27 Januari, 2008

Diktator Suharto jadi pahlawan?

Suharto meninggal hari ini. 27 Januari 2008.

Ini jam 9 pagi, waktu Jerman. Atau sekitar 2 jam sejak Suharto meninggal. Saya mencari berita di internet. Kompas Cyber Media begitu susah diakses. Berkali-kali saya hanya mendapatkan konfirmasi “koneksi ke database gagal!”. Sempat satu kali halaman muka terbuka, dan secara sebentar terbaca salah satu kepala berita, soal status kepahlawanan Suharto.

Saya lalu mencari informasi dari media lain yang saya andalkan jurnalismenya. Spiegel online, milik mingguan Der Spiegel Jerman. Lalu, situs New York Times.

Di halaman muka, Spiegel Online menulis rangkuman beritanya begini.

DIKTATOR SUHARTO MENINGGAL

Selama beberapa dekade, Suharto memerintah Indonesia dengan tangan besi dan membawa negerinya menjadi modern. Ribuan orang yang menentang dan yang berpendapat berbeda, dibunuh selama kediktatoran Suharto ...

(Diktator Suharto ist tot. Jahrzehntelang regierte er Indonesien mit eiserner Hand und führte das Land in die Moderne. Tausende Missliebige und Andersdenkende wurden während seiner Gewaltherrschaft getötet). Selengkapnya


Sementara, New York Times, dalam berita yang ditulis Marilyn Berger, menulis demikian.

SUHARTO, MANTAN DIKTATOR INDONESIA, MENINGGAL PADA USIA 86 TAHUN

Suhartonya Indonesia, yang 32 tahun kediktatorannya merupakan salah satu yang paling brutal dan korup dalam sejarah abad 20, meninggal hari Minggu di Jakarta ...


(Suharto, Former Indonesian Dictator, Dies at 86. Suharto of Indonesia, whose 32-year dictatorship was one of the most brutal and corrupt of the 20th century, died Sunday in Jakarta). Selengkapnya


Jasa mantan presiden Suharto adalah antara lain membawa Indonesia pada kemakmuran relatif. Relatif atas negara-negara lain yang sepadan dibandingkan dengan Indonesia. Atau, relatif dibanding masa pemerintahan Sukarno.

Di bawah Bapak Pembangunan Suharto, pertumbuhan ekonomi berlangsung. Perluasan infrastruktur, akses atas pendidikan dan kesehatan, antara lain, juga membaik. Ini kita tahu. Dan ada begitu banyak orang di Indonesia tahu tentang dan merasakan hal ini.




Seorang pengemis memandikan anak-anaknya di salah satu sungai tercemar di Indonesia.
Foto: James Nachtwey (1998).


Di sisi lain, kejahatan kemanusiaan, politik dan ekonomi yang berlangsung sejak ia mengambil alih kekuasaan tahun 1966, juga tidak kalah brutal.

Seperti terlihat dalam berita-berita yang saya kutip di atas, kediktatoran Suharto adalah nyata di mata pengamat di luar Indonesia dan segelintir warga Indonesia. Dibanding jasanya, hal-hal demikian tidak diketahui banyak orang. Di tanah air, tidak banyak yang tahu soal-soal seperti ini.

Mengapa Suharto yang sama bisa dilihat secara berbeda, kalau bukan bertolak belakang?

Saya tertarik menjawab pertanyaan ini dengan mengaitkannya secara lebih spesifik pada pandangan kalangan terdidik Indonesia, dan bagaimana mereka melihat demokrasi.

Di kalangan ini, tidak banyak yang bisa dengan jernih membedakan dua pokok bertolakbelakang di atas. Hal ini tampak saat pemberitaan sakit Suharto mengemuka. Juga terlihat ketika orang bicara pengampunan atau pemberhentian kasus Suharto karena alasan kemanusiaan.

Kaum terdidik Indonesia adalah kaum yang relatif gagap bicara nilai-nilai demokrasi. Termasuk, untuk nilai-nilai demokrasi yang paling sederhana sekalipun, semisal kebebasan berpendapat dan berkeyakinan. Atau, tentang batas mana milik publik mana privat.

Sekedar contoh. Secara acak, kita menemukan kasus-kasus seperti seorang “doktor” yang memimpin pembakaran buku atau para “peneliti” yang menjalankan riset pesanan perusahaan besar untuk menentang klaim publik atas sumberdaya masyarakat. Riset juga menunjukkan, semakin tinggi tingkat pendidikan, semakin korup pejabat di Indonesia.

Dibawah kediktatoran yang berlangsung lama, kaum terdidik juga terbentuk dan tumbuh dengan "nilai-nilai demokrasi" yang korup.

Dapat dimengerti ikutannya, mengapa tidak sedikit kaum terdidik Indonesia punya iman demokrasi yang tipis. Ini adalah salah satu warisan Suharto yang juga tak kalah penting. Warisan yang berpotensi menjadi mata air bagi primordialisme dan fasisme di Indonesia.

Sebagai keterangan, primordialisme, dalam arti negatifnya, memandang - misalnya nilai, pandangan, agama, suku - pihak lain di luar kelompok bersangkutan, secara subjektif atau tidak adil. Sementara, fasisme tidak toleran terhadap perbedaan pandangan, keyakinan, praktek budaya, dan sebagainya. Di bawah fasisme, ketidaktoleran dilembagakan dan didukung kekuasaan negara.

Kembali ke soal kaum sekolahan di atas. Semestinya tidak menjadi hal yang mengherankan, mengapa diskusi tentang Suharto di Indonesia mengambil bentuk dan tampilan seperti sekarang ini. Ide memberikan gelar pahlawan pada sosok dengan rekam jejak kejahatan kemanusiaan, ekonomi dan politik seperti Suharto, sulit ditemukan dalam negara dengan tradisi demokrasi yang kuat.

Perihal kemanusiaan adalah jernih seperti kristal. Adalah keliru, dalam kasus Suharto, memperlakukan dan menimbang-nimbang jasa dan kejahatan kemanusiaan secara bersamaan dan setara. Sebagai warga negara, saya tidak setuju gelar pahlawan diberikan pada Suharto.

Barangkali, seperti mayoritas orang Jerman yang tak akan pernah setuju, apabila Hitler diberi gelar pahlawan, hanya karena dia memajukan industri Jerman dan menciptakan lapangan kerja luas saat berkuasa.

***

Penulis aktif dalam gerakan mahasiswa pada masa transisi demokrasi Indonesia paska 1998. Tahun 2007, ia dituntut oleh Pemerintah Kabupaten Minahasa Utara dan Bupati Minut dalam upayanya membongkar korupsi. Saat ini adalah Heinrich Boell Fellow, menulis disertasi ilmu ekonomi pada sebuah lembaga riset lingkungan hidup di Jerman.


UPDATES: Analisa tentang Suharto

  • Suharto: A career soldier who commanded the country. Oleh John Roosa di Inside Indonesia.
  • The "Kemusuk Thug" is finally dead. Oleh Andreas Harsono. Sini.




***

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Nama John Roosa yang benar adalah "John Roosa", bukan "John Rossa" seperti yang tertulis di posting ini..

Salam dari Halle,
- F

Anonim mengatakan...

Danke.
Sudah saya koreksi.

Salam juga dari Leipzig.

Unknown mengatakan...

Tulisan cerdas dan jujur setelah kurang lebih seminggu ini kita disugukan dengan berita dan tontonan yang mengagungkan Suharto layaknya "Pahlawan".

Salam hangat,

Royke Bagalatu

Anonim mengatakan...

Thanks Royke.

Salam
- S












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar