25 Desember, 2008

Natal bersama Martin Luther

Patung Martin Luther di kota Eisleben. Di belakang tampak menara gereja St. Andreaskirche. Foto oleh Sonny.


Namanya Eisleben. Sebuah kota mungil di negara bagian Sachsen Anhalt, Jerman. Penduduknya sekitar 23.000 orang. Kota Eisleben adalah tempat Martin Luther lahir. Juga tempat bapak Protestanisme itu mangkat, dan dikubur. “Eisleben war mein Vaterland,“ Eisleben tanah airku, ujar Luther, dalam sebuah obrolan di meja makan. Terkait banyak dengan Luther, kota ini diberi nama Lutherstadt Eisleben.

Pada pagi hari, 25 Desember, 2008, kabut memeluk Eisleben. Udara begitu dingin. Dinginnya menggigit-gigit muka, dan telinga, dan punggung telapak tangan saya yang telanjang. Pagi itu, saya masuk gereja St. Andreaskirche, gereja tempat Luther melancarkan khotbah-khotbah terakhirnya. Gereja ini dibangun pada abad ke-15. Di dalam gereja, lengkung-lengkung konstruksi penopang atap saling bertaut, seperti urat-urat daun saling berkait dalam sepucuk daun muda. Khas arsitektur gotik.

Tak banyak yang ikut ibadah - tak sampai 30 orang. Pendeta Scott A. Moore memimpin ibadah. Pendeta ini asalnya dari Chicago, Amerika Serikat. Bersama istrinya, Claudia Bergmann, ia bertanggung jawab atas pelayanan di tiga gereja penting di Eisleben. Ia bicara bahasa Jerman dengan baik sekali. Pagi itu, ia mengenakan jubah putih. Berkacamata. Jenggotnya dibiarkan tumbuh pendek, memenuhi dagu, geraham dan pipi.

Sekelar ibadah, saat bersalaman dengan jemaat di depan pintu gereja, saya jadi tahu, ada anting-anting di kuping kanan pak pendeta. (Apa jadi bila seorang pendeta mengenakan anting-anting di kampung saya, di Minahasa? Pasti jadi gunjingan jemaat gereja. Pihak sinode gereja, di kantornya yang megah dan mewah, bakal bikin rapat pendisiplinan, kalau bukan pemecatan.)

“Anda tamu Ineke?” tanya pendeta dengan ramah. Tangan kanannya menyalami tangan saya.

Saya mengangguk. Ineke, kenalan saya, seorang perempuan Minahasa yang tinggal tak jauh dari Eisleben. Ia anggota jemaat gereja St. Andreaskirche. Saya ibadah Natal di Eisleben bersama dia, suaminya, dan tiga anak mereka yang masih kecil, manis dan lucu.

Gereja penting lain adalah St. Petri-Pauli-Kirche. Berdiri tak jauh dari gereja St. Andreaskirche. Luther kecil dibaptis di gereja ini, 10 November, 1483. (Kalau saja jaman itu sudah ada teknologi foto, dugaan saya, potret bayi Luther bertubuh gendut dan bikin gemas. Dengan pipi gempal yang mengundang cubit.) Lantaran tak ada sistem pemanas, saat musim dingin ibadah tidak dilaksanakan di gereja ini, tapi pindah ke gereja St. Andreaskirche. Termasuk ibadah Natal.

Rumah tempat Luther lahir adalah bangunan penting lain di Eisleben. Berdiri tak seberapa jauh dari gereja St. Andreaskirche, rumah lahir Luther merupakan salah satu musium tertua di negara-negara yang berbahasa Jerman. Mengikut ideal pendidikan ala Luther, di kompleks rumah itu dibangun pula Armenfreischule - sekolah bagi kaum miskin.

“Anda studi apa?” tanya pendeta lagi. Tangannya kini telah lepas dari tangan saya.

"Ilmu ekonomi, Pak pendeta." Ilmu tentang bagi-membagi sumberdaya.

Sebuah meja diletakkan beberapa langkah dari pintu masuk gereja, dari tempat pendeta berdiri menyalami jemaat. Meja bercat hitam pekat. Kartu ucapan selamat Natal disusun rapi di atas meja. Sejajar dengan kartu ucapan, disusun kantong-kantong kecil.

Kira-kira selebar tiga jari orang dewasa, kantong sumbangan itu terbuat dari kertas krem, dengan tulisan warna hijau. Kantong-kantong itu disebar Brot für die Welt (roti bagi dunia), sebuah inisiatif gereja-gereja Jerman bagi persoalan sosial dan pembangunan di negara-negara berkembang dan miskin.

Saya ambil satu kantong. Di bagian depannya tertulis kata-kata berikut.

Fairgeben
Fairsorgen
Fairteilen

Gottes Spielregeln
Für eine gerechte Welt.

Alihbahasa kata-kata Jerman ini adalah soal bagi-membagi. "Memberi secara adil. Menyelia secara Adil. Berbagi secara adil. (Itulah) aturan main Tuhan untuk sebuah dunia yang adil."

***

Update: Tulisan ini terbit dalam Surat Pembaca, Harian Komentar (Manado), 3 Januari 2009.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Bung Sonny,
Salam Natal yang teduh untukmu. Sungguh menarik larik tulisan di penghujung artikel Anda. Jika ditarik sebuah konsekuensi, itulah kiranya misi dan visi ilmu ekonomi, tetap secara inheren memasukkan moralitas (wacana keadilan) dlm tiap derap analisisnya.
Ulasan-ulasan tajam-bernasnya selalu dinatikan penuh harap.
Sukses sekalu.

salam,

prastowo












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar