Ich würde alles genauso wieder machen.
Wir sehen uns in der Ewigkeit wieder.
... Ja Mutter.
Sophie Scholl - Die letzten Tage
***
kumpulan catatan, pikiran
Ich würde alles genauso wieder machen.
Wir sehen uns in der Ewigkeit wieder.
... Ja Mutter.
Sophie Scholl - Die letzten Tage
***
Setelah lama mencari, akhirnya saya temukan juga: ikan tuna kaleng buatan
Saya sedang belanja di gerai serba ada Real, di Oststeinbeck, dekat kota Hamburg. Real merupakan salah satu jaringan supermarket di Jerman, milik Metro Group.
Menurut situs internet perusahaan, Real punya 442 supermarket di Jerman,
Saya datang ke sana bersama Kartini Mumme. Gerai yang kami kunjungi itu dulu ditempati Wal Mart yang kini berhenti beroperasi.
Tante Kartini, begitu saya biasa memanggilnya, berencana membuat kue panada. Kue khas orang Manado ini biasanya diisi ikan. Tante Kartini berasal dari Sonder, Minahasa. Ia sudah tiga puluh lima tahun tinggal di kota Hamburg.
"Beberapa waktu lalu, ikan tuna dari Indonesia malah sempat tidak ada di rak. Mungkin de pe kualitas stou," ujar Tante Kartini, berspekulasi.
Selama sekitar nyaris tiga tahun di Jerman, saya memang belum pernah menemukan ikan kaleng dari negeri sendiri. Baik di kota tempat saya tinggal atau yang saya kunjungi. Saya mencarinya di berbagai supermarket. Lidl, Penny, Plus, Aldi, Kaufland dan Edeka. Usaha itu selalu saja berakhir tanpa hasil.
Saya suka makan ikan. Dan tidak seperti di Manado, ikan adalah barang mahal di Jerman. Untuk menuruti kegemaran tersebut saya mengakalinya dengan beli ikan kaleng. Biasanya digoreng pedas atau disantap mentah, bersama salad. Kadang-kadang diluluri remoulade.
Dulu saya sempat melakukan riset amatiran tentang kompensasi buruh harian pada sebuah perusahaan ikan kaleng berorientasi ekspor. Saya jadinya sedikit akrab dengan bagaimana industri ikan kaleng bekerja.
Salah satu tujuan ekspor utama perusahaan ini adalah Eropah, selain Amerika Utara.
Pabrik ikan miliknya berada di Bitung. Di dalam kawasan KAPET, Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu. Bitung adalah kota pelabuhan di utara Sulawesi.
Perusahaan ini milik kelompok Sinar Mas, sebuah konglomerasi besar di Indonesia. Terutama ketika perusahaan mengejar target produksi pesanan ekspor, buruh bekerja dalam keadaan yang kurang manusiawi. Sebagian besar buruh adalah perempuan.
Upah rendah mengharuskan 4 sampai 5 buruh menyewa satu kamar kecil yang sekaligus berfungsi sebagai dapur. Mereka tidur di ruangan pengap itu. Tak jauh dari tumpukan bantal terletak satu kompor minyak yang dipakai bersama. 100 orang seperti mereka saya wawancarai.
Di gerai serba ada itu, satu kaleng harganya 65 sen Euro. Atau sekitar 7.800 Rupiah dengan padanan nilai tukar 1 Euro = 12.000 Rupiah.
Berat bersih per kaleng 185 gram. Bercampur dengan minyak bunga matahari. Asal negara hanya tertulis "Indonesia", tidak terdapat informasi lanjut tentang nama tempat atau kota.
Ikan tuna kaleng tersebut diimpor ke Jerman oleh perusahaan GOLDHAND Vertriebsgesellschaft mbH. Alamatnya di Schlaeterstrasse 5, D-40235, Duesseldorf.
Saya melihat-lihat jejeran ikan kaleng lainnya di sebelah atas dan samping rak. Untuk ikan kaleng dengan kategori berat yang sama, produksi dari Ekuador dijual seharga 1,15 Euro setiap kalengnya. Tidak ada campuran minyak apapun dalam produk ini.
Produksi Thailand yang dicampur minyak oliven, berbandrol harga 1,75 Euro. Dari Cekoslowakia, untuk berat 80 gram, 2 kalengnya dijual dengan harga 1,85 Euro.
Ikan kaleng produksi Indonesia dijual dengan harga jauh lebih murah dibanding produksi negara-negara lain untuk produk dan kategori sejenis. Ditempatkan di deretan bawah pada seksi ikan kaleng.
Di sudut kiri rak. Paling bawah.
***
Hamburg, 7 Agustus 2007
Kredit foto: WDR5.
Labels: ikan tuna
Suamiku melenguh,
Kenapa Tuan Jantanku?
Kala ku kecil
Dihardik tuk tak menangis
Dihardik tuk tak melebar rasa
Suamiku melenguh,
Kenapa Tuan Jantanku?
Kala ku dewasa
Dihardik tuk tak bermanis madu
Dihardik tuk tak melemas akal
Suamiku melenguh,
Kenapa Tuan Jantanku?
Kala ku tua
Dihardik tuk tak beriba hati
Dihardik tuk selalu bermuka besi
Kujambak rambut cepaknya
Dan betinalah!
Sri Betina, Munster 23.03.2008
***
Catatan
Puisi ini ditulis sahabat saya. Seorang feminis. Seorang peneliti bahasa. Dan Betinalah! adalah sebuah seruan, bahwa menangis, atau merengek, perlu bagi laki-laki. Agar "maskulinitas tidak jadi durjana," kata dia. Kemarin, pacar saya juga bicara hal yang mirip-mirip. "Say, masak logika di tempat pertama terus, sementara perasaan juara dua melulu."
Melihat negara-negara tetangga, kekurangseriusan itu menjadi lebih terasa. Baru 66 persen target kebijakan dalam bidang lingkungan yang dicapai Indonesia. Thailand sudah mencapai hampir 80 persen (peringkat 53). Jiran kita Malaysia, menempati peringkat 26, bahkan telah mencapai 84 persen target.
EPI adalah indeks yang disusun dari sebuah kumpulan data statistik lingkungan hidup. Ia dirancang untuk jadi indikator pengukur proximity-to-target. Seberapa dekat kebijakan lingkungan sebuah negara mengacu rencana target dalam Milenium Development Goals (MDGs) yang dicanang Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Kaki konstruksi indeks ini berdiri di atas dua blok tujuan. Pertama, mengurangi dampak kondisi lingkungan hidup atas kesehatan. Kedua, meningkatkan vitalitas ekosistem. Tujuan-tujuan ini lantas dipecah ke dalam beberapa kategori kebijakan dan indikator-indikator yang lebih spesifik. Semuanya diberi bobot.
Hasilnya, Swiss menempati peringkat pertama. Negara-negara Skandinavia menyusul (Swedia, Norwegia, dan Finlandia) di deretan puncak. Sungguh menarik, bahwa Kosta Rika, negara kecil di Amerika Latin, duduk di tempat kelima. Posisi kunci ditempati negara-negara Afrika.
Ada satu-dua kekecualian memang. Tetapi, secara umum negara maju dengan tingkat pendapatan tinggi menempati kelompok atas. Tingkat kemakmuran punya hubungan positif dengan skor EPI. Negara-negara miskin menghuni kelompok bawah. Dalam banyak kasus praktek good governance secara statistik menyumbang hasil yang baik bagi keberlanjutan lingkungan hidup.
Indonesia, untuk indikator seperti konservasi habitat yang didiami spesies-spesies kritis, protected area sumberdaya kelautan dari eksploitasi industrial dan kegiatan manusia, menujukkan kinerja relatif tidak memuaskan. Demikian pula berkait intensitas emisi CO2 yang dibuang sektor industri. Capaian Indonesia berada jauh dibawah rata-rata kelompok negara dengan tingkat pendapatan sama.
Meningkatnya profil Indonesia dari konferensi perubahan iklim bergengsi akhir tahun lalu di Bali tampak belum sinkron dengan capaian yang ditemukan dalam EPI. Dalam kategori kebijakan perubahan iklim, baru sekitar 60 persen target yang dicapai. Apalagi, dampak perubahan iklim semakin hari semakin kurang abstrak. Ia berperan tak langsung dibalik kekerapan banjir yang menyergap Jakarta. Atau persoalan kelangkaan kedelai.
Secara keseluruhan masih buruk. Akan tetapi, beberapa kebijakan menunjukan pencapaian memuaskan meski tak lepas dari posisi Indonesia sebagai negara bersumberdaya berlimpah. Misalnya tingkat ekstraksi dan ketersediaan air atau tingkat penangkapan berlebihan (overfishing) atas jenis ikan penting bagi kestabilan rantai makanan dan ekosistem. Serta, kebijakan perlindungan 10 persen dari habitat darat, air dan maritim.
EPI bukan tanpa kritik. Pembobotan indeks ini dinilai bias negara maju. Dalam kategori environmental health, bobot yang diberikan adalah 50 persen. Sementara, kategori perubahan iklim berbobot 25 persen. Berkemampuan finansial lebih, negara maju punya kapasitas lebih dalam mencegah efek polusi lingkungan atas kesehatan manusia dibanding negara-negara berkembang atau miskin.
Di sisi lain, negara-negara maju adalah penguna energi terbesar dan penyumbang penting bagi perubahan iklim global. Aspek ini diberi bobot lebih kecil.
Persoalan lain adalah legitimasi. Sebagian target kebijakan disusun oleh para pakar. Padahal, kebijakan adalah proses politis. Bila ingin efektif, instrumen seperti EPI mesti ditempatkan dalam proses pembuatan kebijakan. Merujuk target kebijakan yang dibuat negara bersangkutan.
Di luar itu, instrumen kontrol yang lebih akurat dan pantas dibanding EPI telah tersedia. Jerman misalnya, punya Umweltbarometer. Uni Eropa punya State of The Environment Report.
Tetapi EPI bukan tanpa faedah. Sekurangnya, ia bisa menjadi dasar bagi penilaian kebijakan lingkungan sebuah negara dan bahan pembanding antar-negara. Terutama mereka yang belum memiliki instrumen semacam ini.
Belajar dari Brazil
Untuk faedah yang disebut belakangan, Brazil bisa jadi cermin bagi Indonesia. Kedua negara ini sama-sama berpenduduk banyak, rumah bagi hutan tropis penting dunia, dan berasal dari kelompok negara berpendapatan relatif sama. Brazil punya peringkat lebih baik dalam EPI.
Brazil menerapkan kebijakan anggaran dan mekanisme alokasi dana fiskal yang unik. Satu-satunya di dunia. Untuk konservasi keragaman hayati dan sumberdaya air, transfer dilakukan dalam bentuk -yang saya sebut- Dana Alokasi Ekologis (DAE). Beberapa negara bagian di Brazil menjalankan kebijakan ini.
Dana tersebut berasal dari pajak pertambahan nilai (PPN). Disalurkan ke setingkat kota atau kabupaten berdasar indeks ekologis. Dengan instrumen transfer fiskal, DAE mengintegrasikan fungsi-fungsi konservasi alam ke dalam sistem intergovernmental fiscal transfer. Sebuah inovasi sosial yang cerdas dan memikat. Di Indonesia, kita baru punya dana alokasi umum (DAU) dan alokasi khusus (DAK).
Logika dan argumentasi ekonomi-ekologis dibalik DAE berguna menjawab masalah aktual di Indonesia. Antara lain, perihal siapa, antara Jakarta atau Jawa Barat, yang semestinya bertanggung jawab menanggung biaya konservasi kawasan hulu daerah aliran sungai, agar banjir tak menenggelamkan ibukota Indonesia.
Bentuk kelembagaan pengelolaan sumberdaya berkarakter common-pool oleh komunitas perlu pula didorong dan diperkuat. Ilmuwan sosial Elinor Ostrom mendokumentasikan, bagaimana komunitas menjadi pelengkap. Bahkan alternatif bagi sistem kelola sumberdaya berbasis mekanisme pasar dan koordinasi negara.
Hutan, air, atau kelautan adalah contoh sumberdaya yang mungkin dikelola komunitas dengan adil, efisien dan berkelanjutan.
Indonesia butuh banyak inovasi sosial pengelolaan sumberdaya alam. ***
Penulis kandidat doktor ilmu ekonomi pada Universitaet Leipzig dan Heinrich Boell Fellow pada Departemen Ekonomi, Helmholtz Centre for Environmental Research (UFZ) Jerman.
SAGE, penerbit buku dan jurnal ilmiah, memberi akses gratis untuk beberapa jurnal online miliknya. Akses gratis dan free trial ini untuk kesekian kali dilakukan SAGE.
Seperti sebelumnya, macam-macam bidang ilmu yang ditawarkan. Dari sosiologi sampai neuroscience, dari pendidikan sampai tata kota. Anda cukup mendaftarkan diri, membuka account, lalu memilih jurnal yang diinginkan.
Selamat berburu artikel ilmiah!
Klik di sini
***
Labels: jurnal gratis, SAGE
Sudahkah demokrasi Indonesia membawa kesejahteraan?
Diskusi menggunakan media konferensi di internet, disiarkan langsung melalui radio Muhammadiyah UK.
Poppy S Winanti, dosen Universitas Gajah Mada yang sementara menulis disertasi doktoral hubungan internasional di Universitas Glasgow, Skotlandia, membahas peran modal internasional dalam kejatuhan orde baru dan reformasi Indonesia.
Baca juga
Labels: demokrasi, kesejahteraan
Baca juga
Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?
Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?
Membongkar korupsi di utara Minahasa
Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?
Posting terbaru
Komentar
Sonny Mumbunan
Tautan (links)
Rupa-rupa
RESOURCE FOR ECONOMISTSSAHABAT Anely Gara, Arianto Sangadji, Arya Gaduh, Dendi Ramdani, Dewi Candraningrum, Fadjar Thufail, Gandi Setyadi, Irvandy Syafruddin, Patricia Waluyan, Peggy Mekel, Peta Hijau Indonesia, Roby Muhamad