05 Januari, 2008

Erasmus di tram nomor 16

Saya memesan tiga buku dari internet. Dua di antaranya tiba hari ini. Buku pertama ditulis Alfred Mueller-Armack. Wirtschaftslenkung und Markwirtschaft judulnya. Terbit tahun 1976. Apabila dialihbahasa, judul menjadi Ekonomi Terencana dan Ekonomi Pasar.

Buku ini dibeli sebab saya ingin mendalami gagasan ekonomi pasar sosial, disingkat Epasos. Mueller-Armack, ekonom liberal Jerman, adalah peletak teori Epasos. Sebagian isi buku telah saya baca sebelumnya. Alasan lain membeli buku ini adalah untuk koleksi pribadi.

Democracy and capitalism – property, community and the contradictions of modern social thoughts adalah buku kedua yang saya terima. Karya Samuel Bowles dan Herbert Gintis. Dibanding Mueller-Armack, mengelompokkan kedua ekonom ini lebih problematis. Mereka dulu dikenal sebagai ekonom radikal. Sekarang, mereka adalah ilmuwan garis depan untuk behavioral economics.

Ini juga bukan buku baru, terbit tahun 1987. Buku ini sendiri mengkritik Marxisme dan liberalisme, secara bersamaan. Melalui Amazon, penjual buku online, saya membelinya dari sebuah toko buku bekas di Amerika Serikat.

Di waktu senggang, saya membaca berbagai publikasi Bowles dan Gintis mengenai salah satu aspek persoalan kepemilikan dan pengelolaan sumberdaya, apa yang biasa disebut para ekonom sebagai residual claimancy. Juga, tentang usul mereka berkait egalitarianisme melalui pembagian kepemilikan aset.

Karena ukuran paket yang sedikit kebesaran, buku Mueller-Armack itu tak dapat masuk kotak pos saya. Pada akhirnya, saya harus keluar rumah, mengambil buku itu di Packstation.

Yang disebut terakhir ini semacam kantor pos mini otomatis. Warnanya kuning, terletak dekat tempat kos saya, dan bakal terbuka dengan kode dalam secarik kertas yang ditinggalkan tukang pos di kotak pos saya. Saat mengambil buku, hari mulai gelap. Suhu sekitar nol derajat. Angin bertiup kencang.

Dan saya mulai lapar. Sesudah mengambil paket, sambil berjalan, saya membuka-buka buku Bowles dan Gintis, yang saya bawa serta saat ke kantor pos mini itu. Saya melihat-lihat daftar isi. Lalu tak bisa berhenti membaca.

Kebetulan, di depan saya, melintas tram nomor 16. Tram ini datang dari arah Loessnig, nama tempat di selatan kota Leipzig, menuju Messegelaende, tempat di mana kubah pameran berada. Dengan 500 tahun pengalaman pameran, Leipzig termasuk salah satu kota dengan sejarah pameran tertua di dunia. Ia sekaligus merupakan salah satu kota yang punya fasilitas pameran paling modern di dunia.

Saya kejar tram itu dan naik di atasnya. Dengan perut berkeroncong, saya lanjut membaca. Tram melaju, membelah kota. Mentok di stasiun akhir, dengan tram yang sama saya ikut kembali berbalik arah. Mencari hangat dan suasana nyaman membaca, mengapa saya naik tram ini.

Ada pembatas buku warna coklat dari kertas daurulang diselipkan toko buku bekas itu di antara lembar-lembar halaman buku Democracy and Capitalism. Kutipan dari Erasmus tertera di atasnya. “When I get a little money I buy books; and if any is left, I buy food and clothes”, tulis filsuf dan humanis dari Rotterdam itu.

Saya tertawa membaca kalimat itu.

Di pusat kota, di stasiun Augustusplatz, saya turun dari Tram. Tujuannya tunggal: cari makan. Dingin telah berhasil membuat perut saya bermain keroncong lebih nyaring. Angin masih bertiup kencang dan suhu sudah jatuh di bawah nol. Sekitar pukul 6 sore.

Tak berapa lama, saya telah menikmati suasana hangat yang lain: duduk menyantap doenerkebab rasa ayam, di sebuah kedai makanan Turki.

***

4 komentar:

Anonim mengatakan...

Kalau saya sih makan kebab dulu... ha..ha..ha...

Aco mengatakan...

Son, nice blog! Oh ya, ttg makan di Jakarta seperti torang janji di Diskusi Ekonomi, ngana tenang saja. Kalo ngana sampe ngana bel torang. Kita pigi makan2 di resto Manado. De pe karopa nda' kala sama dorang pe di Manado.

Sonny Mumbunan mengatakan...

Aco Thanks sudah mampir kemari. Resto Manado dan ikan laut... yummmie... Cuma membayangkan saja, sudah malele gidi-gidi kata orang Manado. Gosipnya, rumah makan Manado di Jakarta memang ngga kalah dengan di Manado ya :-)

Titip salam buat si Aco kecil. Semoga tumbuh sehat, kuat dan cerdas seperti bapaknya.

kita mengatakan...

he..he..kasihan amat, cuma bisa kebab doang. Makanya sekali-kali menyebrang kamari. Paling nda bisa di sini boleh dapa pangi. Apalagi woku belanga, anyor tu dia.












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar