Sosialisme pernah coba dipraktekkan di Jerman Timur. Masyarakat negeri itu dikelola sedemikian rupa, baik secara ekonomi, sosial, politik, dan kebudayaan. Sebut saja pendidikan yang dibikin gratis sampai universitas, dan berkualitas. Layanan kesehatan dibuat masal dan ditata apik. Setiap warga negara juga dijamin perumahan yang layak sebagaimana mereka yang usia kerja dijamin mendapat pekerjaan. Angka keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang bahkan melampaui partisipasi kamerad lelaki mereka. Di antero kota tersedia taman bermain. Dan sistem taman kanak-kanak negeri ini merupakan salah satu yang terbaik di dunia.
Tidak ada alasan rasanya untuk merasa kurang puas. Tetapi mengapa warga negeri itu melawan?
Seperti Indonesia era Orde Baru yang punya Partai Golkar, Jerman Timur punya partai yang selalu menang, Partai Persatuan Sosialis Jerman (SED). Kalau di tanah air, mengkritik rejim Orde Baru dicap komunis atau anti-Pancasila, di sana dicap borjuis atau anti-Revolusi. Indonesia punya Koramil di kecamatan, Jerman Timur punya mata-mata di mana-mana. Karl Marx bakal geleng-geleng kepala – atau membelai-belai jenggot, mungkin – seakan tak percaya bahwa penjara-penjara politik kedua negeri ini dipenuhi kaum borjuis dan kaum komunis.
Di luar itu, berbekal usul dan bantuan Uni Sovyet, Jerman Timur menggenjot pertumbuhan ekonomi sambil menghancurkan lingkungan hidup. Agak mirip dengan di Indonesia, yang berbekal usul dan bantuan Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi digenjot sambil menghancurkan hutan tropis dan laut.
Selebihnya, jikalau orang Indonesia dilarang Suharto belajar ke negara-negara sosialis, orang Jerman Timur dilarang Honecker bepergian ke negara-negara kapitalis. Pelesir ke luar negeri hanya berlaku contohnya ke Eropah Timur.
Singkat cerita, di Jerman Timur hak-hak yang satu dijunjung sementara hak-hak lain diabaikan, seperti partisipasi warga.
Antara lain lantaran itulah Leipzig, 20 tahun lalu, menjadi kota yang khas dalam khasanah sejarah dunia. Kota penting di timur Jerman ini jadi saksi dari sebuah revolusi damai. Menurut para pakar, ini satu-satunya revolusi damai di dunia.
Barangkali karena revolusi itu dimulai dengan sebatang lilin.
Orang dilarang berkumpul di Jerman Timur, kecuali untuk tujuan yang tidak politis. Tamasya bersama di pantai bisa, tapi diskusi atau demonstrasi anti-rejim, misalnya, adalah ilegal. Ibadah di gereja juga diperbolehkan.
Satu dua orang lantas menjadikan gereja sebagai tempat berkumpul. Seperti halnya gereja Nikolai di jantung kota Leipzig. Setiap Senin, mereka berdoa di sana. Sekitar Maret 1988, sejumlah kecil ini ibarat melawan dunia. Namun sedikit demi sedikit, dari Senin yang satu ke Senin yang lain, jumlah orang datang dan berdoa terus bertambah. Dianggap kontra-revolusi, rejim mulai memata-matai gereja Nikolai. Semakin lama, makin banyak orang berkumpul. Rejim menangkapi sebagian mereka, tetapi orang tetap berkumpul. Rejim bahkan menyusupkan agen, sampai 600 orang, ke dalam gereja yang berkapasitas 2000 tempat duduk itu.
Seiring waktu, orang mulai berkumpul di luar gereja. Mereka berdoa dan menyalakan lilin. Ini adalah provokasi! Begitu pikir para milisi bentukan rejim. Bila tetap berdemonstrasi, mereka harus digebuk, kalau perlu dengan senjata, tulis komandan milisi di Leipziger Volkszeitung, koran kota Leipzig. Statemen macam ini mengingatkan kita pada pernyataan para petinggi militer dan komandan milisi di Indonesia, saat peristiwa 27 Juli, 1996.
Tapi orang tetap berkumpul, dalam jumlah yang semakin banyak.
Senin, 9 Oktober 1989, rejim mengerahkan sekitar 3000 polisi untuk membubarkan kumpulan orang yang sudah membesar itu. 1500 anggota milisi Tentara Rakyat Nasional (NVA) yang bersenjata, bersiap-siap di pusat kota, menunggu perintah. Gas air mata, mobil penyemprot air, truk penghalau demonstran, semuanya disiagakan di sekitar stasiun kota. Perang sipil seperti mau pecah di kota Leipzig.
Tetapi orang terus saja berdatangan.
Pada Senin itu, apa yang mulanya hanya sekumpulan kecil orang, kini berubah menjadi sekitar 100.000 orang. Mereka menyalakan lilin dan melakukan rally, keluar dari kompleks gereja dan berjalan mengelilingi kota Leipzig.
Seruan “Keine Gewalt!”, tanpa kekerasan!, bergema di kerumunan massa.
Angin bertiup agak kencang di bulan Oktober. Saat musim gugur. Saat dingin mulai menusuk tulang dan orang merapatkan jaket. Barangsiapa memegang sebatang lilin, tangan yang lain harus menutupi cahaya lilin agar tak padam ditiup angin. Karena lilin yang menyala butuh dua tangan, tak ada lagi tangan yang tersisa untuk menggenggam batu.
Di hadapan puluhan ribu orang yang memegang lilin, ribuan aparat rejim yang bersenjata seperti tak berdaya. Slogan “Wir sind das Volk,” Kamilah Rakyat, bergemuruh di tengah kerumunan orang di bulan Oktober 1989, di ruas-ruas jalan di negeri buruh-tani itu.
Demonstrasi di Leipzig menyulut aksi-aksi massa yang lain di seluruh negeri, termasuk Berlin, sampai negeri Jerman bersatu kembali. Tembok Berlin tidak runtuh karena demonstrasi di Berlin.
Demikianlah. Kota Leipzig pada akhirnya jadi dikenal bukan saja karena Bach, Leibniz, Goethe, Luther atau Nietzsche. Tapi juga karena demonstrasi saban Senin itu, karena Montagsdemo.
Di sini sejarah barangkali bukanlah sebuah mobil mogok, yang bergerak lalu mandek. Seperti ditengarai pimpinan partai sosialis di Jerman Timur atau Francis Fukuyama, penulis The End of History. Dan kemanusiaan mungkin lebih mirip sebuah sungai. Sungai yang terus mengalir mencari muara.
Saya acapkali menjumpai beberapa orang menyalakan lilin di dinding, di pintu, di halaman, atau di dalam gereja Nikolai. Sejumlah kecil orang juga kembali melakukan unjuk rasa setiap hari Senin, berdoa dan menyulut lilin di gereja.
Sebagian mereka adalah warga gereja dan aktivis anti-perang. Sebagian yang lain anggota serikat buruh dan pegiat lingkungan. 20 tahun lalu, tak sedikit dari mereka turut mengorganisir dan berdemonstrasi menggulingkan Sozialismus. Saya tanya, kenapa mereka sekarang melakukan itu. Mengapa menyalakan lilin kembali? Mereka kini melawan apa yang diyakini sebagai Neoliberalismus.
Sejarah bukan sebuah mobil mogok. Dan kemanusiaan adalah sungai yang mengalir. ***
- Leipzig, 9 Oktober 2009.
1 komentar:
Tahun 70an,pada waktu rezim militer Orba sebagai monster penguasa tunggal, WS Rendra berkata lantang, "Mereka punya tank, tapi kami punya kata".
Dalam sejarah betapa banyak lembaga tirani yang dilumpuhkan dengan "kata" saja. Sejarah juga menyaksikan betapa kekerasan senjata hanya melahirkan banyak kekerasan-kekerasan multi wajah.
Sayang sekali banyak orang termasuk didalamnya politisi bahkan agamawan sekalipun, tidak mau belajar dari sejarah.
Di Leipzig tirani runtuh. Tembok Berlin simbol keangkuhan, fanatismus, eklusivismus, hancur berkeping-keping. Semuanya berawal dari kata saja, bukan senjata.
Dan Lilin benda penerang yang hancur untuk menyebarkan secercah terang ditengah kegelapan dan kegalauan manusia, adalah kumpulan kata-kata yang bisu.Lilin yang menyala 20 tahun yang lalu dikota Leipzig adalah rakyat itu sendiri. Rakyat yang selama puluhan tahun kata-katanya dibungkam.
Benar sekali lilin bukan hanya menerangi tirani masa lalu. Dia akan dipasang terus melawan peradaban yang gelap. Dia akan menyala, melumer kata-kata sampai tuntas. Sungguhpun barisan tank berjejer dengan moncongnya yang congkak terarah padanya.
WS rendra sudah mati. Tapi semboyannya masih mengiang-ngiang, "mereka punya tank, kami punya kata".
Sukses untuk Sonny. Pakatuan wo pakalawiran. OT. Frankfurt.
Posting Komentar