03 Februari, 2008

Indonesia urutan buntut di EPI 2008

Environmental Performance Index (EPI) tahun 2008 diluncurkan. Dan prestasi Indonesia lumayan buruk. Dengan skor 66 poin prosentase, Indonesia berada pada peringkat 102 dari 149 negara yang dinilai.

Dibanding negara tetangga, Indonesia relatif tertinggal. Malaysia misalnya berada pada peringkat 27 (skor=84). Sementara Thailand di posisi 53 (skor=79).

Peringkat terbaik tahun ini ditempati Swiss, dengan skor 95.5 poin. Lalu, diikuti oleh negara-negara Skandinavia seperti Norwegia, Swedia dan Finlandia. Yang menarik adalah Kosta Rika. Negara kecil di Amerika Latin ini menempati posisi ke-5.

Bagaimana membaca EPI?

EPI merupakan indeks yang disusun berdasarkan sekumpulan data terkait perlindungan lingkungan hidup dan keberlanjutan global, global sustainability.

Ada dua Fokus dari EPI. Pertama, mengurangi tekanan lingkungan atas kesehatan manusia. Kedua, memajukan vitalitas ekosistem dan pengelolaan sumberdaya alam yang tepat.

Secara metodologi, rancangan EPI berkait dengan upaya pencapaian Millenium Development Goals (MDGs), khususnya environmental sustainability. MDG adalah program yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa Bangsa dan berisi target pembangunan yang harus dicapai.

Membaca indeks EPI bisa dengan contoh berikut. Katakanlah skor sebuah negara untuk kategori kebijakan X adalah 70 persen. Artinya, secara kuantitatif kebijakan negara tersebut untuk kategori kebijakan dimaksud, telah mencapai 70 persen target MDG.

Meski Indonesia secara keseluruhan masih buruk, terdapat beberapa kategori kebijakan di mana negara kita membukukan skor yang baik. Misalnya, kebijakan dampak polusi udara atas ekosistem, efek polusi lingkungan atas penyakit, dan polusi air atas ekosistem.

Hampir 100 persen target untuk kategori-kategori kebijakan yang disebut di atas telah tercapai. Akan tetapi, misalnya untuk kategori kebijakan memperlambat laju perubahan iklim, pencapaian Indonesia belum sampai 60 persen.

Lebih detail tentang country scores, kategori kebijakan, dan indikator untuk Indonesia dapat dilihat di sini. Laporan EPI 2008 secara lengkap dapat dibaca di sini.


Kritik atas index ini


EPI bukan tanpa kritik. Menurut Helmholtz Center for Environmental Research (UFZ) Leipzig, Jerman, salah satu lembaga riset lingkungan hidup terbesar dan penting di Eropa, EPI 2008 punya kelemahan. Antara lain.

  • Tidak melakukan pembedaan metodologis yang sesuai. Misalnya, perbedaan antara negara industri maju dan negara berkembang, atau juga perbedaan antar benua. Afrika dengan Eropa contohnya .
  • Pembobotan (weight) menguntungkan negara maju. Misalnya, untuk indikator penyakit yang disebabkan polusi lingkungan, pembobotan dalam EPI adalah tinggi. Negara maju, dengan dana besar yang tersedia, tentu memiliki kemampuan lebih besar dalam aspek ini. Tak heran, dengan bobot yang tinggi, negara maju punya indeks relatif lebih tinggi. Bandingkan misalnya dengan indikator penggunaan energi dan sumberdaya. EPI 2008 memberikan pembobotan yang rendah untuk indikator ini. Padahal, negara-negara maju adalah pengguna energi terbesar dan merupakan bagian dari masalah global sustainability.
  • EPI 2008 memiliki persoalan legitimasi. Terkait dengan Proximity-to-Target dalam metodologi EPI ini, sebagian indikator tidak berdasarkan pada target kebijakan hasil proses politik di negeri bersangkutan. Melainkan, target tersebut ditentukan oleh pendapat para ahli.
  • Telah ada instrumen yang lebih cocok dibanding EPI. Untuk negara-negara yang belum memiliki sistem monitoring, EPI tentu bisa menjadi orientasi yang baik untuk pembuatan kebijakan lingkungan. Sementara, bagi negara-negara seperti Uni Eropa, EPI kurang cocok. Uni Eropa sendiri telah memiliki instrumen yang lebih cocok dan lebih tepat dibanding EPI.
Selengkapnya, siaran pers UFZ di atas dapat dibaca di sini. (Dalam bahasa Jerman).


***

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Sonny,
Penghitungan angka index memang selalu kontroversi dalam menentukan bobot indikator-indikatornya. Pembobotan suatu indikator kadang tidak jelas dasar teoritisnya, juga ketika diambil cara simple average.

Kebetulan saya bekerja menggunakan dan menghitung index, tapi tentang corporate governance index (CGI). Penghitungan CGI juga punya kritik yang sama dengan EPI. Kita bisa menggunakan teknik Explanatory Factor Analysis atau Confirmatory Factor Analysis. Ini ada beberapa referensi penting tentang topik ini. Khusus tentang bagaimana menghitung bobot secara obyektif bisa dilihat di Latin (2003).

Bollen, Kenneth (1980). Issues in the Comparative Measurement of Political Democracy. American Sociological Review 45, 370-390.

Joreskog, K.G., (1967). "Some Contributions to Maximum Likelihood Factor Analysis". Psychometrika 34, 183-202

Joreskog, K.G., (1969). "A General Approach to Confirmatory Factor Analysis". Psychometrika 36, 409-426

Lattin, James, J. Douglas Carroll and Paul E. Green (2003), Analyzing Multivariate Data. Thompson, London.

Wang, Mo and Russel, Steven S. (2005)."Measuement Equivalence of the Job Desciption Index Across Chinese and American Worker: Resukts from Confirmatory Factor Analysis and Item response Theory". Educational and Psychological Measurement 65, 709-732

Pollak, E., S. Von Mackensen, M Bullinger and the Haemo-QOL Group. (2006). “The Haemo-QoL Index: developing a Short Measure for Health-Related Quality of Life Assessment in Children and Adolescents with Haemophilia.” Haemophilia 12, 384–392

Seldadyo, Harry, Emmanuel Pandu Nugroho and Jakob de Haan (2007). "Governance and Growth Revisited". Kyklos 60, 279-290

Wu, Fang, Rudolf R Sinkovics, S Tamer Cavusgil and Anthony S Roath (2007). “Overcoming Export Manufacturers’ Dilemma in International Expansion”, Journal of International Business Studies 38, 283–302.

Anonim mengatakan...

Terima kasih Dendi untuk tambahan informasinya. Pembobotan EPI memang mengandung persoalan metodologis, antara lain, seperti tampak dalam bias posisi negara maju.

Thanks juga untuk daftar literaturnya. Ini sangat membantu.

Riset saya bakal menggunakan Ecological Index (EI), tapi yang sangat sederhana, termasuk pembobotannya. Ini mengacu pada pengalaman Brazil dalam konservasi air, satu-satunya negara di dunia yang menjalankan inovasi sosial ini.

EI itu akan saya gunakan untuk menghitung semacam "Dana Alokasi Ekologis" di salah satu Daerah Aliran Sungai (DAS) di utara Sulawesi.

Saya masih ada sedikit persoalan. Yakni, bagaimana dengan EI saya bisa mengukur efek "keadilan distributif" dari dana alokasi ekologis tersebut. Di Daerah Aliran Sungai (DAS) Tondano yang saya teliti, significant chunk dari proporsi penduduknya dikategorikan miskin. "Tipikal" poverty-conservation problem.

Pertanyaan teknis secara metodologis: bagaimana mengintegrasikan efek kemiskinan dalam EI tersebut? bagaimana membedakan efek indikator kemiskinan di DAU dan di EI yang saya ajukan?

Seperti disebut di atas, ada sedikit persoalan di sini: DAU kita sudah mengakomodasi kemiskinan sebagai indikator. Sementara, belum jelas efek fiskal DAU berkait alokasi kemiskinan, kalaupun ada, atas fungsi-fungsi publik yang ekologis, seperti konservasi air. DAU kita belum pula eksplisit dalam fungsi ekologisnya. Saya berusaha melakukan inkorporasi aspek ekologis ke dalam sistem transfer fiskal kita. Supaya, berikut-berikut, misalnya, Gubernur DKI dan Gubernur Jabar tidak lagi bertengkar soal siapa yang mesti bayar biaya konservasi air agar Jakarta tidak kebanjiran :-)

Terdapat perkembangan menarik: Depkeu sementara membahas kemungkinan memberikan Pajak Pertambahan Nilai (VAT) kepada daerah. Selama ini, pajak tersebut masih nongkrong di pusat. Sedikit aja dana dari VAT itu untuk konservasi air, pasti keren banget :)

Yang ada di pikiran saya saat ini adalah menjajaki penggunakan structural computable equilibrium. Informasi EI yang relatif kaya lalu "ditanam" di dalam model CGE (yang strukturalis, bukan "neoklasik"). Ini salah satu kemungkinan. Selain model yang sudah dicoba oleh advisor saya, untuk studi kasus negara bagian Saxony, Jerman. Dia menggunakan data GIS (Geographical Information System) untuk modelnya.

Mudah-mudahan data di Indonesia tersedia untuk itu. Termasuk data Protected Area di Indonesia.

Kalau Dendi, atau siapa saja, punya informasi, saran, kritik atas ide terkait hal-hal di atas, bakal sangat membantu. Dan saya sangat berterima kasih.

Anonim mengatakan...

Sonny,
Saya tidak tahu banyak tentang model IO/SAM/CGE walau pernah belajar dasar-dasarnya saja. Waktu saya di Groningen ada profesor dibidang ini, Erik Dietzenbacher. Mungkin Sonny belum tahu:
http://econpapers.repec.org/RAS/pdi145.htm

Kalau di Indonesia ada Budi Resosudarmo yang memiliki keahlian dibidang CGE dan juga aplikasinya ke masalah SDA & lingkungan. Sekarang ada di ANU. Emailnya: budy.resosudarmo@anu.edu.au. Mungkin bisa berkorespondensi dengannya.

Salam,
dendi

Anonim mengatakan...

Dendi terima kasih kembali untuk informasinya. Beberapa paper Dietzenbacher relevan untuk rujukan saya.

Seperti dibilang di atas, menggunakan CGE (strukturalis) adalah salah satu kemungkinan metodologis. Saya masih dalam tahap mempelajari kemungkinan ini. Masih akan diusulkan ke advisor saya, untuk mendampingi model milik dia. (Atau, kalau tidak disetujui, menjadi interest pribadi nanti paska PhD).

Data tabel IO dan Susenas yang saya butuh adalah data untuk propinsi Sulawesi Utara. Ini relatif mudah diperoleh (mudah-mudahan sih). Yang lebih repot, adalah mengumpulkan data untuk Ecological Index itu, termasuk data DAU dari Jakarta ke daerah (propinsi dan kota/kabupaten) di Sulawesi Utara. Dendi mungkin punya informasi, di mana saya bisa memperoleh ini? Di Departemen Keuangan barangkali, ya? Salah satu artikel di BIES yang membahas fiskal, menggunakan Data Set dari Depkeu.

Saya membutuhkan data DAU termasuk didalamnya adalah data yang menjadi indikator DAU itu (data yang digunakan untuk penentuan DAU alias data disagregat-nya).

Saya sementara melakukan eksposur awal atas literatur relevan terkait CGE. Dari milis yang dikelola Arya Gaduh, saya dapat informasi tentang publikasi AA Yusuf (UNPAD/ANU) soal CGE dan koefisien Gini. Yusuf juga mencoba modelnya untuk propinsi Jawa Barat. Setelah relatif final dan detail dengan apa yang bakal saya lakukan, saya akan munghubunginya.

Teman saya yang lain, yang sementara PostDoc di Jerman, kebetulan adalah sahabatnya Budy PR, juga memberi informasi bahwa di ANU, PhD student punya kesempatan menjadi semacam visiting fellow/student selama 1-2 bulan untuk keperluan penulisan disertasinya. Saya mungkin akan menggunakan kesempatan ini.












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar