Akhirnya saya ke Munich. Setelah bertahun-tahun tinggal di Jerman, baru kali ini saya berketetapan hati mengunjungi ibu kota negara bagian Bavaria ini.
Saya mengunjungi sahabat karib saya, Christian. Saya di Munich untuk beberapa hari, sampai awal Desember. Kami pernah sama-sama kuliah di Martin-Luther-Universitaet Halle-Wittenberg, mengambil program master ekonomi empirik.
Sekarang ia meneliti di ifo, Institut für Wirtschaftsforschung, Munich, salah satu institut riset ekonomi terpenting di Jerman. Di institut itu ia menaksir kecenderungan penerimaan pajak di Jerman.
Di Munich kebanyakan orang bicara dengan dialek bayrisch. Dialek yang terdengar agak ganjil di kuping saya. Di tempat saya tinggal, di Leipzig, orang berdialek saechsisch. Dialek yang disebut belakangan ini tak kurang aneh pula. Mendengarnya, ibarat mendengar orang bicara dengan mulut penuh salat kentang.
Kami pergi ke pasar natal di pusat kota. Munich punya pasar natal terbesar di Jerman. Namanya Christkindlmarkt. Tradisi pasar ini sudah dimulai sejak pertengahan abad ke-18. Di pasar itu dibangun rumah-rumah kayu kecil untuk berjualan. Rumah-rumah itu dicat cokelat atau krem tua. Hiasan lampu-lampu natal juga unjuk kecantikan, berpendar di atas jalan dan di pohon, atau menjulur di dinding gedung. Orang-orang bicara keras dan tertawa lepas. Gaduh dan ramai benar.
Di sana, seraya meneguk Gluehwein, anggur hangat, Christian cerita panjang lebar tentang ekonomi Keynesian. Pemikiran ekonomi yang diperas dari gagasan-gagasan ekonom Inggris, John Maynard Keynes. Mendengarnya bicara, saya acap cuma mengangguk, sambil makan sosis, dan satu dua kali memerhatikan warga kota yang meluncur di atas arena ski es.
Saat tengah malam tiba, kami mengunjungi teater kecil di jalan Fraunhofer. Tempat para bohemian nongkrong. Teater berkursi sekitar 40an itu memutar film-film alternatif. Saya nonton film tentang masyarakat Jerman, ketika didera depresi ekonomi tahun 1930. Saya sempat tertidur sekejap saat film diputar - agaknya, gara-gara kecapaian menyusuri kota sepanjang hari. Ada pula restoran di lokasi teater. Satu pelayannya seorang gadis Jerman yang sangat ramah. Dan cantik. Gadis ini bikin topik kami langsung bergeser dari Keynes.
Berkali-kali Munich diguyur hujan. Jadi sedikit tak bebas saya menikmati kota.
Walau menikmati kota, sekali waktu saya dihinggap rasa sendiri. Apalagi kalau bukan lantaran ingat pacar yang jauh di tanah air. Saat singgah di toko buku Hugendubel, di Marienplatz, dan hari telah gelap, saya menulis baris-baris berikut di secarik tissue.
Kita bersua di lantai empat.
Membukabuka buku,
menandas cokelat hangat.Di kaca jendela, tidur menara balaikota.
Dipeluk gelap diremas dingin,
dicium pendar lelampu natal.Cyanthi, dan bola airmata itu diam-diam bocor.
Menetes menghantam buku.-- München, 1 Des 2008
Sebelum kembali ke Leipzig, saya sempatkan diri mampir di galeri Pinakothek der Moderne. Sebuah galeri seni yang berkesan, dengan rupa-rupa pameran yang bikin puas. “Sehr empfehlenswert!” kata seorang penjual buah tak jauh dari galeri, yang menunjuk jalan pada saya.
Saat gelap baru saja hendak menyergap kota Munich, kereta api ICE yang saya tumpangi telah melesat menuju Leipzig.
***
2 komentar:
S,ich vermiesse dich auuuuch..
(^_^)C
Setelah dicampakkan oleh "Laissez faire" diakhir abd 20, Keynes bangkit lagi. Seperti juga Marx kembali mendapat momentum, dibuka lagi, dan kitapun berdecak, barangkali dia banyak benarnya.
Begitulah sejarah berulang. Yang dahulu dicampakkan sekarang dipuja. Yang dahulu dilupakan, sekarang dirindukan. Kali ini kita sadar bahwa dia benar-benar cantik, setelah kita menjauh darinya. Moment yang galau ini, bikin kita mengerti setiap detail ucapannya bahkan sampai aroma napasnya ingin kita hadirkan saat ini juga, ditengah ekspektasi suram dunia kita.
Saat dimana daun-daun lepas dari cabang dan suhu begitu mengigit. Kerinduan ini tidak tertahan lagi. Tanpa disadari, bola airmata itu diam-diam tumpah membocori sejarah, sejarah penuh luka.
OT
Posting Komentar