Di satu sudut kota Hamburg, di sebuah rumah di kawasan Muemmelmansberg, saya menikmati pagi. Minum jus jeruk dan makan roti kurbis, sambil sesekali menyepuhnya dengan mentega.
Sepasang suami-istri yang baik hati, sang pemilik rumah, sementara membaca Kabar Baik, ketika saya masuk dapur. Kami bertiga duduk melingkari meja makan. Mereka telah bangun lebih dulu dibanding anak muda ini.
Terus membaca, mereka membiarkan saya menikmati sarapan. Diam-diam, saya memerhatikan mereka. Melihat kedua orang itu, kedamaian serasa turun seperti rintik-rintik hujan.
Suaminya tampak lemah. Rasanya ada jeda di setiap tarikan nafas, di setiap helaan kaki. Seperti sudah-sudah, kesan seperti itu yang saya tangkap tiap kali bertemu dengannya. Dia pemain sepakbola dan selalu bergairah bila bicara bola. Entah itu soal tim kota Hamburg, atau tentang tim nasional Jerman.
Kanker telah melemahkan raganya. Dan kami membicarakan pokok ini setiap kali saya mampir di Hamburg. Kami membicarakan macam-macam hal: dari teknis kedokteran, penanganan pasien, sampai moril si sakit. Serta, tentang apa arti sakit bagi seseorang di negeri dengan layanan kesehatan sebaik Jerman atau di negeri seperti Indonesia.
Suami dari kakak saya, juga didera kanker. Ini alasan mengapa diskusi tentang itu menjadi sesuatu yang begitu personal.
Istrinya masuk kembali ke dapur, membawa buah apel. Beberapa buah apel.
Ia menawarkan pada kami. Pada sebagian buah apel itu terdapat lobang-lobang bekas gigitan serangga. Tidak mulus seperti apel yang lazim kita temukan di gerai supermarket.
Aneh. Lelaki itu memilih apel berbekas gigitan serangga. Dahi saya berkerut. Dia pasti punya alasan yang cerdas untuk itu.
"Lubang-lubang ini penunjuk, bahwa apel tidak disemprot bahan kimia", ujar dia, sambil berdiri hendak mencuci apel.
"[Apel] yang mulus, biasanya tidak lagi dikunjungi serangga", tambah istrinya. Ia kemudian menyodorkan buah apel pada saya.
Di pagi yang masih tetap tenang itu, saya belajar, alam rupanya punya kecerdasan sendiri.
"Coba ngana rasa kwa", lanjutnya dalam bahasa melayu Manado.
Saya mengangguk.
Sambil memotong apel pikiran saya menerawang. Pada produksi masal. Pada corak pertanian yang mengabdi tuntutan pemenuhan libido industri buah-buahan. Pada negara-negara miskin pemasok buah. Pada nexus hubungan manusia-masyarakat-alam. Pada kerumitan ekonomi-ekologis, yang saya tekuni akhir-akhir ini.
Dan pada lelaki lemah itu, yang begitu nikmat menyudahi buah apelnya.
Judulnya big yellow taxi. Ini lagu lama.
Lagu ini pernah dinyanyikan Joni Mitchell lantas kembali dinyanyikan oleh Counting Crows, salah satu grup musik kesukaan saya.
Sejujurnya, pernah saya dengar lagu itu sebelumnya. Hanya saja, saya agak kurang ambil peduli dengan liriknya. Ketika secara kebetulan mendengarkan lagu itu kembali, saya segera ingat pada pagi yang hening itu.
Surga itu mereka timbun, dan bangun tempat parkir di atasnya
Ada hotel merah muda. Ada butik. Ada tempat nongkrong
Hei, bukankah selalu begitu, bahwa kau tak pernah rasa, tak pernah tahu, sampai kau kehilangan sesuatu yang berarti?
Pohon-pohon itu mereka tebang, lantas dipajang di musium pohon.
Kau bayar satu setengah perak, untuk dapat lihat pohon-pohon itu.
... Pak tani, hai pak tani, jangan pakai pestisida lagi.
Tak mengapa kok, di buah apel saya ada lubang-lubang kecil bekas geratan ulat.
Pak tani, tolong, biarkan burung dan lebah terbang.
Biarkan mata saya menikmati mereka terbang.
... Lihat, sekarang, surga itu telah mereka timbun, dan berdiri tempat parkir di atasnya.
Seperti semalam. Saya dengar gerbang rumah terbuka.
Ada suara taxi besar, warna kuning, membawa pergi pacar saya.
Dan, bukankah selalu begitu, bahwa kita tak pernah rasa, tak pernah tahu,
sampai kita kehilangan sesuatu yang sungguh berarti?
Persis seperti surga yang ditimbun itu, dan di atasnya dibangun tempat parkir.
... Tak bakal kubiarkan.
Surga itu ditimbun, dibangun tempat parkir di atasnya.
***
Catatan: Video lagu ini dapat dilihat di YouTube
Tidak ada komentar:
Posting Komentar