereja dan aktivis anti-perang. Sebagian yang lain anggota serikat buruh dan pegiat lingkungan. 20 tahun lalu, tak sedikit dari mereka turut mengorganisir dan berdemonstrasi menggulingkan Sozialismus. Saya tanya, kenapa mereka sekarang melakukan itu. Mengapa menyalakan lilin kembali? Mereka kini melawan apa yang diyakini sebagai Neoliberalismus.

Sejarah bukan sebuah mobil mogok. Dan kemanusiaan adalah sungai yang mengalir. ***

- Leipzig, 9 Oktober 2009.












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar