Jerman memraktekkan sistem kesehatan menyeluruh bagi warganya. Bagaimana efisiensi sumberdaya dikenalkan sambil menjamin akses warga atas layanan kesehatan? Sebuah pengalaman pribadi.
Pintu ruang praktek dokter Rieger masih tutup, ketika saya tiba. Hari masih pagi, sekitar jam 8.
“Seperti yang Anda baca di ruang tunggu,“ ujar dokter Rieger sambil menulis surat rujuk itu, “Anda membayar 20 Euro.” Saya lalu mengambil dompet. “Tetapi, Anda kan masih mahasiswa. Anda cukup bayar 10 Euro saja.” Saya tersenyum dan merogoh saku.
Di ruang tunggu saya memang lihat pengumuman biaya dokter. Di print tebal di atas kertas putih dengan tinta warna merah.
Di ruang itu, sambil menunggu giliran periksa, saya melanjutkan membaca buku Tim Harford, The Logic of Life. Buku menarik, ringan dibaca, tentang logika ilmu ekonomi sehari-hari. Sebagian besar argumentasi Harford, sayangnya, masih bersandar pada konsep rasionalitas yang terbukti kurang akurat oleh behavioural economics.
Saya menebus resep obat tersebut malamnya di Loewen-Apotheke, di Augustuzplatz, di pusat kota Leipzig. Saya membayar 29 Euro untuk 50 biji kapsul ukuran 20 miligram.
Rupanya saya adalah bagian dari sebuah sistem besar yang bekerja. Jerman memiliki sistem pelayanan kesehatan publik salah satu yang terbaik di dunia.
Di negeri ini, sejak reformasi sektor kesehatan, setiap orang sakit membayar 10 Euro (atau 20 Euro, tergantung dokter). Bayaran itu hanya dipungut satu kali dan berlaku untuk 3 bulan. Sebelumnya pasien tidak membayar sama sekali.
Reformasi sektor kesehatan itu uniknya berlangsung dibawah pemerintahan sosial-demokrat. Sosial-demokrasi adalah paham tentang pengorganisasian masyarakat, diyakini sebagian besar orang Jerman.
Paham ini beranggapan, antara lain, bahwa setiap warga negara memiliki akses atas layanan kesehatan. Sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, baik warga negara Jerman ataupun pendatang mesti terdaftar dalam asuransi kesehatan.
Dulu, asuransi hanyalah asuransi yang disebut Gesetzliche Krankenversicherung (GKV). Ini asuransi yang dikelola negara. Sejak reformasi tersebut, asuransi model swasta juga dikenalkan, Private Krankenversicherung (PKV).
Termasuk dikenalkannya 10 Euro itu. Saya duga, ini cara kaum sosial-demokrat mencari jalan tengah antara akses kesehatan bagi seluruh warga negara di satu sisi, dan efisiensi penggunaan sumber daya kesehatan, di sisi yang lain.
Kedua macam asuransi ini punya keunggulan dan kelemahan. GKV misalnya lebih mahal dibanding asuransi privat PKV, sebab asuransi GKV mengandung elemen solidaritas. Ada bagian iuran asuransi ini yang dipakai untuk membantu mereka yang tidak mampu.
Sebagai gambaran, seorang mahasiswa membayar sekitar 60 Euro setiap bulan bila menggunakan GKV. Ini setara dengan sekitar 780 ribu Rupiah. Mereka yang sudah bekerja, membayar lebih mahal berdasarkan tingkat pendapatan.
Menurut KBV (Kassenaerztliche Bundesvereinigung), sebuah persatuan dokter Jerman, pada tahun 2006 terdapat sekitar 70 juta orang Jerman yang menggunakan GKV. Asuransi privat PKV digunakan oleh 8,5 juta orang. Saya sendiri pernah menggunakan kedua jenis asuransi ini.
Tiga hari kemudian saya datang kembali pada dokter Rieger.
“Dokter, kok batuk saya belum kunjung reda?“ tanya saya.
“Obat butuh minimal tiga hari untuk dinilai efeknya”. Dia melirik kalender. Saya datang pertama kali 4 Februari, 2008. Dia juga menelpon Klinik Universitas dan menanyakan hasil Roentgen saya.
Dia memeriksa bidang lidah saya. Tak lama kemudian ia membuka buku katalog obat yang tebal, warna putih, dan menulis resep baru. Kali ini saya diberi Symbicort Turbohaler. Obat dalam bentuk serbuk, yang harus saya hisap setiap pagi dan saat malam tiba.
Di apotek yang sama saya membeli obat ini. 80 mikrogram, dosis 4.5, untuk 120 kali hisap. Harganya 69 Euro. Lebih dari dua kali dibanding harga obat pertama.
Kecuali 10 Euro itu, semua biaya pengobatan saya akan diganti asuransi kesehatan. Saya cukup mengirim kuitansi dan resep dokter guna memperoleh penggantian tersebut.
Bagaimana Jerman membiayai sistem kesehatannya? Bagaimana negeri ini menyekolahkan gratis lalu membiayai orang-orang seperti dokter Rieger yang kompeten dan ramah melayani pasiennya?
Saya melihat kuitansi obat. Pajak Pertambahan Nilai tertulis sebesar 19 persen. Hampir dua kali lipat dibanding pajak sejenis untuk obat di negeri saya.
***
Baca juga
- Ekonomi pasar sosial? Sonny Mumbunan, Kompas, 21 November 2007.
3 komentar:
Lho, bung Sonny Krankenkasse-nya apa? TK, Barmer, AOK, atau apa? Kok harus bayar obatnya sendiri dulu, baru nanti diganti sama Krankenkasse-nya? Bukannya kalau GKV itu kita hanya harus bayar "Eigenbetrag", selebihnya itu urusan apotik dgn Krankenkasse. Juga, bukannya Praxisgebuehr itu SELALU cuma 10 Euro? Kok disebut ada yg 20 Euro?
Bung Anonim,
betul. Untuk GKV tidak perlu membayar obat sendiri, tetapi dilakukan oleh asuransi kesehatannya. Dalam cerita saya ini, kasusnya adalah asuransi kesehatan privat, PKV.
Untuk Praxisgebuehr, aturannya 10 Euro. Tetapi ada dokter yang memungut sampai 20 Euro seperti dokter yang saya kunjungi tersebut. Meski begitu, seperti ditulis di cerita tersebut, saya hanya membayar 10 Euro. Barangkali karena masih mahasiswa. Pada pengumuman yang tertempel di ruang praktek si dokter, tertulis 20 Euro. Pendek cerita, tidak selalu 10 Euro, seperti ditulis Bung Anonim.
Alles klar kalau begitu. Bung Sonny asuransi kesehatannya PKV. Untuk PKV Praxisgebuehr memang tidak selalu 10 Euro. Lain halnya dgn GKV yg selalu 10 Euro:
http://de.wikipedia.org/wiki/Praxisgeb%C3%BChr
Posting Komentar