14 Oktober, 2008

Aliansi Mawar Putih menolak RUU anti pornografi

Saya suka iklan penolakan Rancangan Undang Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi (RUU APP) yang dikeluarkan Aliansi Mawar Putih.

Iklan puitis, cantik, mudah ditangkap, sekaligus menohok. Iklan yang punya kecerdasan agitasi. Dipasang di berbagai media massa, kabarnya iklan itu dibiayai secara gotong royong oleh ribuan orang.

Nama mawar putih mengingatkan saya pada sekelompok mahasiswa di Jerman, awal 1940an. Didorong rasa kemanusiaan, mereka melawan fasisme Hitler dan Partai Nazi. Berjuang di bawah tanah, kelompok itu menamakan dirinya "Weisse Rose" alias mawar putih. Ada gadis luar biasa disitu. Seorang mahasiswi kedokteran yang manis. Sophie Scholl namanya. Semua anggota kelompok ini akhirnya ditangkap. Sebagian besar dipancung kepalanya.

Saya takjub, ada banyak orang di Indonesia melawan fasisme, yang mengendap-ngendap masuk lewat pintu moral RUU APP. Iklan itu mirip selebaran yang dihamburkan tangan-tangan mungil Sophie Scholl dari lantai atas gedung Universitas Munich.

"Kita akan berjumpa dalam keabadian," kata Sophie pada ibunya, sebelum kepalanya menggelinding di meja pancung.


***

KAMI MENOLAK RUU APP

Indonesia adalah taman bunga peradaban.
Di dalamnya mekar beragam tradisi.

Indonesia adalah pelangi kebudayaan.
Di dalamnya berpendar beragam adat.

Indonesia adalah lahan subur kesenian.
Di dalamnya tumbuh beragam kreasi.

Indonesia adalah ruang semua agama.
Di dalamnya bergema beragam doa.

Kini, keragaman itu sedang terancam oleh RUU APP.
Rancangan Undang-Undang Anti Pornografi dan Pornoaksi melarang kita menikmati kekayaan budaya kita.

Kita dilarang berpakaian menurut adat kita.
Kita dilarang mengungkapkan kasih sayang pada orang yang kita cintai.
Kita dilarang mengekspresikan keindahan tubuh dan tari-tarian kita.
Kita dilarang mengungkapkan kekayaan seni dan sastra kita.
Kita dilarang untuk menjadi diri kita sendiri.

RUU APP bukan melarang pornografi,
melainkan membenci tubuh manusia,
mendiskriminasi kaum perempuan.

RUU APP terlalu jauh memasuki wilayah pribadi manusia,
yaitu tempat setiap orang memelihara keunikannya.

Setiap orang memiliki ukuran moral yang berbeda.
Setiap orang memiliki persepsi sensualitas yang berbeda.
Setiap orang memiliki daya imajinasi yang berbeda.

Tentu, kita ingin lindungi anak-anak kita. Karena itu pornografi sudah diatur dalam undang-undang tentang perlindungan anak.

Tentu, kita ingin media massa tumbuh sebagai alat komunikasi yang santun dan cerdas. Karena itu masalah pornografi sudah diatur dalam undang-undang tentang penyiaran.

Bahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah jelas mengatur masalah pelanggaran kesusilaan.

Jadi, Cukup!

Jangan merusak keragaman Indonesia dengan RUU APP yang keliru itu.

Indonesia adalah keragaman untuk semua.
Indonesia adalah kebebasan untuk semua.
Indonesia adalah kesetaraan untuk semua.
Indonesia adalah kedamaian untuk semua.


- ALIANSI MAWAR PUTIH

***

3 komentar:

Anonim mengatakan...

bung Son, Indonesian itu banyak yang yg konservatif dan fundamentalis. hargailah prosentasi yang besar itu. hargailah mayoritas. kalau tidak bisa dirubah, tinggalkan saja negara itu. berkarya dan tinggallah di negara yang menerima kebebasan dan keinginan anda.

Anonim mengatakan...

Bung Anonim,

saya kira, di situ letak dilema demokrasi. Utamanya, terkait apa yang Anda sebut sebagai mayoritas.

Ketika rasisme menjadi mayoritas, dengan mekanisme demokratis, rasisme lah yang menang. Usul Anda untuk "menghargai yang mayoritas", menjadi problematis di sini.

Hitler naik ke kekuasaan dengan menang pemilu. Saya khawatir, sekedar menyebut satu contoh, bila diadakan survey, maka orang Arab (sebagai proxy atas agama tertentu) bisa jadi bulan-bulanan kaum konservatif dan fundamentalis kristen di AS. (Meski mengikut Kristus, saya berbeda pendapat dan menolak keras kelompok kristen macam ini.)

Akan ada baiknya, bila kategori mayoritas itu, dalam hemat saya, tidak dikenakan untuk hal-hal mendasar, semacam HAM, di arena yang kita sebut ruang publik. Ekspresi agama tertentu tidak mesti menghambat, atau membatasi, ekspresi agama atau kelompok lain, dalam ruang publik.

Tentu, ideal itu tidak pernah jatuh dari langit. Ia diperjuangkan, dan sekali direngguh, mesti dirawat sebaik mungkin. Barangkali karena itu, saya kurang tertarik mengikuti saran Anda untuk tinggal diluar negeri. Saya mau jadi bagian dari mereka yang melawan anasir-anasir fasistik di tanah air, dalam topeng agama atau idiologi apapun. Melawan pihak-pihak yang merasa benar sendiri, dan - menggunakan aparatus negara seperti kaum fasis - memaksakan kebenaran itu atas orang dan kelompok lain dalam ruang publik yang semestinya dinikmati bersama.

Di luar itu, Indonesia itu bukan cuma tegak oleh kaum A atau B. Indonesia bisa merdeka karena kerja banyak orang: A, B, C, ..., Z. Si A, atau B, atau C, tidak punya hak lebih dibanding yang lain, dalam konteks ini, sebagaimana Anda(atau siapa saja, bahkan yang mayoritas pun) tidak punya hak lebih besar atau lebih kecil ketimbang saya (atau siapapun yang minoritas, termasuk mereka yang menentang RUU APP) untuk tinggal di Indonesia.

Roelus Hartawan mengatakan...

Bung anonim itu alasannya tidak rasional. Apa benar mayoritas masyarakat Indonesia itu konservatif dan fundamentalis. Apa dasarnya? Apa pernah ada survei tentang itu? Jika benar mayoritas penduduk Indonesia itu fundamentalis, pastinya partai nasionalis tidak akan bisa hidup disini. Dan semua orang menuntut referendum untuk mengganti UUD 45 menjadi hukum Islam. Kalau mayoritas masyarakat Indonesia itu konservatif, tidak akan ada perempuan yang tidak memakai hijab dan cadar. Dia mungkin berkhayal kalau Indonesia itu konservatif dan fundamentalis. Atau mengkhayalkan Indonesia yang fundamentalis.
Permintaan untuk menghargai yang mayoritas juga mengesankan arogansi. Keadilan tidak bisa ditegakkan tanpa perlindungan terhadap kelompok minoritas. Kalau mayoritas absolut yang dia usung, berarti presiden Indonesia itu harusnya muslim, orang jawa, perempuan dan masih muda. karena dalam komposisi penduduk merekalah yang mayoritas.
Nyatanya kaum fundamentalislah yang minoritas disini. Kalau tidak bisa merubah Indonesia menjadi fundamentalis dan konservatif, mungkin ada baiknya dia pindah saja ke Afganistan. Mudah-mudahan saja rezim Taliban berkuasa lagi disana.












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar