28 Desember, 2007

Mengapa takut ekonomi pasar?

Komentar saya atas gagasan Ekonomi Pasar Sosial (Epasos) dan peran pasar oleh Muhammad Husni Thamrin dari Friedrich Naumann Stiftung, Jakarta.


Tabea Thamrin,

tabea adalah kata santun yang biasa ditutur orang Minahasa, untuk membuka pembicaraan. Terima kasih untuk link-nya ke situs Kedai Kebebasan. Saya telah membaca tulisan tersebut.

Ada beberapa hal yang kurang akurat. Pertama, Andreas Mueller-Armack, seperti tertera di tulisan itu, adalah anak Mueller-Armack. Sementara peletak teori Soziale Marktwirtschaft (dengan "s" besar), yang saya singkat Epasos di Harian Kompas, adalah Alfred Mueller-Armack alias sang bapak.

Itu pertama. Kedua, menempatkan Ludwig Erhard, kanselir Jerman tahun 1963-1966, hasil koalisi partai CDU dan beberapa kelompok kecil partai konservatif dan liberal, sebagai "pusat" teori Epasos, seperti terkesan dalam tulisan Thamrin, menurut saya mengandung masalah.

CDU, Partai Uni Kristen Demokrat Jerman, sedikit-banyak dipengaruhi "sosialisme Kristen". Ini dapat dilihat dalam apa yang disebut Ahlener Program, milik CDU. Pengaruh tersebut, mesti ditempatkan dalam konteks politik Jerman secara menyeluruh, dalam mana tradisi dan gagasan sosialis berkembang dan melembaga dalam masyarakat Jerman. Ada yang berspekulasi, ini salah satu alasan mengapa Epasos menggunakan kata "sosial".

Dalam politik Jerman, Partai CDU berada di sebelah kanan SPD (partai sosial-demokrat Jerman). CDU berada lebih kanan lagi dari PDS (partai sosialis Jerman). Tetapi, CDU berada di sebelah kiri FDP (partai liberal Jerman). Partai yang disebut terakhir, sering disebut "kanan jauh", bukan karena konservatisme politik tapi karena menganjurkan keutamaan fundementalisme pasar, atau apa yang sering disebut secara serampang sebagai "neo-liberalisme".

Yayasan milik FDP adalah tempat di mana Thamrin bekerja sekarang. Friedrich Naumann Stiftung nama yayasan itu. Yayasan yang juga mendukung kegiatan Freedom Institute, Jakarta, lembaga lain yang menganjurkan keutamaan mekanisme dan solusi pasar dalam bidang ekonomi dan politik.

Saya menyinggung komposisi parpol Jerman di atas dengan maksud menunjukkan, mudah-mudahan, bagaimana ide Epasos berevolusi, termasuk interpretasinya. Alfred Mueller-Armack sendiri adalah anggota CDU. Ia bekerja dengan Ludwig Erhard, ketua CDU, ketika Erhard menjadi menteri ekonomi dan kemudian kanselir Jerman hasil koalisi. Dalam koalisi itu, partai kecil yang tergabung adalah FDP.


Thamrin yang baik,

barangkali adalah hal yang baik, dalam hemat saya, apabila Epasos dipahami menurut gagasan Alfred Mueller-Armack sendiri. Dus, tidak dipahami sebagai gagasan sintesa antara dia dengan Ludwig Erhard, misalnya yang tertulis dalam Manifest 72, karya mereka berdua. Gagasan Mueller-Armack merupakan gabungan ide-ide dari Walter Eucken dan Friedrich von Hayek tentang pentingnya pasar dan kompetisi, serta pengaruh gagasan "sosialisme kristen" (christliche Soziallehre), seperti saya singgung di atas, semisal kemaslahatan bersama dan perlunya solidaritas dalam bermasyarakat. Gagasan Soziallehre adalah hal yang lumrah ditemukan dalam nyaris semua denominasi Kristen di Jerman. Financial Times edisi Jerman, 23/02/2007, menyebut konsep Epasos itu lahir dari Klosterzelle. Dari bilik biara.

Epasos kelihatannya bukan milik kaum kiri, bukan pula milik kaum liberal seperti FDP. Menarik memang, bahwa dalam praktek, kedua kelompok ini berebut menggunakan nama Epasos. Partai liberal FDP kini bersiasat dengan meluncurkan Neue Soziale Marktwirtschaft, edisi anyar Epasos. Sementara, SPD, kaum sosial demokrat itu, setelah ditekan anggota serikat buruh, "meninggalkan" Epasos dan kembali menggunakan kosakata sosialisme demokratis. Di kolong langit, gagasan memang berevolusi.

Sekarang, soal memenangkan kesadaran orang banyak. Meyakinkan keunggulan liberalisme di depan kaum miskin, memang bukan hal gampang. Tanpa upah minimum, memberi kebebasan penuh pemilik pabrik untuk memecat buruh, atau bayar biaya sekolah dan layanan rumah sakit sendiri tanpa bantuan negara, misalnya, adalah gagasan yang sulit diterima kaum papa. Kaum liberal tulen, termasuk FDP, sepertinya harus taktis dalam diksi. Dalam pilihan kata atau slogan. Di sini, mereka harus ikut-ikutan tampil "populis". Termasuk menggunakan kata "sosial" dalam usulan kebijakannya.

Kepada teman-teman FDP saya, boleh juga kepada Thamrin, saya sering mengajukan pertanyaan sepele berikut.

Bila keutamaan liberalisme seperti yang diyakini FDP atau Friedrich Naumann Stiftung membawa kemaslahatan bersama, mengapa di Jerman, FDP hanya dipilih sekitar 10 persen pemilih, sepanjang sejarah partai mereka?

Kok, faedah "liberalisasi", "privatisasi", atau manfaat "pemenuhan kepentingan diri sendiri ( self interest)", tidak bisa para pemilih itu lihat sih?

Bodohkah para pemilih?

Tidak rasionalkah mereka, seperti anggapan kebanyakan "ekonom"?

Pertanyaan-pertanyaan ini adalah politis. Cuma amatiran membaca politik, saya tidak akan berusaha menjawab ini dari perspektif politik. Saya membaca behavioral economics dan ekonomi eksperimental. Menghindari ketimpangan, adalah sentimen moral ekonomi yang secara robust telah teruji dalam bidang ilmu yang saya sebut itu. Sudah tentu, ada beberapa catatan dan syarat kelembagaan terkait robustness tersebut. Meski demikian, tetap terdapat satu kecenderungan umum. Yakni, dalam banyak masyarakat, preferensi atas egalitarianisme mendapat tempat yang penting. Dan tidak bisa diabaikan.

Boleh jadi, ini salah satu sebab, mengapa fundamentalisme pasar yang memberikan penekanan pada self-regarding, pada Aku, dan bukan other-regarding, atau pada Yang Lain Selain Aku, kurang punya cukup resonansi dalam masyarakat. Sebagaimana ditunjukkan kecilnya perolehan suara FDP. (Catatan 29/12/07: Sebaliknya, ketidakmunculan perilaku other-regarding dari tindakan yang mencederai keadilan yang dirasa, perceived, adalah hal yang juga ditemukan dalam riset-riset terkait. Persepsi atas keadilan distributif atau kerelaan untuk kerjasama sosial merupakan hal-hal yang bersyarat dan tergantung konteks).

Selanjutnya tentang pasar. Menyoal pasar membuat kita masuk pada diskusi yang kompleks. Demikian pula ketika kita menyoal peran negara. Terdapat konteks dan syarat-syarat kelembagaan spesifik yang mesti ditelisik lanjut dalam dua bentuk mekanisme pembagian sumberdaya tersebut. Termasuk diskusi usulan di antara dua mekanisme itu. Kita butuh kesempatan lain untuk keperluan itu.

Di satu hal, pasar dapat berperan menyejahterahkan. Pasar membawa manfaat. Pasar, misalnya, berperan menghindari pemusatan kekuasaan dan pemburuan rente. Atau menyediakan harga dengan surplus konsumen/produsen yang lebih besar, dibanding tanpa pasar. Dengan pasar, kita berkesempatan mendapatkan harga barang atau jasa yang (relatif) lebih murah dengan kualitas yang sepadan, atau lebih baik.

Di lain hal, pasar punya efek menghancurkan. Misalnya, solusi cabut subsidi pendidikan dan kesehatan dalam rangka disiplin fiskal untuk stabilisasi ekonomi makro seturut mekanisme pasar (seperti di anjurkan IMF). Menghancurkan, terutama untuk negara dengan warga yang demikian bergantung pada jasa sektor publik, luasnya sektor informal, dan tak dilengkapi jejaring pengaman sosial, seperti negeri kita. Tentu, mencabut subsidi BLBI bagi para sub-klien IMF, terkait contoh ini, adalah hal baik berkait perlunya pendekatan pasar. Bukan begitu?

Salah satu bidang dimana pendekatan pasar berdampak paling merusak adalah lingkungan hidup, misalnya tentang eksternalitas. Contoh lain adalah aspek entropi yang lekat dengan konsumsi tak ramah ekologi. Ini tidak bisa ditangani mekanisme pasar. Pasar bagian dari persoalan itu sendiri.

Salam,
S. Mumbunan


7 komentar:

Anonim mengatakan...

Bung Sonny,
salam kenal,
Saya sangat tertarik dg inti gagasan Anda, termasuk ketika Anda mengafirmasi gagasan otentik epasos di Kompas. Saya sendiri belajar filsafat, dan sedang mencoba fokus ke filsafat ekonomi. Masih tertatih-tatih sih...Tapi saya sependapat, diskusi tidak seharusnya dibungkus dalam dikotomi bipolar pasar vs perencanaan terpusat, atau sosialisme vs kapitalisme. saya sedikit membaca teoritisi ekonomi dari kubu sosialis (kiri), muncul pula multiide, bahkan tidak frontal demikian. Bahwa pasar dibutuhkan (dalam artian market exchange, bukan market force. Kini mereka menggagas participatory planning, beranjak dari market exchange (kuantitatif) dan perencanaan partisipatoris (kualitatif). Mungkin gagasan ini agak dekat dengan konsep negara-kesejahteraan. Liberalisme atau kapitalisme (dan neoliberalisme) nyatanya membutuhkan perubahan dan kritik radikal. Mereka tak dapat menyelesaikan masalahnya sendiri, semata-mata mengandalkan pasar, seperti cermatan Anda. Kini bicara global warming, ketimpangan sosial, terorisme,dll, tidak bisa mengandaikan voluntarisme individual, perlu ranah lebih luas dan otoritatif, yakni negara. Tentu bukan welfare-state Keynesian yg bertumpu pada birokrasi, tetapi pada civil society. Dg memanfaatkan globalisasi informasi, topangan demokrasi sosial, kini kontestasi sudah dibuka. Saya baru membaca buku Capitalism Unleashed (Andrew Glyn,2006), yg diperlukan adalah bagaimana kesuksesan Leash Capitalism di era Golden Age berulang. Agaknya tetap harus menimbang intervensi negara (power. Sekali lagi saya sangat pemula di pemikiran ekonomi. Gagasan Anda sungguh membantu. Saya sendiri sedang dalam proses menulis tesis mengenai antropologi filosofis Karl Polanyi, dari kubu ekonomi institusionalis.
Terima kasih.

Anonim mengatakan...

Bung, terimakasih atas pencerahannya. Terutama soal historis epasos ini. Ada dua hal yang coba perlu kutanyakan lebih jauh :
1. Adakah cerita ttg pengalaman rejim ekonomi liberal yang pernah terjadi di Jerman yang jadi alasan ketidakpopuleran ekonomi pasar konservatif FDP (dengan kuantifikasi 10% pemilih)? Bukankah karakter egalitarisme masyarakat ada tidak serta merta dan terbentuk karena pengalaman ?
2. Apa sebenarnya yang baru (update terbaru) dengan epasos ? Tidakkah disitu secara sederhana adalah ekonomi pasar yang terkendali ? (mengingat seperti yang kau tulis ttg efek positif-negatif pasar), dimana ada pemisahan wilayah mana yang diserahkan pada pasar, dan mana yang diintervensi oleh negara. Konsep ini yang aku belum faham detailnya

Terimakasih Bung.

Anonim mengatakan...

Hallo Gandi,

terima kasih sudah mampir kemari. Aku dihajar flu. Hidung keluar ingus terus. Ngga bisa tidur. Tapi tetap senang membaca pertanyaanmu. (Maklum, baru punya blog soalnya).

Baiklah. Aku mengalami kesulitan memberi komentar atas FDP, partai liberal Jerman itu. Karena keterbatasan pengetahuanku, tetapi juga karena kenyataan bahwa, sebagai partai kecil, FDP tidak pernah menjadi partai berkuasa penuh. Hanya bagian koalisi. Sebagai anggota koalisi, program-program mereka mesti berkompromi dengan partai koalisi. Ini mungkin alasan, mengapa, solusi pasar mereka menjadi agak ”moderat“. Dus, agak sulit menyisir seperti apa dan extent peran FDP. Ketika beroposisi, seperti sekarang, FDP tentu bicara keras soal bahaya dari peran negara, termasuk watak inehren anti-demokrasi dalam sosialisme. (Saat ini, SPD, partai sosial-demokrat Jerman, berkoalisi dengan CDU/CSU, dua partai kristen konservatif, namun dalam kadar tertentu punya sentimen sosial). Seperti yang aku tulis di tempat lain, menariknya, FDP menggunakan kata sosial dalam usulan “neo-liberal” mereka. Mungkin penggunaan ini nyangkut dengan penjelasan di bawah, soal "mood" orang Jerman. (Catatan sisipan: prosentase - yang tidak kecil - dari anggota partai liberal FDP mendukung peran negara, seperti ditunjukkan dalam pooling terakhir di Jerman).

Padanan FDP di Indonesia? Barangkali ini mirip - tapi tidak serupa - Partai Indonesia Baru (PIB) milik ekonom Sjahrir dan didukung M Chatib Basri cs itu. Partai penganjur "rasionalitas" dalam berpolitik, tetapi tidak didukung pemilih.

Persepsi egalitarian Jerman memang tidak jatuh dari langit. Di sini, karena bukan sejarawan, aku – lagi-lagi – tidak bisa menjelaskan panjang lebar, apalagi ilmiah, soal asal dan evolusi egalitarianisme Jerman.

Dulu, ketika Bismarck berkuasa, yang dikenal dengan nama Weimar Republic, masa sebelum Hitler naik ke tampuk kekuasaan, nasionalisasi Bank sudah berlangsung. Kesepakatan kerja bersama alias Collective Bargaining antara pekerja dan pemilik pabrik, telah diperkenalkan pula saat itu. Unik memang, sebab bahkan Nazi sendiri menggunakan sentimen sosialisme untuk menarik dukungan. Bisa ditambahkan pula, sebelum Weimar Republic, orang-orang seperti Karl Marx telah menulis soal masyarakat di Jerman, di bawah bayang-bayang kelaparan masal yang melanda negeri ini. Seorang sahabat, yang studi sejarah, pernah cerita, perihal pergolakan yang dipimpin pendeta Muenzer. Pergolakan populer berbasis petani, saat Martin Luther melancarkan reformasi. Protestanisme itu berdarah-darah. Ini terjadi tahun 1500-an. Potongan-potongan keterangan ini mudah-mudahan jadi cermin bagaimana gagasan sosial berkembang di Jerman.

Paparan diatas mesti dilihat dengan catatan. Aku tidak menyebut sebab-sebab evolusinya. Cuma cermin masyarakatnnya. Sejarawan yang mesti menjelaskannya lebih ketat dan sistematis.

Jerman juga mengalami berkali-kali perang dunia dan ekspansi Eropa. Aku pernah baca tentang riset ekonomi eksperimental menggunakan sample raksasa (dari pembaca koran dan pengguna internet). Kelompok masyarakat berusia tua di Jerman, punya persepsi solidaritas lebih tinggi dibanding kaum mudanya. Salah satu alasan, menurut penelitinya, adalah pengalaman saat masa-masa sulit perang dunia kedua yang mereka alami. Ini salah satu alasan, barangkali, mengapa egalitarianisme kental – tetapi berevolusi – di Jerman.

Seperti aku tulis sebelumnya, egalitarianisme itu bukan spesifik Jerman. Ia ditemukan pula dalam banyak masyarakat. Pendapat terakhir ini aku kutip dari para ekonom (leading economist saat ini) dan antropolog yang menulis Foundations of Human Sociality (2004) tentang hasil-hasil riset empirik di 15 komunitas skala kecil di seluruh dunia.

Soal Epasos, dalam hemat aku, kini tidak ada yang baru. Interpretasinya, atau upaya melakukan interpretasinya yang barangkali baru. 60 tahun lalu, ketika Mueller Armack menulis itu, dengan inovatif tentunya, ia sedang bicara sesuatu yang berbeda dengan yang dipahami banyak orang. Ia tidak sementara berusaha mendamaikan (baca: melakukan trade-off) antara misalnya efisiensi pasar dan pemenuhan keadilan. Ia mengambil posisi ortogonal antara kedua posisi itu, dengan kompetisi (pasar) sebagai kerangka kelembagaannya. Kerangka itu mesti menjamin pasar berfungsi penuh. (Jadi pasar tidak diatur). Keadilan dicapai dalam kerangka tersebut. Dus bukan pasar yang terkendali, seperti yang ingin dicapai teman-teman di Indonesia, atau seperti kesan yang kau tangkap. Karena realisme politik, mungkin, maka (terkesan) konsep itu mengadopsi ide-ide sosial.

Kesanku kalo bicara soal peran pasar dan peran negara, ibarat berada di tengah tawuran masal. Ngga jelas siapa yang mukul, dan siapa yang kenal pukul ..hehehe..

Gagasan yang sedikit maju, adalah dengan mengelompokkan – seperti yang kau tulis – mana yang optimal ditangani pasar, mana negara (tentu ada mekanisme lain, yang tak kalah pentingnya, yakni komunitas. Tapi kita bahas lain kali).

Pasar punya keunggulan (relatif) dalam alokasi sumberdaya. Dari pertukaran sukarela sampai pembentukan signal harga – sebagai mekanisme pendisiplinan. Ini tidak dimiliki mekanisme alokasi yang terencana. Bisa dicontohkan bagaimana buruknya pengadaan barang-barang kebutuhan hidup di negara yang menyebut diri mereka sosialis.

Tentu, ada kritik dengan pendapat ini, misalnya bahwa kita tidak punya informasi yang lengkap, atau kita tidak punya kapasitas melakukan komputasi seperti komputer, atau kita berperilaku rasional terbatas. Tidak seperti yang diasumsikan dalam model ekonomi. Tentu, dalam beberapa hal, rasionalisme individu (dalam mekanisme pasar) membawa kita pada irasionalitas kolektif (misalnya dalam hal eksplotasi sumberdaya alam).

Peran negara juga begitu. Keadilan distributif lebih bisa dicapai dengan campurtangan negara. Dapat disebutkan di sini keunggulan sistem pendidikan dan akses atas pendidikan di negeri-negeri yang dipengaruhi sosialisme. Pajak adalah salah satu mekanisme distribusi pendapatan. (Egalitarianisme juga ditunjukan – berdasarkan riset serius – tentang keinginan orang untuk bayar pajak, tidak mangkir, dan tidak berperilaku penumpang gelap, seperti ditaksir atau diharap para ekonom aliran public choice).

Bayangkan pula combinasi dua pendekatan ini. Pengelolaan PDAM misalnya. PDAM tetap milik negara atau komunitas (baca: surplusnya dikuasai negara, atau orang banyak), tapi perluasan koneksi meteran air, untuk menyebut satu contoh, diserahkan pada kompetisi. Barangsiapa yang paling berkualitas dalam pasang pipa, dan harga optimal, mereka dapat proyek pemasangan.

Pendapat di atas masih seturut dengan pertanyaan kau. Ini mirip dengan buku-buku yang dipelajari mahasiswa fakultas ekonomi umumnya.

Tapi aku tertarik pada redistribusi kepemilikan aset, bukan (cuma) redistribusi pendpatan. Sederhana saja, dengan punya aset, kita mampu menjaga, merawat, dan seterusnya, karena merasa memiliki dan tahu bahwa surplus kerja kita - juga kerugian/kegagalannya - menjadi milik atau tanggungan kita kita. Para ekonom menyebut ini control right and residual claimancy. Dua hal penting dalam pertukaran dan dalam mengatasi persoalan insentif (tapi diabaikan banyak "ekonom"). Perhatikan satu contoh yang lumayan relevan ini. Para pengacara yang melakukan pooling sumberdaya dalam sebuah badan layanan hukum. Mereka bekerja dengan optimal (baca: adil dan efisien), karena hasil kerja menjadi milik mereka. Begitu pula dalam pengambilan keputusan, mereka dilibatkan. Dampak keputusan mereka kena pada diri mereka.

Redistribusi asset di atas dicapai dalam pasar (baca: pertukaran) yang egalitarian. Mekanisme ini mengatasi ketimpangan informasi (information asymmetry) yang lazim ditemukan dalam mekanisme pasar dan (apalagi) alokasi melalui negara. Mekanisme ini memperhatikan struktur insentif dalam melakukan kerjasama (perhatikan misalnya participatory budgeting yang berlangsung di Brazil). Sekarang, riset serius tentang diskusi ini, telah mulai meluas pada hal-hal terkait pembiayaan sekolah, layanan kesehatan, governance untuk common-pool-resources dan – yang paling mendasar – skema kepemilikan hasil kerja.

Keunggulan dan kelemahan mekanisme ini bisa dilihat dalam proposal dan perdebatan di Recasting Egalitarianism – New rules for communities, states and markets, S. Bowles and H. Gintis (1998). Di sini, konsep ini tidak eksplisit berada dalam kerangka dikotomi pasar-negara atau kegagalan pasar-negara. Konsep ini melengkapi peran negara, pasar, dan komunitas.

Mereka yang anti-pasar, mungkin tidak antusias dengan konsep ini. Persis seperti mereka yang fundamentalis pasar. Tapi, bukankah idealisasi keunggulan pasar dan keadilan distributif diakomodasi pendekatan ini, dengan memperhatikan preferensi dan hakekat perilaku manusia, dan bukan keinginan (apriori) perencana partai atau teknokrat pasar?

Menurut pendapatku, ini salah satu solusi inovatif, menarik, yang tersedia – berbasis riset serius, kalo kita mau ilmiah – di antara debat dualisme pasar-negara, yang dari dulu “begitu-begitu doang”. Tentu, namanya usulan, tak luput dari kekurangan dan kelebihannya.

Mungkinkah ini dilaksanakan? Wah, diskusi tentang ini sepertinya lebih kompleks lagi :)

Salam,
Sonny

Anonim mengatakan...

Hallo Pras,

terima kasih untuk komentar, juga soal tulisan saya.

Saya tidak belajar filsafat ekonomi. Saat kuliah, oleh profesor saya disuruh baca tentang karya-karya yang berkait dengan filsafat. Termasuk karya klasik tentang Epasos. Biar tidak jadi seperti robot, kata asistennya, berseloroh. Pasti, saya juga akan tertatih-tatih kalau bicara filsafat ekonomi. Maklum, amatiran.

Saya belum membaca buku Andrew Glyn, Capitalism Unleashed, jadi kita simpan ini untuk lain waktu. Terima kasih untuk saran bacaan.

Seperti tertulis dalam tanggapan saya untuk Gandi, pengelompokan peran (optimal) negara dan pasar bisa dilakukan. (Juga, peran komunitas). Biasanya ini akan diikuti dengan argumentasi kegagalan pasar dan negara. Saya mengajukan Redistribusi Asset sebagai pelengkap pasar/negara/komunitas, terutama ketika pasar dan negara gagal melakukan alokasi sumberdaya secara optimal. Ini juga dilakukan dalam kerangka pertukaran pasar, egalitarian market. Karena, subjek adalah juga pemilik dan penanggung keputusannya atas pertukaran itu.

Saya ingin mengangkat aspek preferensi disini. Pertama, karena ia relevan dengan hal di atas. Kedua, dari situ kritik atas pendekatan pasar dan negara – yang relevan dengan paragraf di atas – bisa dilakukan.

Manusia, dalam "teori ekonomi" yang lazim, dianggap punya preferensi homogen. Menyebut ini, saya tidak sedang bicara Pras suka Pisang dan Sonny memilih Pepaya. Bukan. Maksud saya adalah, bahwa subjek ekonomi, termasuk Pras dan saya, dianggap punya cuma satu preferensi: memaksimalkan untung. Manusia dianggap punya preferensi konsisten dan tidak berperilaku other-regarding.

Dalam usulan kebijakan di Indonesia, seperti pencabutan subsidi BBM, bayang-bayang asumsi ini adalah titik berangkat. Ini landas rasionalitas ekonomi, meski tidak ada yang secara khusus rasional dalam rasionalitas semacam itu. Terkait hal preferensi, saya sedikit kaget ketika membaca tulisan Romo Herry-Priyono, di Kompas (saya lupa tanggal terbitnya), yang menyatakan bahwa manusia itu pasti homo ekonomikus.

Kalau benar manusia berlaku seperti itu, kita tentu tak pernah akan membantu orang yang sedang bertanya mencari alamat (toh tidak ada untung dalam jangka panjang. Penanya juga tidak kita kenal).

Kekeliruan serupa dilakukan kelompok “kiri” atau “sosialis”. Mereka menganggap, bahwa preferensi juga homogen, bahwa subjek ekonomi punya perilaku yang senantiasa mendahulukan orang lain, other-regarding. Subjek adalah homo-equalis. Di Jerman Timur dulu, bangunan apartemen milik negara tampak tidak terurus, kusam, karena penghuninya tidak berminat merawatnya. (Hak memiliki pribadi atas apartemen dinafikan, karena manusia dianggap selalu berperilaku homo-equalis. Pemilikan kolektif.).

Preferensi adalah bersyarat, dan tergantung konteks. Kita prihatin melihat orang ditabrak mobil dan (biasanya) bergegas menolong. Rasa prihatin kita akan menjadi sedikit lain, misalnya, apabila bila ia ditabrak mobil karena memaksa menyeberang ketika lampu lalu lintas berwarna merah. Mungkin, kita menolong tapi ngedumel dulu.

Menurut riset ekonomi, orang juga menghukum – bahkan kalau perlu mengeluarkan biaya untuk itu (costly punishment), hal mana bertentangan dengan kebijaksanaan ala homo ekonomikus. Terutama, bila mereka merasa sesuatu itu tidak adil. Ini pula yang dilakukan supaya norma bersama menjadi melembaga atau diguguh setiap anggota kelompok atau komunitas. Seperti dilakukan nelayan pemburu ikan paus di Lamalera, Nusa Tenggara, yang menenggelamkan perahu milik pihak yang curang dalam pembagian kerja. Preferensi manusia untuk membantu orang lain, juga dikonfirmasi riset. Termasuk menghindari ketimpangan. (Sekali lagi, ini bersyarat).

Tentu, tetap ada yang berperilaku seperti homo ekonomikus. Tapi, tidak selalu berperilaku demikian – kapan saja, di mana saja - seperti dalam "teori ekonomi". Menganggap bahwa manusia itu selalu self-interested, adalah menyesatkan. Sama menyesatkannya dengan menganggap, bahwa perilaku homo ekonomokus tidak dimiliki manusia. Dalam kelembagaan yang anonim – mirip pasar – perilaku self-interested menguat. Dalam setting publik, perilaku reprositas yang dominan.

Egalitarianisme juga penting untuk mendukung konsep negara kesejahteraan. Salah satu alasan “paling kuat” dalam meruntuhkan negara kesejahteraan adalah bahwa bahwa manusia itu berpreferensi homogen. Yang “kanan” menganggap, bila ada banyak orang yang membayar pajak, saya mangkir toh adalah rasional. Mereka juga menganggap bahwa uang tunjangan social hanya akan habis di meja para penjudi atau berakhir di botol para pemabuk.

Yang “kiri” menganggap bahwa uang tunjangan social itu – dibiayai pajak – harus dibagikan secara menyeluruh. Termasuk kepada mereka para penjudi dan pemabuk. Berbeda dengan kedua kelompok ini, (sebagian besar) kita boleh jadi tidak rela bila hasil kerja kita - melalui pajak - dipakai saudara-saudara kita semacam ini. Sama halnya dengan, bahwa (banyak dari) kita tidak mau bila berpunya uang, tapi melihat orang mati di bawah kolong jembatan, karena tidak mendapat makan.

Seperti diketahui Pras, perihal preferensi banyak dibahas Adam Smith dalam The Theory of Moral Sentiments. Disayangkan, banyak orang hanya merujuk The Wealth of Nations.

Pemahaman tentang preferensi ini juga relevan untuk memahami persoalan global warming, terorisme, kesukarelaan pribadi, atau pemasangan Sistem Peringatan Awal ketika terjadi tsunami. Alasannya adalah, karena hal-hal ini, dalam ilmu ekonomi sering diperlakukan sebagai barang publik,. Jenis barang yang penyediaannya tidak akan mungkin, bila setiap orang bersikap ”rasional“, atau berperilaku self-interested. Sebuah setting yang kurang memadai dijawab oleh pendekatan pasar, karena persoalan tindakan kolektif.

Tentang Polanyi, saya tidak membaca semua karyanya. Hanya yang relevan dengan minat saya (baca: bikin tugas dulu), seperti The Poverty of Historicism. Disini, perlakuan dia atas kategori piecemeal (yang lekat dengan ide pasar) dan utopian engineering (yang sering digunakan dalam ekonomi terencana), barangkali tetap relevan untuk diskusi peran negara-pasar. (Pendekatan Polanyi, juga mendasari perdebatan tentang bantuan luar negeri antara William Easterly – pro piecemeal – dan Jeffrey Sachs – penulis The End of Poverty, penganjur utopian engineering. Keduanya adalah ekonom).

Saya telah memberi tanggapan atas komentar Pras. Semoga bermanfaat.

Salam,
Sonny

Anonim mengatakan...

KOREKSI: Untuk Pras.

Dalam tanggapan saya atas komentar Pras, maksud saya adalah Karl Popper. Sementara, Pras membaca Karl Polanyi. Buku yang saya baca (The Poverty of Historicism) adalah milik Popper, bukan Polanyi.

Maaf atas kekeliruan tersebut sekaligus ini adalah koreksi saya.

Seperti ditulis dalam tanggapan saya, buku Popper tetap relevan dalam diskusi soal peran negara-pasar. Untuk Polanyi, saya belum membacanya.

Salam,
Sonny

Anonim mengatakan...

Bung Sonny,
Thanks atas responnya yang mencerahkan. Buku Polanyi yang cukup klasik (edisi terakhirnya diberi pengantar oleh Stiglitz) adalah The Great Transformation (1944). Ia kira2 serumpun dg Friedrich List di Jerman. Saya cukup tertarik dg gagasan Anda tentang preferensi. Benar bahwa tidak mungkin ekonomi tanpa pasar. Saya mengikuti perkembangan teori ekonomi sosialis dan mendapati banyak revisi, misalnya ide pasar sosial yg tidak bertumpu pada aliran Austria (Hayek) ataupun Neoklasik, melainkan pada partisipatory planning. Market diperlakukan sebagai supplier data kuantitatif dan perencanaan dilakukan secara kualitatif. Di sini pasar dlm pengertian market exchange bukan market force (misalnya Alan Nove, Hall, Soskice,dll). Nah, mengenai Herry Priyono saya kira sebaliknya. Kami pernah bersama dia menyeminarkan satu semester Adam Smith, khususnya dua karyanya The Wealth of Nations dan The Theory of Moral Sentiments. Di akhir saya makin paham bahwa kita telanjur menyalahpahami gagasan Smith. benar kata Anda, kita hanya fokus di TWN dan melupakan (sengaja?) TMS. Padahal dua karya itu bisa dibaca bersamaan. Hasilnya apa yg dinamakan homo oeconomicus adalah sebuah pengandaian antropologis agar tata perdagangan bisa dijelaskan sesuai kaidah fisika Newton. Namun akhir2 ini melalui proyek 'neoliberalisme' (setujukan Anda dg ini?, saya kira orang2 'kiri' yg memakai istilah ini, sebutlah David Harvey)gagasan manusia ekonomi ini dijadikan postulat (dlm filsafat disebut ontologis) bahwa ia adalah yg hakiki dan harus dikejar, tidak lagi asumsi. Maka semua diekonomikan, ditransaksikan. Ini menyalahi gagasan awal Smith menurut saya. Saya sepakat bahwa kita tidak bisa anti-pasar naif atau fundamentalis pasar naif, perlu argumen. Bahwa kapitalisme memiliki ekses, jelas, tapi sosialisme klasik (marxisme misalnya) problematis ya. ide anda menarik dielaborasi. Itu proyek kami juga, bahwa preferensi tidak tunggal. Manusia selalu multidimensi, tapi guna penjelasan tertentu perlu ada parsimoni, entah homo oeconomicus, homo historicus, homo religius, etc. Saya sendiri menggagas paham welfare-state yg ditopang demokrasi sosial, utk tidak mengulangi kesalahan Keynesianisme yg bertumpu pd birokrasi yg tdk efektif dan efisien. Jerman selalu menarik didiskusikan, juga Prancis, untuk sekedar menyebut agar hegemoni USA dan British tidak kadung dianggap satu2nya.
Thanks juga atas informasi buku Popper. saya sendiri baru membaca dua karya Popper, termasuk Open Society and its enemies.Saya sedang mencoba menulis ke Kompas menanggapi diskusi anda, sukardi, dan lilik (yg menurut saya agak konyol secara teoritis?!).
salam,

Pras

Anonim mengatakan...

Hallo Pras,

aku baru ingat, pernah membaca Polanyi, The Great Transformation, cuma belum selesai. Lompat-lompat pula. Musti baca dulu baru kita diskusi.

Terima kasih informasi soal Friedrich List. Berdiskusi dengan Pras, tugas membaca saya malah jadi bejibun :)

Ha-Joon Chang, penulis Kicking Away the Ladder, teman Stiglitz itu, juga mengutip List soal aspek historis peran-peran intervensi negara yang optimal.

Saya belajar sesuatu dari Pras soal postulat dan ontologi. Terima kasih. Tentu, ini aspek yang politis, mengingat Homo Ekonomikus [menjadi,dijadikan] semacam Tiang Awan yang menyuluhi perjalanan pilihan prilaku manusia.

Terkait Welfare-State, gagasan Pras adalah menarik dan provokatif: Negara Kesejahteraan berbasis Civil Society, bercermin pada kegagalan birokratisme Keynesian. Bahwa ini bisa dilakukan, masih terbuka. Kita sedang bertukar atau berargumentasi ide, belum praksisnya. Yang disebut kemudian adalah kompleks, apalagi untuk didudukkan dalam kondisi (baca: materi) bernama Indonesia. Dibutuhkan diskusi lebih dalam soal [kelebihan, kelemahan, potensi, batas] demokrasi deliberatif, dimana - menggunakan sedikit bumbu Habermasian - subjek memiliki kapasitas artikulasi kepentingannya dalam memutuskan sesuatu, bukan cuma sekadar memiliki akses atas keputusan.

Secara teoretis, intervensi negara ataupun pendekatan keynesian, dilakukan saat pasar mengalami kegagalan. Di sini, secara bersamaan, negara diandaikan tidak mengalami kegagalan.

Bila keduanya gagal, maka usul saya dengan pelengkap pasar/negara/komunitas menjadi lebih optimal. Tentu, bila pasar atau negara tidak mengalami kegagalan, baik intervensi negara atau pasar yang liberal, sama-sama bisa berfungsi optimal. Saya menyebut hal-hal ini, hanya ingin berbagi perspektif bahwa masih perlu didefinisikan medan penerapan gagasan Pras. Kita tidak membutuhkan negara untuk memilih warna tali sepatu anak kita, bukan? Sebagaimana menggunakan mekanisme pasar untuk menyelamatkan hutan tropis di Kalimantan adalah sebuah kekonyolan.

Soal tulisan Herry-Priyono, Pras benar. Rasanya tidak mungkin, bila dia menulis seperti yang saya maksud. Posisi dia kritis terhadap homo ekonomikus. Tapi, perhatikan kalimat berikut, "Manusia pasti homo oeconomicus, tetapi homo oeconomicus pastilah bukan keseluruhan manusia". ("Neoliberalisme", Kompas, 15 Desember, 2005).

Dia ingin menunjukkan tentang bagaimana neoliberalisme meregang konsep homo ekonomikus ke seluruh bidang kehidupan. Tapi, kalimat Romo Herry di atas tetap bermasalah. Pertama, logika kalimat itu keliru.
(1) Manusia pasti H. Ekonomikus
(2) H. Ekonomikus pasti bukan keseluruhan manusia

Dalam kalimat (1), riset ekonomi eksperimental/behavioral economics menunjukkan bahwa perilaku Homo Ekonomikus cuma sepersekian persen keseluruhan perilaku manusia. Dalam setting kelembagaan mirip public goods, kurang lebih sekitar 30 persen. Pesannya: manusia itu tidak selamanya, apalagi selalu, berperilaku seperti taksiran H. Ekonomikus. (Dalam setting yang lebih mirip pasar, misalnya kondisi dengan tingkat anonimitas tinggi, prosentase itu jauh lebih besar). Artinya: Manusia tidaklah pasti H. Ekonomikus. Yang mengatakan "Manusia pasti H. Ekonomikus" mungkin cuma (a) demagog fundamentalis pasar atau (b) mereka yang mengidap epistemic-lag. Pras dan saya tahu benar, Romo Herry tidak dapat dikelompokkan dalam keduanya.

Dalam kalimat (2) juga bermasalah. Seolah-olah, telah ada satu fraksi -apriori - tertentu orang yang (a) berwatak H. Ekonomikus dan (b) berwatak non-ekonomikus. Riset ekonomi eksperimental menunjukkan bahwa ini bisa betul, bisa pula tidak. Betul, dalam pengertian, selalu ada satu fraksi tertentu orang yang bersikap H. Ekonomikus. Tidak karena terdapat fraksi tertentu yang perilakunya tergantung aspek kelembagaan ketika dia berinteraksi. (Saya mau ikut unjuk rasa - walau rugi waktu, panas, dll - untuk menuntut pengusaha terkaya Indonesia membayar ganti rugi lumpur Lapindo karena ulahnya). Bahkan H. Ekonomikus akan jadi H. Resiprokan bila perilakunya diketahui umum dalam komunitas tertentu. Para ekonom menyebutnya sebagai common knowledge. (Para perampok dana BLBI yang H. Ekonomikus banget, tetap mau koq menyetor hartanya. Tapi sejurus menjadi korup, ketika tahu tidak terdapat credible threat lagi, atau pihak eksekutif/legislatif sama sama-sama korup, misalnya).

Hal di atas tidak mengurangi rasa hormat saya atas gagasan Romo Herry-Priyono yang selalu membuat kita semua berpikir. Mungkin hanya sebuah kekeliruan formulasi (terutama bila kita membaca seluruh isi tulisan). Hanya saja, kalimatnya di atas tersebut, an sich, tidak sejalan dengan perkembangan dan konfirmasi yang datang dari riset serius ilmu ekonomi non-neoklasik seperti ekonomi eksperimental.

Catatan saya ini mungkin lebih ke detail. Dasar penjelasan filosofis dia masih absah.

Salam,
Sonny












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar