22 April, 2008

Pakai rasio atau intuisi?

Profesor Gerd Gigerenzer. Leipzig, 22 April 2008.
Foto: Sonny M.



Di lantai dasar
toko Lehmanns Buchhandlung, salah satu toko buku terbesar di kota Leipzig, sekitar 30 kursi diatur berjejer. Di depan, ditaruh meja pembicara dengan taplak hitam pekat. Belum satu pun orang menempati tempat duduk.

Gerd Gigerenzer datang. Ia berjas biru gelap dengan kemeja biru terang. 15 menit lagi acara dimulai. Ia mengambil air minum. Lalu bincang-bincang dengan dua orang – sepertinya para penyelenggara.

Gigerenzer adalah psikolog paling penting Jerman saat ini. Dia kepala Max Planck Institute for Human Development, Berlin. Sebelumnya dia profesor di Universitas Chicago. Buku yang akan diluncurkan adalah edisi Jerman dari Good Feelings, bukunya tentang heuristik pengambilan keputusan.

Heuristik adalah semacam aturan atau prinsip yang menuntun kita membuat keputusan. Termasuk dalam mencari alternatif atau keterangan, atau keduanya, untuk keputusan itu. Atau kapan berhenti mencari keterangan. Dari keputusan beli odol gigi sampai menikah atau tidak, berlaku heuristik ini.

Dalam edisi Jerman, buku itu diberi judul Bauchentscheidung. Terjemahan literer: "keputusan perut". Begitu cara orang Jerman menyebut keputusan berdasar intuisi. Selama ini kita kenal "keputusan kepala" yang menggunakan logika dan rasio, bukan heuristik sederhana dan ringkas. Di Swiss, buku Gigerenzer ini memenangkan buku terbaik kategori buku ekonomi. Di Jerman, buku terbaik kategori sains. Buku itu sendiri adalah penjelasan populer dari penelitiannya tentang perilaku manusia.

Dia memberi senyum ramah. Saya mendekatinya. Saya mengenalkan diri, dan membuka pembicaraan.

“Dua hal perlu kita pahami: pikiran dan lingkungan” ujarnya menjawab pertanyaan saya tentang pendapat Herbert Simon. Simon adalah computer scientist, psikolog dan penerima Nobel Ekonomi tahun 1978. Menurut Simon, rasionalitas manusia terbatas dalam mengambil keputusan. Simon adalah penganjur konsep bounded rationality. Ini berbeda dengan teori ekonomi standar yang menganggap manusia punya rasionalitas penuh.

Manusia punya keterbatasan pengetahuan atau sumberdaya, termasuk kemampuan melakukan kalkulasi. Dalam banyak kasus, tahu lebih banyak tidak selalu lebih baik. Manusia melakukan satisficing, merasa cukup, ketika tingkat aspirasinya terpenuhi. Kalau tidak percaya, tanyalah pada mereka yang menikah. Mereka tidak terus-menerus mencari pasangan terbaik. Bukan cuma hal itu sulit, sering pula berakhir kecewa.

Dus, pilihan yang kita buat bersifat adaptif. Dalam membuat keputusan, kita tidak selalu membuat kategori untung-rugi, memberinya bobot, menghitung probabilitas dan utilitas masing-masing, lalu mengambil pilihan dengan jumlah poin tertinggi.

Kita tidak selalu melakukan optimisasi ketika berhadapan dengan keterbatasan. Kerap kita melakukan apa yang disebut Gigerenzer sebagai heuristik cepat dan ringkas, fast and frugal heuristic. Bila Simon mengajukan konsep satisficing, Gigerenzer muncul dengan heuristik ini. Kedua konsep ini anggota keluarga rasionalitas terbatas.

Gigerenzer meneguk air minum di gelas yang dia pegang. Lalu melihat buku yang saya bawa. Matanya sedikit memincing, berusaha membaca judul, sebelum akhirnya dia tersenyum.

Saya membawa buku Simple Heuristics That Make Us Smart yang ditulisnya bersama kolega riset dia. Berisi penjelasan teknis dari buku yang diluncurkan malam ini. Buku itu saya beli dua tahun lalu. “Anda lihat sendiri, Simon senang dengan riset kami,” kata dia sambil tersenyum.

Saya mulai sampai pada kesimpulan, tampaknya dia gemar tersenyum. Simon memang memberi endorsement untuk buku ini, bersama Reinhard Selten, ekonom Jerman penerima Nobel Ekonomi untuk Teori Permainan. Gigerenzer memperluas konsep Simon sekaligus melakukan kritik. “Cuma kritik kecil,” katanya, lagi-lagi dengan senyum.

Toko buku ditutup. Tersisa tinggal hadirin peluncuran buku. Sebagian lampu toko dimatikan. Pembacaan buku dimulai.

Gigerenzer memilih beberapa bagian buku untuk dibaca. Dia mengambil cerita tentang efektifitas heuristik-cepat-dan-ringkas itu. Ada kisah polisi di AS yang menggunakan intuisi untuk menangkap orang. Juga cerita peternak Jepang yang memakai intuisi untuk membedakan bayi-bayi ayam, apakah jantan atau betina. Bagaimana mereka melakukan itu? Baik polisi dan peternak itu menjawab “kami tidak tahu.“

Lalu kisah mahasiswa AS yang lebih sedikit prosentasenya memilih Detroit – dan bukannya Milwaukee, saat ditanya, kota mana berpenduduk lebih banyak. Sementara mahasiswa Jerman menjawab tepat dengan prosentase lebih tinggi, bahwa Detroit punya penduduk lebih banyak. Bukan karena mahasiswa Jerman tahu lebih banyak. Sebaliknya. Mereka justru tahu terlalu sedikit – banyak yang bahkan tidak pernah mendengar Milwaukee. Fenomena ini disebutnya recognition heuristic.

Tahu sedikit kerap lebih baik. Ignorance kadang bikin kita lebih pintar. Begitu pula bila kita cuma tahu setengah. Makanya, saran Gigerenzer, bila Anda berada dalam satu komisi yang berisi para ahli dan pakar, mintalah mereka untuk memberikan pendapat, usul atau solusi dalam jangka waktu yang singkat. Di sini, semakin singkat makin baik dalam membuat keputusan.

Kasusnya mirip andaikata Anda punya perusahaan, dan ingin merekrut karyawan. Melakukan banyak interview belum tentu lebih baik dibanding cuma beberapa kali wawancara.

Ia jelaskan pula, kapan heuristik ini tidak berfungsi. Misalnya ketika pilihannya tidak banyak. Atau rentang waktunya cuma pendek. “Kalau Anda merasa tidak yakin, buang informasi lain. Pakai intuisi,“ jelasnya.

Tentu, penggunaan rasio tetap berguna. “Bukan antara intuisi atau rasio, loh.“ Ia mengingatkan. Tetapi, “intusi dan rasio.“

Sekarang sesi tanya-jawab.

“Profesor, bagaimana Anda memilih makanan?“ tanya seorang dari belakang.

“Pertama, Anda tutup menunya“ kata dia, sambil menutup buku yang sebelumnya dia baca, seolah memegang menu makanan.

“Lalu tanya, ’Apa yang ada di [restoran] sini untuk dimakan?’“

“Jangan pernah tanya, ‘Apa saran Anda?’”.

Hadirin tertawa.

Jam 10 malam peluncuran buku itu selesai. Orang mulai meninggalkan toko buku. Saya menyempatkan diri, mendapatkan tanda tangannya di atas buku yang saya bawa.

“Ini bukan buku yang barusan Anda luncurkan, Profesor.“ Saya bergurau.

Dia tersenyum.

***

5 komentar:

prastowo mengatakan...

Bung Sony,
salam jumpa lagi. Hmm..tulisan ini menarik, infonya juga sangat menarik. Bounded rationality, apakah memang dekat dengan aliran NIE-nya Williamson? Saya sendiri awam dengan peta teori ekonomi kontemporer. Apakah bounded rationality dapat vis a vis dikatakan alternatif bagi homo oeconomicus, dan bagaimanakah kini pemetaan itu terjadi, antara katakanlah neoliberalisme dengan lawannya?
salam Bung.

pras

Anonim mengatakan...

Halo Pras,

saya agak kesulitan bila menggunakan kategori yang luas - seperti dilakukan Pras - ketika mencoba membahas pertanyaan Pras.

Neoliberalisme adalah ihwal yang luas. Dari fondasi mikro perilaku manusia sampai sistem makro alokasi sumberdaya, dicakup ihwal ini. Dus ada macam-macam.

Seorang Joseph Stiglitz yang kritis atas asumsi perilaku neoklasik, tetap dianggap sebagian kalangan sebagai ekonom neoliberal. Padahal Stiglitz tidak setuju dengan anggapan bahwa agen ekonomi punya informasi lengkap seperti dianggap ekonom neoklasik. Di banyak tempat, konsepsi manusia dalam neoliberalisme disebut-sebut berangkat dari asumsi neoklasik. Konsep Homo Ekonomikus juga lekat dengan ekonomi neoklasik.

Lantas bagaimana dengan Bounded Rationality? Ini merupakan kritik atas asumsi neoklasik yang seperti saya tulis di posting, mengganggap - antara lain - Pras dan saya punya informasi lengkap pun kapasitas komputasi sekelas komputer untuk menghitung untung-rugi (juga rate of return :) kalau kita kebingungan dihadapkan pada begitu beragamnya jenis odol gigi.

Para ekonom penganjur Institution Economics, adalah pengkritik asumsi neoklasik. Asumsi dalam profil manusia mereka, juga berangkat dari asumsi bahwa rasionalitas manusia itu terbatas.

Institusi ada, justru untuk mengatasi persoalan biaya transaksi yang dianggap nihil oleh ekonomi neoklasik.

Aliran ini juga luas. Anggota aliran juga banyak dan beragam. Tetapi ide besarnya mirip. Misalnya, turunnya produksi kedelai di Jawa, bisa antara lain dijelaskan oleh sistem bagi hasil-kerja yang tidak memberi insentif bagi petani untuk berproduksi. By the same token, semestinya tidak sulit untuk memahami alur pikir, mengapa reformasi agraria secara ekonomis mendorong peningkatan produksi pertanian.

Dalam ilmu ekonomi sendiri, terdapat berbagai macam aliran yang menggunakan pendekatan kelembagaan. Artikel Williamson di Journal of Economic Literature memberi tinjauan kepustakaan dan gambaran tentang itu. Kalau belum punya, Pras bisa mengirim alamat email ke saya, nanti saya kirim paper ini.

Bedanya IE yang dulu dengan IE yang baru (NIE), adalah yang baru (NIE) lebih tidak galak terhadap misalnya peran pasar dalam alokasi sumberdaya, meskipun masih tetap mengkritik asumsi dasar mikro perilaku manusianya neoklasik. Mereka yang disebelah kiri jalan, meminjam Soe Hok Gie, mengkritik Williamson, karena antara lain mengajukan kelembagaan non-pasar untuk mengatasi kegagalan pasar.

Untuk tinjauan perkembangan terbaru tentang evolusi Homo Ekonomikus, bisa merujuk tulisan dua behavioral economists yang terbit barusan di jurnal Science di
sini
(file PDF).

Masih terkait Homo Ekonomikus, tulisan Colin Camerer dan Ernst Fehr, keduanya juga behavioral economists garis depan, pun diterbitkan jurnal Science, bisa dilihat di
sini
(file PDF).

Saya mendiskusikan sebagian fondasi mikro tersebut dengan teman-teman ekonom Universitas Indonesia di
sini
dan
sini
.

Apabila pencarian Pras masih tetap seperti yang dulu (baca: embededness ekonomi ala Polanyi) memang lebih baik memperdalam ekonomi kelembagaan. Akan lebih baik, juga mendalami fondasi mikro perilaku agen ekonomi yang mendasari ekonomi kelembagaan. Literatur yang saya rujuk di atas, mungkin cukup untuk jadi titik awal.

Salam,
Sonny

Anonim mengatakan...

Halo bung Sonny,

Sebenarnya peran intuisi dalam mengambil keputusan telah dicetuskan oleh Isabel Briggs Myers. Pendapatnya tentang perbedaan proses kognitif dalam perbedaan gaya pengambilan keputusan menjadi perhatian psikologi, khususnya yg cenderung pada mazhab kognitif. Gigerenzer dalam hal ini mengembangkan peran intuisi dalam decision making dengan cukup detil.
Namun saya sepertinya harus mengusung prinsip relativitas Einstein jika bersentuhan dengan recognition heuristic. Prinsip 'tahu sedikit' ini lebih cenderung pada variabel luar/Zufallsvariabel. Hanya kebetulan saja, mahasiswa Jerman bisa menebak lebih baik.Jika diberikan pertanyaan lain seputar AS, maka kemungkinan mereka salah tentu jauh lebih besar dibandingkan mahasiswa AS.

Salam,
Shally

Anonim mengatakan...

Halo Shally,

terima kasih untuk tambahan informasinya. Saya akur dengan Shally: ada batas di mana recognizition heuristic tidak berfungsi maksimal (atau juga berfungsi maksimal). Gigerenzer juga awas dengan aspek ini.

Salam
Sonny

prastowo mengatakan...

Bung Sonny,
Terima kasih atas pencerahan yang cukup detail dan terang. Artikel dimaksud bisa Anda dikirm ke jpras07@gmail.com.

salam,

pras












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar