Dalam ilmu sosial, dalam mana ilmu ekonomi adalah anggota keluarga, "kagak-nyambungnya" bahasan bidang yang satu dengan yang lain, adalah perkara besar. Sosiolog bicara manusia yang sosial, sementara ilmu ekonomi bicara manusia yang self-regarding. Yaitu, Homo Ekonomikus.
Game theory telah berhasil membantu menjembatani secara metodologis ketaknyambungan semacam itu. Lebih tepat lagi, behavioral game theory (BGT), dalam mana kesepadanan insentif (dari game theory klasik) dan keberagaman preferensi manusia (dari behavioral science) diakomodasi. (Catatan: Game theory adalah teori yang digunakan antara lain para ekonom, ilmuwan sosial atau matematikawan untuk melihat dasar-dasar keputusan individu dalam interaksinya dengan, misalnya, individu yang lain. Interaksi itu tampak seperti permainan, atau game).
Yang mutakhir, BGT berhasil menyatukan antropolog, ekonom, dan sosiolog untuk bersama-sama secara lintas-ilmu mendekati pokok investigasi dengan perangkat metodologis yang bisa diterima berbagai bidang ilmu. Hasil kerja bersama itu bisa dilihat antara lain dalam Heinrich dan kawan-kawan, Foundations of human sociality (2004). "Versi singkatnya", terbit di American Economic Review dalam salah satu edisi tahun 2001.
Menarik, salah satu komunitas skala kecil yang dikaji, adalah komunitas pemburu ikan paus di pulau Lamalera, Nusa Tenggara Timur. Kontribusi para ilmuwan ini dapat ditemui di jurnal Science, Nature, Journal of Theoretical Biology, dan lain -lain.
Ilmu ekonomi (baca: ilmu ekonomi neoklasik) memang menganggap manusia memiliki preferensi homogen. Menyebut homogen, di sini bermaksud kerangka fondasi-mikro pilihan-pilihan manusia, bukan perihal "saya suka pisang dan Anda suka jeruk".
Dalam ekonomi neoklasik, preferensi dianggap konsisten. Teguh bagaikan gunung. De Gustibus Non Est Disputandum: soal selera itu tak bisa diperdebatkan, seperti tidak bisanya kita mendebatkan gunung Rocky Mountains, meminjam Joseph Stigler dan Garry Becker (1977). Hal ini telah diberikan catatan oleh Akhmad Rizal Shidiq, yang menanggapi MCB.
Tetapi, Rizal terkesan tetap berangkat dari paradigma neoklasik. Misalnya soal maksimisasi, meski dalam tanggapannya ia menyebut nama-nama seperti Daniel Kahneman. Dalam penjelasan selanjutnya, Rizal berjalan di bawah terang Imperialisme Ilmu Ekonomi ala Stigler/Becker (baca: ekonomisasi bidang-bidang ilmu lain), bukan dalam kerangka kontribusi atau pencapaian ilmu ekonomi eksperimental yang ia bicarakan.
BGT adalah bidang yang berkembang. Kontribusinya tidak sedikit bagi pemahaman atas perilaku ekonomi dan sentimen moral ekonomi. Sedikit sejarah memberi perspektif pada kalimat ini. Generasi pertama BGT dipelopori Maurice Allais, penerima Nobel Ekonomi 1988, tentang aspek nonlinear dalam teori expected utility.
Generasi kedua, dipimpin oleh Vernon Smith, juga penerima Nobel Ekonomi, 2002. Riset awal Vernon mendukung model aktor manusia yang rasional dan self-interested. Generasi ketiga di isi oleh Amos Tversky dan Daniel Kahneman, keduanya psikolog. Kahneman memperoleh Nobel Ekonomi bersama-sama dengan Vernon Smith.
Lalu generasi keempat. Di garis depan terdapat antara lain ekonom Werner Gueth (penemu ultimatum game) atau ilmuwan politik Elinor Ostrom (kerap mengkaji perihal kelembagaan dan penadbiran atau pengelolaan sumberdaya common-pool). Yang terakhir, generasi kelima, dipimpin oleh ekonom Ernst Fehr. Generasi ini mempertajam capaian generasi keempat, dengan sumbangan baru, bahwa agen ekonomi juga berperilaku other-regarding. Dan perilaku ini bukan anomali, tapi sebuah sentimen moral ekonomi yang absah. (LIhat Gintis, 2005)
Mengikuti Rizal, saya turut berharap bahwa perkembangan di atas ini juga dapat menjadi bagian kurikulum di fakultas-fakultas ekonomi kita di Indonesia.
Seperti disebut di atas, riset ekonomi eksperimental dan behavioural science mutakhir menunjukkan bahwa preferensi manusia tidak homogen seperti dianggap ekonom neoklasik. Tapi heterogen dan bersyarat.
Homo Ekonomikus bukannya tidak hidup. Dalam riset ekonomi eksperimental, ia tetap muncul, bahkan menguat dalam beberapa setting kelembagaan mirip pasar. Tetapi, mengatakannya sebagai satu-satunya motiv, atau sebagai motiv yang terpenting, seperti lazimya kita temukan dalam banyak pendapat “pakar” atau “ekonom”, haruslah dianggap sebagai pendapat tidak akurat, kalau bukan menyesatkan.
Bidang-bidang tersebut juga menunjukkan bahwa pertimbangan cost and benefit dalam keputusan ekonomi, bukan satu-satunya desiderata. Dalam banyak konteks, ini malah bukan desiderata sama sekali. Misalnya soal costly punishment seperti ’biarin gua rugi, yang penting gua bisa balas ama lu’. Hal mana lazim kita temukan dalam evolusi preferensi dan pelembagaan norma dalam banyak masyarakat. Ini terang-terangan tidak seturut dengan konsistensi preferensi ala Stigler/Becker di atas.
Ini juga, barangkali akan sulit diterima MCB, yang masih berangkat dari analisa Cost-Benefit sebagai pegangan analisa insentif. Tipikal dalam analisa seperti MCB, adalah membuat biaya melakukan sesuatu – semisal korupsi atau pencurian – menjadi lebih mahal. Ekonom Ari Perdana, secara mengagetkan, bahkan mengajukan solusi potong jari (baca: tak sampai mati tapi sakit bikin kapok) sebagai solusi optimal mengurangi kejahatan.
Ekonom Albert Hirschman (1985, dalam Gintis/Bowles/Boyd/Fehr 2005) mengkritik kebijakan ekonomi semacam itu. Kemudian, dalam hemat dia, ia mengajukan kebijakan publik lebih efektif yang mampu memengaruhi "citizen values and behaviour codes".
Literatur tentang Crowding-Out effects menunjukkan bahwa dalam beberapa hal insentif ekonomi malah berkemungkinan memiliki efek sebaliknya, misalnya penurunan supply. Contohnya bisa dilihat dalam donor darah yang berkurang, karena pendonor ditawarkan uang. Atau, keinginan civil-duty yang dihancurkan mekanisme insentif harga. (Lihat misalnya, Frey/Oberholzer-Gee, 1999).
Tolong koreksi bila saya salah. Apa yang saya tangkap, MCB hendak mendekati bidang lain atau factor lain yang ia sebut non-ekonomi dengan perangkat ilmu ekonomi seperti Cost-Benefit Analysis. MCB punya kerendahan hati untuk tidak abai apalagi menafikan aspek "non-ekonomi", tapi masih menggunakan peranti standar atau framework "ilmu ekonomi". Ini lebihkurang mirip dengan semangat ekspansi ilmu ekonomi ala Stigler/Becker, sering disebut sebagai "Economics Imperialism", untuk memahami bidang-bidang "non-ekonomi" lain. Pisau analisanya tetap ekonomi neoklasik.
Bila pemahaman saya benar, MCB barangkali akan kesulitan mendekati apa-apa, kalau bukan ditolak para kolega kita di ranah ilmu sosial.
(Bahkan, dengan posisi epistemologi seperti saya ini, sahabat saya Fadjar Thufail, antropolog LIPI itu, masih "menertawakan" saya).
Sementara, pencapaian BGT terkini, yang saya sebut di atas, mendekati persoalan sosial tanpa pretensi (apriori) apapun berkait hakekat perilaku manusia. Artinya, dalam fondasi mikro keputusan manusia, subjek bisa berperilaku self-interested atau menunjukan social preferences, atau bahkan berganti-ganti, tergantung kelembagaan interaksinya. Kelembagaan itu antara lain tersedianya kemungkinan untuk menghukum, komunikasi antar subjek, interaksi yang berulang-ulang, kadar kepemilikan informasi, nilai dominan anggota masyarakat, dll.
Di sini, sosok yang gemar membantu orang lain, mungkin menjadi sangat egois. Sebagaimana seorang altruis dapat menjadi penghukum yang tega. Di sini, aspek "non-ekonomi" menjadi mungkin didekati lebih elegan, serius, dan produktif. Tanpa perlu saling "mengiri", atau "berbangga diri", antara bidang ilmu sosial yang satu dengan yang lain.
Benar adanya: Ilmu ekonomi telah memberikan sumbangan besar dalam memahami masyarakat. Dan akan terus demikian. Potensi sumbangan itu akan jauh lebih bermakna bila model pilihan individu dan interaksi antar manusia dalam ilmu ekonomi menggunakan model yang lebih akurat dibanding model Homo Ekonomikus.
Sonny Mumbunan
Belajar ekonomi eksperimental dari Urs Fischbacher (Universitaet Zurich) dan Daniel Houser (George Mason University). Menulis disertasi ekonomi pada Helmholtz Center for Environmental Research (UFZ) Leipzig, Jerman.
Kepustakaan
Fehr, Ernst; dan Urs Fischbacher. 2002. Why social preferences matter - the impact of non-selfish motives on competition, cooperation and incentives. Economic Journal 112. C1-C33.
Frey, Bruno S.; and Felix Oberholzer-Gee. 1997. The cost of price incentives: an empirical analysis of motivation crowding out. American Economic Review 87(4), hal. 746-755.
Gintis, Herbert. 2005. Behevioral game theory and contemporary economic theory. Analyse & Kritik 27, hal. 48-72.
Gintis, Herbert; Samuel Bowles, Robert Boyd dan Ernst Fehr. 2005. Moral sentiments and material interests - The foundations of coooperation in economic life. Cambridge: MIT Press.
Heinrich, Joseph; Robert Boyd, Samuel Bowles, Colin Camerer, Ernst Fehr and Herbert Gintis. 2004. Foundations of human sociality - Economic experiments and ethnographic evidence from fifteen small-scale societies. Oxford: Oxford University Press.
3 komentar:
Oo... disini toh nongkrongnya.
Salam,
dendi
Thanks sudah mampir kemari.
- S
Kadang saya nggak ngerti, argumen dan bukti yang bertentangan dengan asumsi neoklasik itu sudah banyak diterbitkan di jurnal ekonomi, psikologi atau sains umum seperti Science, Nature dan PNAS. Tapi kenapa mayoritas ekonom malah cenderung menolak usaha eksplorasi diluar kerangka neoklasik? Tentu ada pengecualian, tapi sangat sedikit.
Apa mereka menganggap semua penelitian yang tidak sesuai dengan kerangka neo-klasik sebagai salah, tidak peduli, atau apa?
Posting Komentar