27 Januari, 2008

Diktator Suharto jadi pahlawan?

Suharto meninggal hari ini. 27 Januari 2008.

Ini jam 9 pagi, waktu Jerman. Atau sekitar 2 jam sejak Suharto meninggal. Saya mencari berita di internet. Kompas Cyber Media begitu susah diakses. Berkali-kali saya hanya mendapatkan konfirmasi “koneksi ke database gagal!”. Sempat satu kali halaman muka terbuka, dan secara sebentar terbaca salah satu kepala berita, soal status kepahlawanan Suharto.

Saya lalu mencari informasi dari media lain yang saya andalkan jurnalismenya. Spiegel online, milik mingguan Der Spiegel Jerman. Lalu, situs New York Times.

Di halaman muka, Spiegel Online menulis rangkuman beritanya begini.

DIKTATOR SUHARTO MENINGGAL

Selama beberapa dekade, Suharto memerintah Indonesia dengan tangan besi dan membawa negerinya menjadi modern. Ribuan orang yang menentang dan yang berpendapat berbeda, dibunuh selama kediktatoran Suharto ...

(Diktator Suharto ist tot. Jahrzehntelang regierte er Indonesien mit eiserner Hand und führte das Land in die Moderne. Tausende Missliebige und Andersdenkende wurden während seiner Gewaltherrschaft getötet). Selengkapnya


Sementara, New York Times, dalam berita yang ditulis Marilyn Berger, menulis demikian.

SUHARTO, MANTAN DIKTATOR INDONESIA, MENINGGAL PADA USIA 86 TAHUN

Suhartonya Indonesia, yang 32 tahun kediktatorannya merupakan salah satu yang paling brutal dan korup dalam sejarah abad 20, meninggal hari Minggu di Jakarta ...


(Suharto, Former Indonesian Dictator, Dies at 86. Suharto of Indonesia, whose 32-year dictatorship was one of the most brutal and corrupt of the 20th century, died Sunday in Jakarta). Selengkapnya


Jasa mantan presiden Suharto adalah antara lain membawa Indonesia pada kemakmuran relatif. Relatif atas negara-negara lain yang sepadan dibandingkan dengan Indonesia. Atau, relatif dibanding masa pemerintahan Sukarno.

Di bawah Bapak Pembangunan Suharto, pertumbuhan ekonomi berlangsung. Perluasan infrastruktur, akses atas pendidikan dan kesehatan, antara lain, juga membaik. Ini kita tahu. Dan ada begitu banyak orang di Indonesia tahu tentang dan merasakan hal ini.




Seorang pengemis memandikan anak-anaknya di salah satu sungai tercemar di Indonesia.
Foto: James Nachtwey (1998).


Di sisi lain, kejahatan kemanusiaan, politik dan ekonomi yang berlangsung sejak ia mengambil alih kekuasaan tahun 1966, juga tidak kalah brutal.

Seperti terlihat dalam berita-berita yang saya kutip di atas, kediktatoran Suharto adalah nyata di mata pengamat di luar Indonesia dan segelintir warga Indonesia. Dibanding jasanya, hal-hal demikian tidak diketahui banyak orang. Di tanah air, tidak banyak yang tahu soal-soal seperti ini.

Mengapa Suharto yang sama bisa dilihat secara berbeda, kalau bukan bertolak belakang?

Saya tertarik menjawab pertanyaan ini dengan mengaitkannya secara lebih spesifik pada pandangan kalangan terdidik Indonesia, dan bagaimana mereka melihat demokrasi.

Di kalangan ini, tidak banyak yang bisa dengan jernih membedakan dua pokok bertolakbelakang di atas. Hal ini tampak saat pemberitaan sakit Suharto mengemuka. Juga terlihat ketika orang bicara pengampunan atau pemberhentian kasus Suharto karena alasan kemanusiaan.

Kaum terdidik Indonesia adalah kaum yang relatif gagap bicara nilai-nilai demokrasi. Termasuk, untuk nilai-nilai demokrasi yang paling sederhana sekalipun, semisal kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. Atau, tentang batas mana milik publik mana privat.

Sekedar contoh. Secara acak, kita menemukan kasus-kasus seperti seorang “doktor” yang memimpin pembakaran buku atau para “peneliti” yang menjalankan riset pesanan perusahaan besar untuk menentang klaim publik atas sumberdaya masyarakat. Riset juga menunjukkan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin korup pejabat di Indonesia.

Dibawah kediktatoran yang berlangsung lama, kaum terdidik juga terbentuk dan tumbuh dengan "nilai-nilai demokrasi" yang korup.

Dapat dimengerti ikutannya, mengapa tidak sedikit kaum terdidik Indonesia punya iman demokrasi yang tipis. Ini adalah salah satu warisan Suharto yang juga tak kalah penting. Warisan yang berpotensi menjadi mata air bagi primordialisme dan fasisme di Indonesia.

Sebagai keterangan, primordialisme, dalam arti negatifnya, memandang - misalnya nilai, pandangan, agama, suku - pihak lain di luar kelompok bersangkutan, secara subjektif atau tidak adil. Sementara, fasisme tidak toleran terhadap perbedaan pandangan, keyakinan, praktek budaya, dan sebagainya. Di bawah fasisme, ketidaktoleran dilembagakan dan didukung kekuasaan negara.

Kembali ke soal kaum sekolahan di atas. Semestinya tidak menjadi hal yang mengherankan, mengapa diskusi tentang Suharto di Indonesia mengambil bentuk dan tampilan seperti sekarang ini. Ide memberikan gelar pahlawan pada sosok dengan rekam jejak kejahatan kemanusiaan, ekonomi dan politik seperti Suharto, sulit ditemukan dalam negara dengan tradisi demokrasi yang kuat.

Perihal kemanusiaan adalah jernih seperti kristal. Adalah keliru, dalam kasus Suharto, memperlakukan dan menimbang-nimbang jasa dan kejahatan kemanusiaan secara bersamaan dan setara. Sebagai warga negara, saya tidak setuju gelar pahlawan diberikan pada Suharto.

Barangkali, seperti mayoritas orang Jerman yang tak akan pernah setuju, apabila Hitler diberi gelar pahlawan, hanya karena dia memajukan industri Jerman dan menciptakan lapangan kerja luas saat berkuasa.

***

Penulis aktif dalam gerakan mahasiswa pada masa transisi demokrasi Indonesia paska 1998. Tahun 2007, ia dituntut oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dan Bupati Minut dalam upayanya membongkar korupsi. Saat ini adalah Heinrich Boell Fellow, menulis disertasi ilmu ekonomi pada sebuah lembaga riset lingkungan hidup di Jerman.


UPDATES: Analisa tentang Suharto

  • Suharto: A career soldier who commanded the country. Oleh John Roosa di Inside Indonesia.
  • The "Kemusuk Thug" is finally dead. Oleh Andreas Harsono. Sini.




***

26 Januari, 2008

Hari-hari pertama Cya di Goethe Institut

Ini hari kedua Cya masuk kursus.

Sejak minggu lalu, dia mulai belajar bahasa Jerman di Goethe Institut, Jakarta. Karena cuma punya satu hari kosong dalam seminggu, dia mengambil kelas non-intensif. Saya menanyakan perkembangan kursusnya.

"Say, belajar apa hari ini?".

Dia bilang, dia belajar angka. Dari 1 sampai 1000. Dalam pesan pendeknya, dia juga bilang, tadi dia belajar tentang artikel.

Saya membalas SMSnya.

"... Die Liebe ist für Dich".

Pesan terkirim. Menarik selimut, saya melanjutkan tidur.

Tak berapa lama, HP saya berbunyi.

"Wirklich?? das ist gut :) Danke. Ich auch! Sory, ich sprechen nicht gut Deutsch.."


Ini kalimat pertamanya dalam bahasa Jerman untuk saya.

Saking senang, saya tak jadi tidur.


* * *

23 Januari, 2008

Suharto, baik atau buruk?

Bersamaan dengan pemberitaan sakit Suharto hari-hari ini, sebagian kalangan, umumnya para pejabat Orde Baru, mengemukakan gagasan untuk memaafkan mantan presiden Suharto.

Pada 17 Januari 2008, Televisi Al Jazeera menampilkan diskusi tentang Suharto, a legacy of a dictator.

Sebagai pembicara dalam program tersebut adalah Wimar Witoelar, pengasuh acara Perspektif Baru dan juru bicara mantan presiden Abdurahman Wahid.

Pembicara lain adalah Mugiyanto, mantan aktivis PRD yang pernah diculik semasa pemerintahan Suharto. Mugiyanto adalah ketua IKOHI, Ikatan Orang Hilang Indonesia.

Sebagai pembanding kedua pembicara di atas, adalah Dr Emil Salim, ekonom dan mantan menteri pada masa pemerintahan Suharto. Ia diwawancarai lewat satelit.

Rekaman dan transkrip siaran TV tersebut dapat diperoleh di situs Perspektif Online.

15 Januari, 2008

Cerita karung

S Mumbunan

Ekornya pasti berputar-putar, kapan saja ketemu Mince. Bleki, pemilik ekor itu, adalah anjing yang tak bisa diam. Tetapi, tak tampak ekor yang berputar dua hari terakhir ini.

“Ma, nya lia pa Bleki?“, tanya Mince pada ibunya yang sedang menumis kangkung.1

“So pi tanya pa Om Kale? Kage stou da pi pa dorang”.2

Mince tahu, Bleki tak bakal melakukan itu. Kemungkinannya kecil, kalau bukan nol. Om Kale, tetangga mereka itu, memang kerap dikunjungi Bleki, meskipun tidak sampai lama. Tak pernah lewat petang. Tak pernah sampai siutan Mince berbunyi tiga kali.

Bleki merupakan anjing hadiah. Ia diberikan paman Mince di Sonder, sebuah tempat di dataran tinggi Minahasa, yang dirimbuni pohon cengkih.

Anjing ini buah keringat lelah. Imbal kerja Mince memetik cengkih. Dua karung penuh berhasil Mince petik menggunakan tangga, dirajam terik matahari. Saat pindah tangan, anjing hitam pekat itu belum berumur satu bulan.

“Na urus bae-bae pa dia, neh”, titip pamannya. 3

“Rajing ja se mandi, supaya nyanda bakutu”. 4

Bleki serupa cermin Mince. Ketika perempuan ini kena demam berdarah dan mesti dibawa ke Puskesmas, Bleki murung. Saat Mince girang selesai menjuarai lomba menyanyi antar gereja setempat, Bleki ikut gembira. Di depan gereja, Bleki tak henti menghidung-hidung betis Mince, sampai-sampai tungkai kaki Mince yang jenjang dan temaram, seperti ketela yang baru dikupas, terlihat dibalik rok.

Di mana Mince ada, disitu ditemukan Bleki. Mereka menempel terus laiknya permen karet. Di pasar. Di sungai. Di gereja. Di mana-mana.

Bila malam tiba, Bleki mengerutkan badannya di bawah tempat tidur Mince, di atas tumpukan karung kosong bekas beras ransum. Ibunya Mince menerima sekarung beras dari SD Inpres tempat ia mengajar, setiap kali akhir bulan tiba. Bleki baru bersedia menuju kolong, sesudah Mince menggaruk-garuk manja lehernya.

Tadi malam, tak terdengar sesungutan Bleki dari kolong tempat tidur.

***

Malam sebentar lagi datang mengakhiri hari. Kendaraan umum paling akhir baru saja meninggalkan terminal kecamatan. Suara ojek sesekali terdengar memecah sunyi. Tak seberapa jauh dari terminal, sekelompok anak muda tampak duduk melingkar.

”Kiapa dang kong pe lanut bagini?”, tanya salah satu di antara mereka. 5

Mulutnya monyong dengan salah satu tangan menarik-narik daging di antara jepitan gigi-giginya.

“Pe mai deng ngana, badiang jo!,“ timpal kawan di sampingnya. 6

“Cuma tau makang lei, banya mulu”, tambah seorang yang lain, dari seberang meja. 7

“Da suru pi ambe rica deng pongpong tadi, na cuma pi tidor di dego-dego“, ketusnya, dengan suara meninggi. 8

Yang lain tertawa. Terkekeh-kekeh, hampir-hampir nyaris tersedak.

“Eh kapista, leng kali, ngana tu pegang karong. Nanti kita tu toki di kapala”. 9

Malam telah menjadi genap. Angin satu dua kali membawa sayup-sayup suara mereka sampai terminal. ***


Januari 2008.


Catatan kaki

[1] Mama, tidak lihat si Bleki?

[2] Sudah menanyakannya pada Om Kale? Barangkali [Bleki] pergi ke sana.

[3] Kau urus dia baik-baik, ya.

[4] Rajin dimandikan, supaya tak banyak kutu.

[5] Kok, [dagingnya] kenyal begini?

[6] Sialan kau, tutup mulutmu!

[7] Cuma tahu makan saja, banyak omong.

[8] Tadi, disuruh mengambil cabe pedas dan daun kemangi (basilikum), kau cuma pergi tidur di meja jualan (SM: dego-dego = meja yang lazim digunakan di pasar umum, terbuat dari bambu atau kayu).

[9] Eh bangsat, lain kali, kau yang pegang karungnya. Nanti aku bagian memukul kepala [anjing].


Foto Minahasa



Danau Tondano dan kolam terapung (Foto: S Mumbunan)


Petani Minahasa (Foto: S Mumbunan)





Gunung Klabat, tampak di kejauhan (Foto: S Mumbunan)





Bibit pohon cengkih (Foto: S Mumbunan)




05 Januari, 2008

Erasmus di tram nomor 16

Saya memesan tiga buku dari internet. Dua di antaranya tiba hari ini. Buku pertama ditulis Alfred Mueller-Armack. Wirtschaftslenkung und Markwirtschaft judulnya. Terbit tahun 1976. Apabila dialihbahasa, judul menjadi Ekonomi Terencana dan Ekonomi Pasar.

Buku ini dibeli sebab saya ingin mendalami gagasan ekonomi pasar sosial, disingkat Epasos. Mueller-Armack, ekonom liberal Jerman, adalah peletak teori Epasos. Sebagian isi buku telah saya baca sebelumnya. Alasan lain membeli buku ini adalah untuk koleksi pribadi.

Democracy and capitalism – property, community and the contradictions of modern social thoughts adalah buku kedua yang saya terima. Karya Samuel Bowles dan Herbert Gintis. Dibanding Mueller-Armack, mengelompokkan kedua ekonom ini lebih problematis. Mereka dulu dikenal sebagai ekonom radikal. Sekarang, mereka adalah ilmuwan garis depan untuk behavioral economics.

Ini juga bukan buku baru, terbit tahun 1987. Buku ini sendiri mengkritik Marxisme dan liberalisme, secara bersamaan. Melalui Amazon, penjual buku online, saya membelinya dari sebuah toko buku bekas di Amerika Serikat.

Di waktu senggang, saya membaca berbagai publikasi Bowles dan Gintis mengenai salah satu aspek persoalan kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya, apa yang biasa disebut para ekonom sebagai residual claimancy. Juga, tentang usul mereka berkait egalitarianisme melalui pembagian kepemilikan aset.

Karena ukuran paket yang sedikit kebesaran, buku Mueller-Armack itu tak dapat masuk kotak pos saya. Pada akhirnya, saya harus keluar rumah, mengambil buku itu di Packstation.

Yang disebut terakhir ini semacam kantor pos mini otomatis. Warnanya kuning, terletak dekat tempat kos saya, dan bakal terbuka dengan kode dalam secarik kertas yang ditinggalkan tukang pos di kotak pos saya. Saat mengambil buku, hari mulai gelap. Suhu sekitar nol derajat. Angin bertiup kencang.

Dan saya mulai lapar. Sesudah mengambil paket, sambil berjalan, saya membuka-buka buku Bowles dan Gintis, yang saya bawa serta saat ke kantor pos mini itu. Saya melihat-lihat daftar isi. Lalu tak bisa berhenti membaca.

Kebetulan, di depan saya, melintas tram nomor 16. Tram ini datang dari arah Loessnig, nama tempat di selatan kota Leipzig, menuju Messegelaende, tempat di mana kubah pameran berada. Dengan 500 tahun pengalaman pameran, Leipzig termasuk salah satu kota dengan sejarah pameran tertua di dunia. Ia sekaligus merupakan salah satu kota yang punya fasilitas pameran paling modern di dunia.

Saya kejar tram itu dan naik di atasnya. Dengan perut berkeroncong, saya lanjut membaca. Tram melaju, membelah kota. Mentok di stasiun akhir, dengan tram yang sama saya ikut kembali berbalik arah. Mencari hangat dan suasana nyaman membaca, mengapa saya naik tram ini.

Ada pembatas buku warna coklat dari kertas daurulang diselipkan toko buku bekas itu di antara lembar-lembar halaman buku Democracy and Capitalism. Kutipan dari Erasmus tertera di atasnya. “When I get a little money I buy books; and if any is left, I buy food and clothes”, tulis filsuf dan humanis dari Rotterdam itu.

Saya tertawa membaca kalimat itu.

Di pusat kota, di stasiun Augustusplatz, saya turun dari Tram. Tujuannya tunggal: cari makan. Dingin telah berhasil membuat perut saya bermain keroncong lebih nyaring. Angin masih bertiup kencang dan suhu sudah jatuh di bawah nol. Sekitar pukul 6 sore.

Tak berapa lama, saya telah menikmati suasana hangat yang lain: duduk menyantap doenerkebab rasa ayam, di sebuah kedai makanan Turki.

***

02 Januari, 2008

Memahami faktor non-ekonomi dan M. Chatib Basri

Oleh Sonny Mumbunan


Komentar atas tulisan ekonom Muhammad Chatib Basri, "Faktor non-ekonomi", di blog Diskusi Ekonomi (klik sini).


Muhammad Chatib Basri (MCB) menaikkan pokok pentingnya peran faktor non-ekonomi dalam keputusan ekonomi. Terima kasih untuk postingnya. MCB menyebut faktor budaya, keserakahan, sebagai contoh.

Dalam ilmu sosial, dalam mana ilmu ekonomi adalah anggota keluarga, "kagak-nyambungnya" bahasan bidang yang satu dengan yang lain, adalah perkara besar. Sosiolog bicara manusia yang sosial, sementara ilmu ekonomi bicara manusia yang self-regarding. Yaitu, Homo Ekonomikus.

Game theory telah berhasil membantu menjembatani secara metodologis ketaknyambungan semacam itu. Lebih tepat lagi, behavioral game theory (BGT), dalam mana kesepadanan insentif (dari game theory klasik) dan keberagaman preferensi manusia (dari behavioral science) diakomodasi. (Catatan: Game theory adalah teori yang digunakan antara lain para ekonom, ilmuwan sosial atau matematikawan untuk melihat dasar-dasar keputusan individu dalam interaksinya dengan, misalnya, individu yang lain. Interaksi itu tampak seperti permainan, atau game).

Yang mutakhir, BGT berhasil menyatukan antropolog, ekonom, dan sosiolog untuk bersama-sama secara lintas-ilmu mendekati pokok investigasi dengan perangkat metodologis yang bisa diterima berbagai bidang ilmu. Hasil kerja bersama itu bisa dilihat antara lain dalam Heinrich dan kawan-kawan, Foundations of human sociality (2004). "Versi singkatnya", terbit di American Economic Review dalam salah satu edisi tahun 2001.

Menarik, salah satu komunitas skala kecil yang dikaji, adalah komunitas pemburu ikan paus di pulau Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Kontribusi para ilmuwan ini dapat ditemui di jurnal Science, Nature, Journal of Theoretical Biology, dan lain -lain.

Ilmu ekonomi (baca: ilmu ekonomi neoklasik) memang menganggap manusia memiliki preferensi homogen. Menyebut homogen, di sini bermaksud kerangka fondasi-mikro pilihan-pilihan manusia, bukan perihal "saya suka pisang dan Anda suka jeruk".

Dalam ekonomi neoklasik, preferensi dianggap konsisten. Teguh bagaikan gunung. De Gustibus Non Est Disputandum: soal selera itu tak bisa diperdebatkan, seperti tidak bisanya kita mendebatkan gunung Rocky Mountains, meminjam Joseph Stigler dan Garry Becker (1977). Hal ini telah diberikan catatan oleh Akhmad Rizal Shidiq, yang menanggapi MCB.

Tetapi, Rizal terkesan tetap berangkat dari paradigma neoklasik. Misalnya soal maksimisasi, meski dalam tanggapannya ia menyebut nama-nama seperti Daniel Kahneman. Dalam penjelasan selanjutnya, Rizal berjalan di bawah terang Imperialisme Ilmu Ekonomi ala Stigler/Becker (baca: ekonomisasi bidang-bidang ilmu lain), bukan dalam kerangka kontribusi atau pencapaian ilmu ekonomi eksperimental yang ia bicarakan.

BGT adalah bidang yang berkembang. Kontribusinya tidak sedikit bagi pemahaman atas perilaku ekonomi dan sentimen moral ekonomi. Sedikit sejarah memberi perspektif pada kalimat ini. Generasi pertama BGT dipelopori Maurice Allais, penerima Nobel Ekonomi 1988, tentang aspek nonlinear dalam teori expected utility.

Generasi kedua, dipimpin oleh Vernon Smith, juga penerima Nobel Ekonomi, 2002. Riset awal Vernon mendukung model aktor manusia yang rasional dan self-interested. Generasi ketiga di isi oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman, keduanya psikolog. Kahneman memperoleh Nobel Ekonomi bersama-sama dengan Vernon Smith.

Lalu generasi keempat. Di garis depan terdapat antara lain ekonom Werner Gueth (penemu ultimatum game) atau ilmuwan politik Elinor Ostrom (kerap mengkaji perihal kelembagaan dan penadbiran atau pengelolaan sumberdaya common-pool). Yang terakhir, generasi kelima, dipimpin oleh ekonom Ernst Fehr. Generasi ini mempertajam capaian generasi keempat, dengan sumbangan baru, bahwa agen ekonomi juga berperilaku other-regarding. Dan perilaku ini bukan anomali, tapi sebuah sentimen moral ekonomi yang absah. (LIhat Gintis, 2005)

Mengikuti Rizal, saya turut berharap bahwa perkembangan di atas ini juga dapat menjadi bagian kurikulum di fakultas-fakultas ekonomi kita di Indonesia.

Seperti disebut di atas, riset ekonomi eksperimental dan behavioural science mutakhir menunjukkan bahwa preferensi manusia tidak homogen seperti dianggap ekonom neoklasik. Tapi heterogen dan bersyarat.

Homo Ekonomikus bukannya tidak hidup. Dalam riset ekonomi eksperimental, ia tetap muncul, bahkan menguat dalam beberapa setting kelembagaan mirip pasar. Tetapi, mengatakannya sebagai satu-satunya motiv, atau sebagai motiv yang terpenting, seperti lazimya kita temukan dalam banyak pendapat “pakar” atau “ekonom”, haruslah dianggap sebagai pendapat tidak akurat, kalau bukan menyesatkan.

Bidang-bidang tersebut juga menunjukkan bahwa pertimbangan cost and benefit dalam keputusan ekonomi, bukan satu-satunya desiderata. Dalam banyak konteks, ini malah bukan desiderata sama sekali. Misalnya soal costly punishment seperti ’biarin gua rugi, yang penting gua bisa balas ama lu’. Hal mana lazim kita temukan dalam evolusi preferensi dan pelembagaan norma dalam banyak masyarakat. Ini terang-terangan tidak seturut dengan konsistensi preferensi ala Stigler/Becker di atas.

Ini juga, barangkali akan sulit diterima MCB, yang masih berangkat dari analisa Cost-Benefit sebagai pegangan analisa insentif. Tipikal dalam analisa seperti MCB, adalah membuat biaya melakukan sesuatu – semisal korupsi atau pencurian – menjadi lebih mahal. Ekonom Ari Perdana, secara mengagetkan, bahkan mengajukan solusi potong jari (baca: tak sampai mati tapi sakit bikin kapok) sebagai solusi optimal mengurangi kejahatan.

Ekonom Albert Hirschman (1985, dalam Gintis/Bowles/Boyd/Fehr 2005) mengkritik kebijakan ekonomi semacam itu. Kemudian, dalam hemat dia, ia mengajukan kebijakan publik lebih efektif yang mampu memengaruhi "citizen values and behaviour codes".

Literatur tentang Crowding-Out effects menunjukkan bahwa dalam beberapa hal insentif ekonomi malah berkemungkinan memiliki efek sebaliknya, misalnya penurunan supply. Contohnya bisa dilihat dalam donor darah yang berkurang, karena pendonor ditawarkan uang. Atau, keinginan civil-duty yang dihancurkan mekanisme insentif harga. (Lihat misalnya, Frey/Oberholzer-Gee, 1999).

Tolong koreksi bila saya salah. Apa yang saya tangkap, MCB hendak mendekati bidang lain atau factor lain yang ia sebut non-ekonomi dengan perangkat ilmu ekonomi seperti Cost-Benefit Analysis. MCB punya kerendahan hati untuk tidak abai apalagi menafikan aspek "non-ekonomi", tapi masih menggunakan peranti standar atau framework "ilmu ekonomi". Ini lebihkurang mirip dengan semangat ekspansi ilmu ekonomi ala Stigler/Becker, sering disebut sebagai "Economics Imperialism", untuk memahami bidang-bidang "non-ekonomi" lain. Pisau analisanya tetap ekonomi neoklasik.

Bila pemahaman saya benar, MCB barangkali akan kesulitan mendekati apa-apa, kalau bukan ditolak para kolega kita di ranah ilmu sosial.

(Bahkan, dengan posisi epistemologi seperti saya ini, sahabat saya Fadjar Thufail, antropolog LIPI itu, masih "menertawakan" saya).

Sementara, pencapaian BGT terkini, yang saya sebut di atas, mendekati persoalan sosial tanpa pretensi (apriori) apapun berkait hakekat perilaku manusia. Artinya, dalam fondasi mikro keputusan manusia, subjek bisa berperilaku self-interested atau menunjukan social preferences, atau bahkan berganti-ganti, tergantung kelembagaan interaksinya. Kelembagaan itu antara lain tersedianya kemungkinan untuk menghukum, komunikasi antar subjek, interaksi yang berulang-ulang, kadar kepemilikan informasi, nilai dominan anggota masyarakat, dll.

Di sini, sosok yang gemar membantu orang lain, mungkin menjadi sangat egois. Sebagaimana seorang altruis dapat menjadi penghukum yang tega. Di sini, aspek "non-ekonomi" menjadi mungkin didekati lebih elegan, serius, dan produktif. Tanpa perlu saling "mengiri", atau "berbangga diri", antara bidang ilmu sosial yang satu dengan yang lain.

Benar adanya: Ilmu ekonomi telah memberikan sumbangan besar dalam memahami masyarakat. Dan akan terus demikian. Potensi sumbangan itu akan jauh lebih bermakna bila model pilihan individu dan interaksi antar manusia dalam ilmu ekonomi menggunakan model yang lebih akurat dibanding model Homo Ekonomikus.


Sonny Mumbunan
Belajar ekonomi eksperimental dari Urs Fischbacher (Universitaet Zurich) dan Daniel Houser (George Mason University). Menulis disertasi ekonomi pada Helmholtz Center for Environmental Research (UFZ) Leipzig, Jerman.


Kepustakaan

Fehr, Ernst; dan Urs Fischbacher. 2002. Why social preferences matter - the impact of non-selfish motives on competition, cooperation and incentives. Economic Journal 112. C1-C33.

Frey, Bruno S.; and Felix Oberholzer-Gee. 1997. The cost of price incentives: an empirical analysis of motivation crowding out. American Economic Review 87(4), hal. 746-755.

Gintis, Herbert. 2005. Behevioral game theory and contemporary economic theory. Analyse & Kritik 27, hal. 48-72.

Gintis, Herbert; Samuel Bowles, Robert Boyd dan Ernst Fehr. 2005. Moral sentiments and material interests - The foundations of coooperation in economic life. Cambridge: MIT Press.

Heinrich, Joseph; Robert Boyd, Samuel Bowles, Colin Camerer, Ernst Fehr and Herbert Gintis. 2004. Foundations of human sociality - Economic experiments and ethnographic evidence from fifteen small-scale societies. Oxford: Oxford University Press.












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar