Begitu cantik akhir pekan lalu. Saya menghabiskannya di kota Goettingen. Sebuah kota kecil, kota mahasiswa, yang dikelilingi perbukitan rendah. Letaknya di negara bagian Niedersachsen, Jerman. Pekan lalu, matahari muncul penuh menyinari kota ini.
Saya ikut seminar tentang energi terbarukan. Seminar berlangsung tiga hari, dari Jumat sampai Minggu, 25 sampai 27 April, 2008. Afrikanisch-Asiatische Studienfoerderung (AASF), organisasi pendukung mahasiswa Afrika dan Asia di Jerman yang berdiri tahun 1974, adalah penyelenggara.
Tahun ini, peserta dari Birma, Pakistan, Cina, Afganistan dan Etiopia tampaknya lebih didahulukan. Proporsi mereka lebih banyak dibanding dari negara lain. Mahasiswa Indonesia cuma saya sendiri. Rata-rata peserta adalah mahasiswa teknik lingkungan, teknologi atau kimia. Saya seorang yang belajar ilmu ekonomi. Seminar ini dibiayai Dinas Kerjasama Ekonomi dan Pembangunan (BMZ) Jerman.
Tema setiap tahun berbeda-beda. Sebelumnya, Mohammad Yunus berkali-kali memberi kuliah di seminar ini. Yunus mengembangkan Grameen Bank di Banglades, bank rakyat yang memberi kredit bagi orang miskin. Dua tahun lalu, ekonom ini memenangkan hadiah Nobel Perdamaian.
Dari beberapa pembicara seminar kali ini, Wolfgang Scheffler mencuri perhatian saya. Pembicara yang lain mengulas persoalan energi di Etiopia, inovasi biomas skala kecil di Jerman, dan desa ekologis di Afganistan.
Siapa si Scheffler? Di banyak tempat di Afrika, Asia dan Amerika Latin, warga miskin menggunakan apa yang oleh warga sendiri disebut sebagai Reflektor Scheffler. Ini sebentuk parabola dari kaca yang mengarahkan sinar matahari menjadi fokus. Sinar matahari itu digunakan untuk memasak, menjalankan mesin, sebagai pemanas, dan lain sebagainya. Termasuk menjalankan dapur umum raksasa.
Scheffler sendiri adalah sarjana fisika. Ia terpanggil mengabdikan hidupnya di negara miskin dan berkembang. 25 tahun lalu, ia mengembangkan reflektor ini di Kenya. Lalu pindah ke India. Kini, bersama istrinya, dia membangun reflektor di seluruh dunia. Situs Solare Bruecke menyelia informasi, dari kiprahnya sampai teknis pembuatan reflektor.
Scheffler orang yang ramah, bersahabat. Ia juga gemar dan tulus berbagi ilmu. Kami berbincang lama tiap kali jeda. Kebetulan, Schefller dan saya punya minat yang sama atas penyusunan anggaran partisipatif di Brazil. “Kamu baca buku ini, deh!“ ujar dia sambil menulis Die Plannungszelle, karya sosiolog Peter Dienel. Ini buku tentang bagaimana mendorong demokrasi deliberatif.
Saya mengendus komitmen dari setiap penggal kata-katanya. “Pengetahuan haruslah menjadi milik umum, milik commons,“ kata dia pada saya, saat makan siang. Ini alasan, mengapa ia tidak pernah mematenkan reflektor temuannya. Membiarkannya jadi milik setiap orang.
“Bila bisa diakses umum, teknologi memudahkan kita mencapai kemakmuran bersama,“ tuturnya. Gagasannya tentang akses sumberdaya adalah radikal. “Kemiskinan di mana-mana, padahal kita punya sumberdaya berlimpah.“
Seminar ini punya sesi menarik yang lain: desa Bedmoschk di Afganistan. Sebuah desa yang menggunakan kombinasi energi terbarukan sebagai sumber energinya. Baik energi sinar matahari atau angin.
Sekarang warga desa sedang mengembangkan teknologi baru. Sambil duduk nonton TV, mengayuh "sepeda" pembangkit energi. Luar biasa sekaligus lucu. Soalnya, saya ingat Taliban, rejim-agama yang represif dan menyeramkan itu, kapan saja mendengar Afganistan. Scheffler dan istrinya membantu membangun pasokan energi desa percontohan ini.
Saya jadi ingat kampung saya. Di Minahasa, petani menurunkan kadar kopra dengan kubah dari seng. Kopra adalah kelapa yang diasapi. Petani juga menurunkan kadar air cengkih dengan menjemur langsung di bawah terik matahari. Butuh waktu dan sumberdaya lebih lama, lebih banyak. Orang juga memasak kue tradisional dengan minyak tanah, bahan bakar yang kian lama kian mahal.
Membuat Reflektor Scheffler tampaknya mudah. Bisa disesuaikan pula dengan kebutuhan setempat. Teknologi ini dapat dikelola warga secara bersama-sama, secara mapalus. Misalnya melalui kelompok tani atau kelompok pemuda. Scheffler bersedia memberi pelatihan selama dua bulan.
Menenteng berkantong-kantong perspektif baru, saya meninggalkan kota Goettingen.
***
Foto-foto kota Goettingen yang saya ambil, klik sini.
3 komentar:
tabea maesa
Saya membaca "Minahasa dalam tempurung" dan "Reflektor Sheffler" dengan minat besar. Kedua tema itu saya kenal baik. Saya melihat konsistensi anda dalam bergumul dengan soal-soal kontekstual,melalui tulisan-tulisan anda.
Berpihak pada rakyat yang tertindas dan semakin ditindas oleh struktur yang tidak adil adalah manifestasi dari iman kristen. Karena itu lakukan terus,jangan menyerah.
Saya tinggal di Frankfurt. Maitua adalah pendeta diEvangelishe Kirchliche in Hessenund Nassau (sinode EKHN),melayani di Frankfurt dan Darmstad. Saya sendiri banyak terlibat dalam dialog dan upaya mengembangkan institusi akar rumput. Sebelumnya torang di Reutlingen selama 6 tahun. Nanti satu waktu torang undang ngana.
Orang tounsaru
Tabea Orang Tounsaru,
makase banya so ba pontar kamari, pa kita pe blog. So ambe waktu mo baca. Deng, kase tinggal pujian, dan sokongan.
Kalo umur panjang, bole torang baku dapa. Termasuk baku dapa deng torang pe ibu - tuang pe maitua. Kalo dapa undang, sanang sakali. So paling kurang tu dia, tu lidah bole rasa bumbu Minahasa. Rica-rica :)
Viele Gruesse,
Sonny
0rang t0nsaru wew..qt le 0rang t0unsaru..btw b0le knalan...s0 tabae qt lia ekh...frankfurt :-d..qt suka sekali m0 berkenalan deng qt pe 1 kampung biar cuma d internet..kal0 da wktu main neh d http://mig33manado.tk kalu ada le 0rng tounsaru pas baca nih koment tol0ng email pa qt lwt nixrose@gmail.com JBU
Posting Komentar