Salah Seorang Pengikrar Saatnya Kaum Muda Memimpin
Sonny Mumbunan, Rabu/21/11/2007 menulis artikel menarik berjudul ”Ekonomi Pasar Sosial” yang sangat jernih tentang kritiknya pada gagasan ekonomi politik kaum muda.
Setelah ikrar kaum muda dibacakan pada 28 Oktober kemarin, dunia media kita memang diguncangkan oleh wacana besar ini. Sebuah wacana yang kemudian dipergulirkan dengan dua buah pertanyaan penting. Pertama, lanskap politik seperti apa yang akan digunakan oleh kaum muda. Kedua, lanskap ekonomi ”apa” yang diusung kaum muda.
Tentu ini sesuatu yang menarik. Setidaknya karena kaum muda mengikrarkan tantangan dengan kalimat ”saatnya yang muda, progresif, dan kerakyatan memimpin.” Tetapi menurut Sonny, kereta baru milik kaum muda itu bakal mogok. Sebab bahan bakarnya keliru pada aras konsep. Dalam usulan tata ekonomi-politik masyarakat baru, kaum muda mengajukan sosial-demokrasi (sosdem) dan ekonomi pasar sosial (epasos) dalam satu tarikan napas. Selanjutnya, Sonny menuduh lanskap ekonomi kaum muda hanya karbon kopi, sedang lanskap politiknya tak memiliki partai.
Adakah sesederhana itu masalahnya? Tentu saja tidak sebab, kami juga bukan anti buku dan anti riset. Selebihnya dengan buku dan riset tersebut kami yakin bahwa kereta sejarah memang hanya berhenti sebentar di stasiun bernama kapitalisme dan komunisme. Keduanya akan mengalami revisi yang berulang sebagaimana hukum besi sejarah.
Betul bahwa yang kita kagumi dari kapitalisme adalah kemampuan dirinya untuk beradaptasi dengan iklim manapun. Kapitalisme tidak mendedahkan utopia, ia bersedia untuk dikritik. Kritikan tajam dari kalangan Marxian dan anak pinaknya itu justru membuat kapitalisme makin kuat. Itu artinya, kapitalisme tidak akan jadi purba. Ia merevisi diri sebagaimana juga paham yang lain. Dus, ekonomi politik kaum kapitalis, sebagaimana kaum komunis hanya akan berhenti ”sebentar” untuk berjalan kembali.
Yang ada kemudian adalah ”penyempurnaan.” Karena itu kaum muda sadar dan merasa terpanggil untuk melengkapi gerakan cinta tanah airnya secara lebih lengkap bukan hanya dengan ”anti” kapitalisme dan komunisisme. Mereka bergerak dan berikrar karena kesadaran sejarah dan panggilan suci dari pengetahuan yang dimiliki. Dus, dengan pertemuan dan ikrar yang meluas, kesadaran kebangkitan bangsa terasa dipanggul kembali oleh mereka. Kaum muda merasa wajib menghadirkan reformasi politik dan ekonomi sebagai jawaban atas kelambanan pemerintah dalam menyelesaikan problem rakyat banyak. Jika 1908, 1945, 1966, 1974, 1998 dan 2002 kaum muda lebih tajam pada tuntutan politik, gerakan kaum muda tahun ini mulai mewacanakan ”reformasi ekonomi.”
Kesadaran ini menguat karena mereka merasa ada yang kurang dari gerakan kaum muda yang telah berlangsung. Menyadari akan ”absennya” gagasan reformasi ekonomi pada tiap angkatan, kaum muda mengingat salah satu wawancara serius yang dilakukan Indonesianis terkemuka Benedict ROG Anderson di salah satu media terkemuka pada 15/8/07. Anderson mengungkapkan bahwa, “yang menghancurkan politik-ekonomi liberal bukanlah masyarakat luas, tetapi ambisi dan kerakusan kuasa dari tentara [TNI], Bung Karno dan sebagian elit politik lainnya.”
Hal ini karena tentara dan Bung Karno tidak melihat demokrasi sebagai tantangan dan peluang, sebaliknya sebagai ancaman yang menakutkan kekuasaan mereka. Demokrasi menjadi musuh yang menghambat dan menakut-nakuti kekuasaan mereka. Dengan ketakutan yang berlebihan pada demokrasi, gagasan reformasi ekonomi yang bertujuan ”mensejahterakan rakyat banyak” menjadi terbengkalai bahkan tenggelam. Satu peristiwa yang selanjutnya membuat presiden Soeharto merusaknya dengan mengharamkan demokrasi dan menggantinya dengan ekonomi [neolib] sebagai panglima. Persoalannya, presiden Soeharto yang menyadari kebutuhan ekonomi riil bagi terciptanya stabilitas ekonomi agar melahirkan kesejahteraan, ternyata juga ”gagal total.” Hal ini karena menurut kaum muda, presiden Soeharto lebih beriman pada ekonomi pasar yang dihidupi dari ”hutang-piutang,” pro-pertumbuhan dan tidak berbasis pada ekonomi riil, ekonomi kerakyatan.
Hari ini, kaum muda menyadari sepenuhnya bahwa kata Indonesia berasal dari dua kata bahasa Yunani, yaitu Indos yang berarti "India" dan nesos yang berarti "pulau." Jadi, kata Indonesia berarti kepulauan India, atau kepulauan yang berada di wilayah India. Tetapi, karena nama yang “impor” inilah, [almarhum] Umar Kayam menyebut Indonesia sebagai bangsa “salah kedaden” disebabkan tidak memiliki cita-cita dan praktek riil untuk merdeka secara ekonomi. Yang ada hanya kesadaran dan praktek merdeka secara politik, belum secara ekonomi.
Walaupun begitu, Indonesia adalah negara yang sangat kaya [terlengkap di dunia] SDAnya. Memiliki hutan terluas di dunia [121 juta hektar] dan terkaya ketiga setelah Brasil dan Konggo dalam mega biodiversity. Selanjutnya kita memiliki jumlah pulau 17.504 pulau [sampai 2004] tetapi belum seluruhnya diverifikasi dan diberi nama berdasarkan definisi pulau. Jumlah penghuninya adalah 211.000.598 yang menurut perhitungan nanti pada tahun 2015 diperkirakan mencapai 250 juta jiwa dan tahun 2050 bisa mencapai 290 juta. Sayangnya, secara sosiologis kita dapat menyebut Indonesia sebagai “bangsa kaya” yang “miskin” karena hidup kekurangan sehingga hutang tiap tahun. Proyek hutang-piutang inilah awal mula penjajahan baru secara sosial, politik, ekonomi dan budaya.
Tragisnya, presiden dan pemerintahan selanjutnya ternyata mengulangi jalan yang sama, perilaku yang tidak berbeda dan paradigma yang tidak berubah; jalan hutang piutang, perilaku pasar bebas dan paradigma bukan ekonomi kerakyatan yang pro kaum miskin. Karena hal tersebut di atas dan mengingat prestasi kesejahteraan rakat yang tak kunjung datang maka kaum muda kemudian merumuskan ulang lanskap ekonomi baru yang lebih riil dan tegas dengan tujuan dan cara mencapainya secara brilian demi rakyat miskin.
Dengan demikian jika dilihat dan diamati pernyataan dan brosur serta tulisan yang beredar, kaum muda menyepakati bahwa kepemimpinan nasional perlu disegarkan. Tetapi tidak sekedar penyegaran orang dan subyek, melainkan juga gagasan dan visi. Dus, gagasan mereka sangat jelas, merebut kepemimpinan yang akan menyelenggarakan empat hal penting; Pertama, perubahan paradigma pembangunan yang mengutamakan pemerataan, bukan pertumbuhan [politik undang-undang]. Kedua, nasionalisasi asset strategis dan SDA untuk kemakmuran rakyat [politik kesejahteraan]. Ketiga, hapus hutang lama dan tolak hutang baru [politik kemandirian]. Keempat, proteksi produksi dalam negeri [politik kemodernan]. Keempatnya dapat disederhanakan menjadi rekonstitusi sebagai penerjemahan bagi masa depan bangsa. Dan, hanya kaum muda [ide dan umur] yang mampu melaksanakan ide ini.
Empat visi di atas dikedepankan karena bagi kaum muda, problem yang lain hanya turunan dari empat babon problem bangsa kita. Itu artinya, siapapun presidennya nanti akan berhadapan dengan empat problem besar yang jika diselesaikan maka separo lebih persoalan bangsa kita akan teratasi.
Karena itu, gagasan ekonomi baru yang dibawa kaum muda ini memberikan pembobotan serius agar gerakan dan gagasan kaum muda memimpin bukan angin lalu yang “kosong” tanpa isi dan misi yang jelas. Dengan kesadaran sejarah dan kajian sosiologis, riset lapangan dan perpustakaan, gerakan kaum muda ingin mengatakan bahwa “rizki, kemakmuran, kemartabatan, kecerdasan, kemerdekaan dan kemodernan” bukan hanya mukjizat dari langit. Mereka merupakan produk sejarah yang harus direbut dan dibagikan. Tanpa itu, kita tak akan jadi mutiara yang dahsyat. Tak akan jadi negara yang disegani. Inilah laskap ekonomi baru kaum muda dalam menjalankan dan menunaikan politik keindonesiaan dalam bingkai kerakyatan dan kebinekaan.[]
Catatan: Tulisan M. Yudhie Haryono ini merupakan tanggapan atas tulisan saya Ekonomi Pasar Sosial?, diterbitkan Kompas (21/11/2007), yang memberikan kritik atas konsepsi ekonomi (Ekonomi Pasar Sosial - Epasos) dan konsepsi politik (Sosial Demokrasi - Sosdem) dari gerakan kaum muda di Indonesia.