Kabut menutupi bukit saat kami tiba di Wartburg. Hujan turun rintik-rintik. Dan angin bertiup sedikit kencang di musim panas yang basah.
Wartburg adalah sebuah kastil tua. Dibangun tahun 1080 oleh Ludwig der Springer, letaknya di Eisenach, di Jerman bagian tengah. Kastil Wartburg tegak di puncak bukit dan dikelilingi hutan Thuringia. Wartburg berdiri di atas lanskap yang menawan. Melihat kastil ini rasanya seperti dalam film saja. Wartburg sendiri berarti “tunggu (gunung), semestinya kau jadi kastilku“. Kalimat ini meluncur dari mulut Ludwig yang terpukau dengan lanskap itu. Dalam bahasa Jerman, “tunggu“ dan “kastil“ adalah “warten“ dan “burg“.
Sejak tahun 1999, Wartburg jadi World Heritage oleh UNESCO, badan PBB yang mengurusi kebudayaan, sains, dan kultur.
Saya mengunjungi Wartburg bersama empat orang sahabat. Fadjar, antropolog LIPI, bersama istrinya, Savitri, seorang peminat sejarah dan kultur; Derry, mahasiswa kedokteran di Universitas Halle-Wittenberg, dan Farid, dosen filsafat Universitas Gajah Mada. Kami berlima menyewa mobil untuk sampai di sana. Saat mengajak mereka, saya sengaja tutup mulut soal puncak Wartburg yang tak sepenuhnya dapat dicapai dengan mobil – harus mendaki sedikit. Ini kali kedua saya mengunjungi Wartburg; sebelumnya di awal tahun 2005 yang dingin beku penuh salju.
Kastil Wartburg beririsan dengan banyak sejarah Jerman. Salah satu irisan terpenting adalah dengan Martin Luther, bapak Protestanisme dan peletak dasar bahasa Jerman modern.
Luther pernah bikin jengkel banyak orang. Meminjam istilah yang sempat populer di tanah air: Luther itu “provokator“. Apalagi kalau bukan 95 butir tesisnya yang melancarkan kritik atas praktek kekristenan masa itu. Saat itu, pada awal tahun 1500-an, dengan sejumlah uang para pendosa dapat membeli surat pengampunan dosa dari gereja. Uang hasil “transaksi dosa“ itu digunakan untuk membangun gedung gereja yang megah. Dosa ditukar dengan uang. Luther protes.
Tulis Luther satu waktu, “Sejurus keping-keping uang bergemerincing di koper, jiwa di neraka bangkit.“ Wenn das Geld im Kasten klingt, die Seele aus dem Fegefeuer springt.
Gara-gara tesis yang disebarluaskan pertama kali di Wittenberg, ajaran Luther mendapat fatwa “sesat“. Ia ditendang keluar dari gereja. Ia tak boleh memberikan kuliah (Luther adalah profesor di Universitas Wittenberg, tempat Derry belajar kedokteran saat ini). Tulisan dan karya Luther dibakar.
Luther juga dilarang oleh pihak berwajib, Kaisar Reichstag. Barangsiapa mendukung Luther, memberikan bantuan, atau membaca dan mengedarkan karya Luther, akan ditangkap. Mirip larangan di Indonesia kalau baca Karl Marx, “provokator“ Jerman lainnya. Kaisar – yang bersekongkol dengan pihak gereja – bahkan mengiming-imingi hadiah bagi mereka yang bisa menangkap dan menyerahkan Luther.
Luther bergeming. Tapi kondisi saat itu terlalu berbahaya bagi dirinya.
Pada sebuah malam di bulan Mei 1521, dalam perjalanan yang panjang menuju rumah, ia diculik di sekitar Eisenach. Diculik oleh pasukan Friedrich der Weise, pangeran dari Sachsen. Tak serupa dengan Tim Mawar yang menculik para aktivis demokrasi penentang Suharto, pasukan khusus yang diperintah Friedrich sebaliknya justru hendak melindungi Luther. Pasukan Friedrich lalu membawa Luther ke kastil Wartburg. Kastil kokoh di puncak bukit itu.
Waktu kecil, saya selalu menganggap Alkitab dibawa ke bumi oleh malaikat dari langit. Dan di punggung malaikat berjubah putih itu terpasang lampu neon. Saat terbang, jubah para malaikat dikibas angin dan di belakang mereka berpendar cahaya terang. Di kampung saya, di Minahasa, sebagian besar warga menganut Kristen Protestan dalam tradisi Luther. Kekristenan masuk tanah Minahasa oleh para misionaris Jerman.
Menyusuri jejak Luther, rupanya perihal Alkitab lebih ruwet ketimbang fantasi kanak-kanak macam itu.
Di Wartburg, Luther menulis dan berkarya. Ia terjemahkan kitab Perjanjian Baru dari bahasa Latin ke dalam bahasa Jerman. Terjemahan itu ia lakukan dalam tempo relatif singkat – hanya 10 minggu. Di tempat yang tak diketahui siapa-siapa itu, ia gunakan nama samaran “Junker Joerg“, supaya tak dikenal. Luther juga menelurkan belasan teks teologis lain.
Sebelum terjemahan Luther itu, Alkitab ditulis dalam bahasa Jerman yang rumit. Petani dan warga tak mampu paham isi apalagi maksud Alkitab. Luther memilih kata-kata terjemahan yang lugas dan sehari-hari. Kosakata yang sarat imajinasi petani.
Di kastil Wartburg, kerja menulis dan terjemahan Alktitab dilakukan Luther pada sebuah ruang yang dilengkapi tungku pemanas. Tungku warna hijau. Ruang itu tak terlalu luas dan berdinding kayu. Cahaya menerobos jendela di sisi kiri pintu masuk. Selain kursi, terdapat satu meja kayu kecil di situ, sekitar 1 x 1,5 meter. Orang bilang itu ruang Luther alias Lutherstube.
“Bayangkan, di ruangan berdebu begini, ia (Luther) bisa berkarya produktif,“ kata Farid, dengan mimik serius. Telunjuknya mengarah meja itu sementara matanya menyasar saya, penuh arti.
“Iyalah, Pak,“ kata saya. “Kalau waktu itu udah ada Facebook, pastilah Luther ngga seproduktif gitu. Palingan banyak waktunya juga habis di depan laptop.“
Saya tak kuasa menahan tawa. Farid yang hendak serius jadi tertawa. Fadjar yang sibuk memotret, ikut tertawa. Kami tertawa kecil – khawatir mengganggu pengunjung yang lain.
Mendengar celoteh kami, Profesor Doktor Martin Luther yang konon gemar bercanda itu barangkali bakal tertawa pula.***
- Wartburg, 6 Juni 2009.
Baca juga Natal bersama Martin Luther
4 komentar:
Ketika saya teringat Martin Luther, teringat saya pada suatu kisah perlawanan - atau pemberontakan, tergantung versi siapa - yang demikian luar biasa sehingga menyebabkan Bismarck berabad kemudian memilih Kleindeutsch daripada Grossdeutsch.
Terima kasih, Mas Nano. Sudah berkenan mampir, mengunjungi blog saya.
Diluar "pilihan" Kleindeutsch itu, Bismarck akan senantiasa dikenang terkait sebuah sejarah kelam peradaban manusia.
- S
Sonny,
Saya bisa download foto ini? Salam
Maddi,
dengan senang hati. Jangan lupa nama sahabatmu yang memotret gambar ini, ditulis :)
- S
Posting Komentar