Sonny Mumbunan
Kompas, 28 Agustus, 2008
Seperti apa imajinasi tentang Indonesia dalam kepala rakyat di Sangihe, Talaud, dan Sitaro, bentang laut dengan ratusan pulau di utara itu? Serupakah ia dengan Indonesia dalam bayangan penentu kebijakan di Jakarta?
Sesungguhnya, sejarah mereka adalah sejarah ke utara. Sejumlah besar anak negeri itu tidak bersua muka dengan saudara mereka di selatan. Namun, mereka—setidaknya sampai kini—diikat oleh imaji yang sama tentang Indonesia, tentang kesebangsaan, meski cuma dalam satu komunitas yang terbayang, seperti disebut indonesianis, Benedict Anderson.
Senantiasa bersyarat
Imajinasi itu konstruksi sosial. Semoga kita tak khilaf, konstruksi ini buah persinggungan dengan dan secara hidup dibuat ranum oleh kenyataan sosial. Sebab itu, ia senantiasa bersyarat.
Sangihe, Talaud, dan Sitaro (Satas) punya profil khusus yang tak dipunyai banyak saudara kandungnya. Mereka gugusan kepulauan, terletak pula di perbatasan. Di luar rawan bencana dan terpencil, mereka pun tinggal dan miskin. Dalam meramu kebijakan, kondisi-kondisi struktural ini kunci dan penting menurut pendekatan institution economics, tetapi kerap diabaikan ilmu ekonomi positivistik.
Terdapat dua sisi ketidaknyambungan alias category mistake yang menjepit pengembangan Satas. Di satu sisi, sebagai konsekuensi desentralisasi neoliberal, negara yang tangan kasihnya dibutuhkan malah tak kunjung hadir. Satu contoh, absennya politik fiskal yang lebih aktif untuk memajukan infrastruktur dan kapasitas kawasan miskin terbelakang. Contoh lain yang tragis, kegiatan pendidikan dan pemajuan bahasa Sangir, satu bahasa utama setempat, berlangsung di selatan Filipina, bukan justru di Indonesia.
Di sisi lain, ruang-ruang ekonomi dan potensi keuntungan karena bertukar di antara pelaku di perbatasan malah disempitkan. Tangan negara yang tidak dikehendaki hadir di mana-mana. Pembatasan mobilitas barang di perbatasan dengan Filipina jadi janggal pada saat Zeitgeist yang dominan di Jakarta berikut di selusin Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (Kapet) justru adalah keutamaan liberalisasi perdagangan.
Ketidaknyambungan juga tecermin dalam kebijakan-kebijakan ekonomi-sosial lainnya. BBM dan BLT adalah yang mutakhir. Pencabutan subsidi BBM meningkatkan kemiskinan, sekurangnya dalam jangka pendek. Bantuan langsung tunai (BLT) sebesar Rp 100.000 per bulan dijadikan tali agar satu keluarga miskin tetap bisa diikat pada tingkat kemiskinannya seperti sebelum subsidi dicabut. Alih-alih menjadi pelipur lara bagi keluar- ga miskin, BLT mungkin tak sampai di pulau-pulau terpencil itu.
Bias kontinen
Ada dua catatan relevan. Pertama, dasar ”ilmiah” pencabutan subsidi BBM dan kaitannya dengan kemiskinan bersandar pada model ekonomi keseimbangan umum (computable general equilibrium). Dalam model buatan ekonom Jakarta itu, realitas kepulauan diabaikan. Kenyataan keterpencilan diperlakukan dengan kikir. Secara kategoris hanya ada Jawa dan luar Jawa. Miangas dan Marore ditempatkan sejajar dengan Medan dan Makassar.
Kedua, gagasan bantuan langsung seperti BLT—fondasi teoretisnya sendiri problematis, dikritik ekonom seperti Tibor Scitovsky (1941) dan Amartya Sen (1993)—disodorkan dengan harapan mampu mengompensasi penurunan kesejahteraan karena kenaikan harga secara umum. Kini harga minyak tanah meroket di SaTaS. Dikabarkan melampaui 100 persen dari harga eceran tertinggi versi pemerintah.
Kenaikan biaya transportasi tak kurang dramatis. Ini makin mengunci mobilitas warga kepulauan, menggenapi keterpencilan dan kian meningkatkan kemiskinan. Winsulangi Salindeho dan Pitres Sombowadile, penulis Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan (2008), menghardik kebijakan-kebijakan macam ini sebagai bias kontinen.
Ada faedahnya mengingatkan kembali, bayangan tentang Indonesia cuma konstruksi sosial. Pada 31 Agustus, 1933, satu dekade lebih sebelum RI berdiri merdeka, sekelompok orang muda di Lirung, Talaud, secara terbuka mengibarkan Merah Putih dalam arak-arakan perayaan resmi ulang tahun Ratu Belanda, Wilhelmina, di Talaud. Seraya menyanyikan ”Sioh, kasihan Indonesia”, lagu lokal kaum republiken. Karuan saja tiga pemimpinnya dijebloskan ke penjara Sukamiskin, Bandung.
Konstruksi sosial itu berubah- ubah. Pada sebuah sore di Mei dua tahun lalu, seorang petugas desa di Miangas, Talaud, yang mabuk digebuk kepala polsek sampai mampus. Ia dianiaya di depan banyak warga. Pada Pagi keesokan hari, masyarakat setempat menaikkan bendera Filipina. Ada 52 bendera waktu itu. Dikibarkan di atas tanah kita oleh tangan-tangan yang geram.
Untuk Jakarta yang pelupa isi pesan ini tak main-main: persatuan Indonesia itu ringkih. Ia perlu dirawat dengan baik. Sebaik saudara-saudara kita di utara merawat pohon pala dan perahu mereka.
Penulis, Kandidat Doktor Ilmu Ekonomi, Universitas Leipzig, Jerman.
***
Catatan: Keterangan tentang aksi pengibaran bendera di Lirung, 1933, diambil dari Salindeho dan Sombowadile (2008) dalam buku mereka Daerah Perbatasan, Keterbatasan, Pembatasan, bab 3.
2 komentar:
Sony,
Tulisan refleksi yang menggugah tentang ke-Indonesia-an...
Thanks, Dendi. Mudah-mudahan sehat selalu menjelang musim gugur. Sukses dengan risetnya.
- S
Posting Komentar