01 Mei, 2008

Minahasa dalam tempurung

Sonny Mumbunan
Komentar (Manado), 29 dan 30 April, 2008

Pernah mencoba permainan ini? Kedua kaki Anda berdiri di atas dua tempurung. Jari-jari kaki menjepit tali yang terikat di lobang kecil di tiap ujung cekung tempurung. Tempurung menggantung di bawah kaki, Anda berjalan. Ikut tali yang diatur gerak tangan.

Di tempat lain di Minahasa, orang bermain pica tampurung. Tempurung diadu tempurung. Barangsiapa lebih kuat menghantam tempurung, atau punya tempurung lebih keras, dia pemenang. Winner takes all. Tempurung si kalah berpindah tangan pada pemenang.

Tempurung bukan sekedar alat bermain. Sering ia berfungsi bahan bakar. Kadang-kadang, bagian keras buah kelapa ini jadi pemanas seterika, dan perkakas masak. Hidup sebagian besar masyarakat Minahasa –tempat saya lahir, dan tinggal– memang bergantung pada kelapa. Ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Ambil contoh kopra. Komoditas ini sangat penting bagi ekonomi Minahasa. Akhir 1930an hampir 90 persen dari seluruh ekspor Minahasa adalah kopra, catat ahli geografi Karl Pelzer.

Kopra turut memicu pemberontakan Permesta. Ilmuwan politik Barbara Harvey, menunjukkan, bagaimana struktur pasar kopra mendorong Minahasa melawan Jakarta.

Struktur pasar kopra? Kalau sekarang pasar bebas ditolak petani cengkih, dulu sebaliknya. Ketika itu, mekanisme pasar berlangsung di Jawa. Produksi kopra di daerah ini sedikit. Sementara di timur Indonesia –produsen utama kopra– Jakarta memberlakukan monopoli. Kopra Minahasa dibayar lebih rendah dibanding harga pasar, meski punya kwaliteit lebih baik.

Penyelundupan kopra pun marak. Jakarta lalu menutup pelabuhan Bitung. Minahasa protes. “Buka ulang Bitung atau kami berontak!” adalah slogan populer sekitar Juni 1956.

Warga dan tentara Minahasa mendukung penyelundupan. Dari dana penyelundupan (baca: surplus ekspor), berbagai infrastruktur dibenahi. Jembatan. Irigasi. Gedung. Pelabuhan. Serta, tentu, jalan. 5 bulan sejak Permesta dicetuskan, 70 persen jalan diperbaiki.

Saya bermain tempurung ketika masih sekolah dasar. Di Tonsea, daerah cantik di utara Minahasa, tanah tempat kelapa tumbuh baik. Kelapa bikin masyarakatnya makmur. Sampai-sampai, Tonsea dulu pernah jadi “kuburan mobil“.

Istilah tersebut ciptaan antropolog Mieke Schouten. Daya beli yang meroket karena kopra sayangnya diikuti perilaku konsumtif. Barang-barang mewah seperti mobil dibeli. Berkembangnya industri sabun dan mentega di Eropah dan Amerika Utara kala itu, memang membuat nilai kopra tinggi.

Lalu dunia dihantam krisis besar ekonomi tahun 1930. Sebagai bagian ekonomi dunia, Minahasa ikut goncang. Harga kopra terjun bebas. Tonsea jatuh miskin. Utang bertumpuk. Mobil-mobil tak terpakai. Diparkir, tak terawat. Tampak seperti kuburan.

Biasanya saya bermain sepulang sekolah. Bermaeng tampurung sampai berkeringat. Daki bergaris-garis di kerah baju atau di leher kaos oblong. Tak jarang lecet di sela jari-jari kaki.

Sistem produksi berubah. Masyarakat berubah. Corak penggunaan sumberdaya alam juga berubah. David Henley, seorang pakar geografi, mendokumentasikan perubahan semacam itu, termasuk di Minahasa, dalam buku Fertility, Food, and Fever – Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930.

Buku ini bahas macam-macam. Dari pola kependudukan dan pasokan pangan, sampai penggunaan lahan. Serta hubungan manusia dengan alam dalam produksi pertanian di bawah kolonialisme.

Banyak keterangan menarik dalam buku ini. Misalnya, meski di beberapa tempat tumbuh padat, tanaman kelapa pada 1930an hanya menggunakan tak sampai 10 persen dari seluruh lahan yang diubah aktivitas manusia. Berbeda dengan foodcrop seperti beras yang boros lahan.

Juga cerita lucu. Petinggi Belanda acap mengeluh, melihat kebiasaan orang Tonsea. Jatah waktu untuk perayaan rupanya lebih banyak dibanding aktivitas produktif. Terkadang sampai sembilan hari, untuk sekali acara.

Karena produksi kolonial butuh tenaga kerja, akhirnya tahun 1856, AJF Jansen, residen Minahasa yang ambisius itu, melarang apa saja yang berlangsung lebih dari tiga hari. Ia melarang acara, pesta, termasuk foso (pantangan) kerja.

Sayang, tak satu pun cendekiawan Minahasa menimbang buku sangat kaya informasi yang terbit tahun 2005. Membacanya, menjadi lebih terang gambar besar di balik rencana World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado. Juga Buyat dan Tokatindung, tempat maskapai mancanegara menambang dan bermasalah.

Puji syukur, pohon kelapa kini masih jadi lambang Manado, Minahasa atau Sulawesi Utara. Nanti? Entahlah.

Beberapa tahun lalu, anggaran akku mobil Gubernur Sulut berkali-kali lebih besar dari anggaran bibit kelapa. Hari-hari ini, orang bahkan berencana menyulap balai riset kelapa jadi pacuan kuda.

Perkara pacuan kuda ini bikin saya khawatir dua kali. Pertama, ia contoh baik, bagaimana privatisasi sumberdaya publik mengambil bentuk. Lahan, pajak dan APBD kita digunakan untuk memuaskan tujuan pribadi.

Kedua, rabun jauh kebijakan publik. Policy myopia. Meski pertanian nafas ekonomi Sulawesi Utara, di mata penderita rabun jauh, satu dua ekor kuda milik bupati dan walikota tampak jauh lebih penting. Dibanding puluhan ribu petani berikut keluarganya.

Pengidap rabun tak bisa membedakan prioritas. Padahal riset kelapa meningkatkan produktifitas petani dan nilai kelapa. “Pemberontak” Permesta masih lebih jago soal prioritas.

Dulu, Permesta bikin jalan dan ditembak mati. Sekarang, kita bikin baliho raksasa di pinggir jalan, dipampang foto keluarga atau kuda piaraan. Balai riset kelapa digusur untuk balapan kuda piaraan? Kalau betul, Oom Sam Ratulangi dan Oom Alex Kawilarang pasti meringis di dalam kubur.

Kelapa memang baru lambang. Belum prioritas kebijakan. Di Tonsea, 40.500 keluarga masuk kelompok tak sejahtera pada tahun 2006. Kalau data ini akurat, berarti sekitar 47 persen. Di tanah tempat kelapa tumbuh baik itu, hampir separuh keluarga adalah miskin.

Kemiskinan bukan takdir Tuhan. Seperti sapu lidi, kemiskinan adalah bikinan orang. Di tahun yang sama, seorang anggota DPRD Minut yang dulu sederhana, kini punya rumah mewah.

Pada tahun yang sama pula, anggaran rumah tangga bupati setara dengan sekitar dua pertiga PAD Minut sebelumnya. Orang Tonsea masih linglung, mengapa bupatinya digadang Komisi Pemberantasan Korupsi tersangkut kasus Kutai.

Dus, di satu sisi, rabun jauh kebijakan. Di sisi lain, salah urus sumberdaya. Di Minahasa, keduanya melingkar seperti ikan sogili kawin. Lalu meremas leher petani secara serentak. Kapasitas produktif pertanian hancur.

Hal-hal berikut tiba-tiba jadi relevan. Kenapa banyak perempuan muda keluarga petani Minahasa akhirnya menjual tubuh dan harga diri untuk bertahan hidup? Mengapa banyak orang cuma ba hoba, melenggang kangkung, dan tidak menenteng belanjaan di Boulevard Manado?

Jawabannya rumit. Tetapi logikanya gampang. Pertanian adalah penyerap utama kelimpahan tenaga kerja di desa. Pertanian penentu penting daya konsumsi masyarakat. Begitu di Minahasa. Pertanian keok? Perempuan Minahasa mungkin melacur. Boulevard bisa bangkrut.

Membagikan uang cash 20 ribu rupiah [pada masyarakat] itu mulia. Sayangnya, kemiskinan cuma pergi 20 jam. Berbeda dengan mobilisasi dana APBD untuk mendukung pengembangan masal dan modern tanaman kelapa. Dampaknya panjang dan menyeluruh.

Apalagi, bila mobilisasi dana itu dikelola secara mapalus. Secara bersama-sama.

Maksudnya? Anda dan saya, warga kota dan desa, kelompok tani, jemaat gereja, komite sekolah, menyusun rencana anggaran daerah. Kita susun RAPBD kita sendiri. Seraya berkonsultasi dengan Bapedda, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Kemudian kita bawa ke DPRD dan pemerintah. Mirip yang dilakukan orang Brazil.

Saya menyebutnya MAESA, Mapalus menyusun APBD.

Maaf melebar jauh. Mari balik ke tempurung. Ternyata, permainan-permainan pembuka tulisan ini tinggal beberapa dari yang tersisa.

In menggelisahkan jurnalis Lingkan S. Wolf. “Permainan tempurung patut dihidupkan kembali,“ ujarnya sekitar 1980an dalam siaran budaya Radio Sion Tomohon. “Meskipun permainan ini statis, dibanding olahraga modern.”

Dia mengumpulkan beragam permainan tempurung. Ada sebelas macam.

Mamingkir adalah jenis permainan melempar tempurung dengan kaki sambil membelakangi sasaran. Lalu Mangombo. Di sini, pemain melompat dan dua betisnya menjepit tempurung.

Dalam permainan Manusuk, tempurung didorong dengan jari kaki. Tempurung dilempar pula dengan mata kaki (Mangomper), lutut (Mamopo), jepitan jari kaki (Mangopit) atau jepitan belakang lutut (Mameko). Mengguling tempurung sampai kena sasaran namanya Mangalaus.

Tempurung dimainkan juga sambil balik badan (Mamentir), atau tutup mata (Mamola), dan tangan mengarahkan tempurung ke sasaran. Kalau Maneinteng, tempurung diletakkan di kepala dan dikenakan pada tempurung yang disasar.

Dalam permainan-permainan ini, persaingan dan kerjasama sosial yang orisinal dan kuat mungkin terbangun. Di luar itu, permainan murah ini mewakili kecerdasan gerak dan koordinasi tubuh. Kecerdasan yang tidak ditawarkan alat modern macam PlayStation.

Sampai sini, Anda mungkin berpikir, si Mumbunan mulai nyanda ma slak, mengada-ada. Terjangkit romantisme. Ia berniat memberi nafas pada budaya lama, agar bisa berdiri dan berjalan, persis orang sedang main tempurung.

Awo, ba butul lei ni dia? Mengajak orang bermain tempurung, saat internet dan multimedia sudah kosakata sehari-hari?

Saya akan berkelit. Lalu bilang, memang tidak semua pencapaian budaya lama itu buruk. Sementara tak seluruh yang lama pas dengan kenyataan, dengan kelembagaan, dengan pengorganisasian masyarakat baru.

Dan kita punya sekarung cerita tentang masyarakat yang berubah. Bahasa Minahasa misalnya. Bahasa yang ditinggal.

Akankah nasib bahasa ini berakhir seperti permainan tempurung?

***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu ekonomi di Universitaet Leipzig, Jerman. Catatan: Terdapat beberapa perubahan kecil dalam tulisan ini dibanding format di harian Komentar.

6 komentar:

Anymatters mengatakan...

Apapun masalah yang dihadapi Minahasa, saya yakin bahwa Big Boss punya rencana besar buat bumi Minahasa beserta isi dan "tou" nya.

Pakatuan wo Pakalowiren

Anonim mengatakan...

Halo Anymatters,

betul itu: rencana sukacita.
Sukses dan sehat selalu juga for Anymatters dan keluarga, di tanah rantau.

- S

Waluyan, P. mengatakan...

Nice posting, Son...
Walopun qta da scroll up and down brapa kali mo cari beda Imba deng Permesta hehehe.. (ato itu implisit stow kang kong qta pe bogo nintau hahaha)

Eniwey, mengacu pada kalimat "Kemiskinan bukan takdir Tuhan. Seperti sapu lidi, kemiskinan adalah bikinan orang. Di tahun yang sama, seorang anggota DPRD Minut yang dulu sederhana, kini punya rumah mewah", dan meninjau kembali beberapa pengalaman pribadi, maka kesimpulan yg bisa qta ambil, orang Minahasa (klo istilah "orang Indonesia" terlalu lebar), cenderung juga memiliki Social myopia; sehingga seorang pencopet kecil digebuk habis2an sampai pata-pata (klo tidak mati), di lain kesempatan begitu bangga bisa menjabat tangan seorang walikota bahkan berlomba utk berdiri persis disampingnya ketika berfoto bersama, tapi lupa kalau org2 seperti beliau lah yang kenyataannya 'mencungkel' habis setiap 'kelapa-kelapa penghidupan rakyat' hingga yg tersisa adalah nyaris tiada (karena tampurung pun laku terjual di pasar, kan???)

Ah, dasar manusia, semut diujung jalan diperhatikan maar gajah di depan mata luput dari perhatian.

Hmm... sori Son... so ta panjang hehehe....

GBU!

Anonim mengatakan...

Thanks Cia so ba pontar kamari.

Iyo eh, sedih juga balai penelitian kelapa Manado mo digusur buat balapan kuda.

GBU too!
- S

Anonim mengatakan...

Wah..wah, ini blog pertama yg wkt qta kunjungi langsung baca 3 posting karna bukan cuma menarik tapi butul2 enrich knowledge. Gaya bahasa yg unik dan original. Tak heran menjadi topik yg hangat dibahas bukan cuma di harian Komentar dan Kompas mar sampe di PPIsulutoverseas.

Postingan laen yg juga bagus adalah parabola Scheffler and mengenai kereta baru epasos yg pembahasannya menjadi sangat hangat di harian Kompas.

Blum juga yg lain, ttg menjelaskan konsep ekonomi dgn simplifier transaksi dgn seorang pemain musik. Bayangkan, konsep ekonomi yg rumit dibuat simple dgn analogy transaksi dgn pemain musik ck..ck..My big acknowledgement to you bro Sonny.

Menanti malam tahun baru,kisah ttg diskusi dgn kakek penderita kanker di pagi hari sampai2 bisa membawa pembaca seperti berada ditempat tersebut (qta riki dapa ciong tu udara pagi Jerman) adoh.. nda bisa disebutkan satu2 lagi semuanya menginspirasi!

Sukses selalu bro Sonny. Makasele kote so ba comment pa qt pe blog. Kase bro pe alamat kwa pa kita pe blog wkt di comment supaya qta pe tamang2 indo disini juga yg lia qta pe blog boleh klik bro pe alamat blog.

Regards,
Andress

rosita agnes is dhe-dhe mengatakan...

i like the way you write...tampurung lengkali cuma ja pake bakar ikang mar tu ikang bakar lebe enak kalo bakar pake tampurung memang..io to son? thanks GOD, so mulai pica tu tampurung-tampurung korupsi di sulut...semoga nyiur tetap melambai GOD bless minahasa












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar