Tampilkan postingan dengan label Minahasa. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Minahasa. Tampilkan semua postingan

01 Mei, 2008

Minahasa dalam tempurung

Sonny Mumbunan
Komentar (Manado), 29 dan 30 April, 2008

Pernah mencoba permainan ini? Kedua kaki Anda berdiri di atas dua tempurung. Jari-jari kaki menjepit tali yang terikat di lobang kecil di tiap ujung cekung tempurung. Tempurung menggantung di bawah kaki, Anda berjalan. Ikut tali yang diatur gerak tangan.

Di tempat lain di Minahasa, orang bermain pica tampurung. Tempurung diadu tempurung. Barangsiapa lebih kuat menghantam tempurung, atau punya tempurung lebih keras, dia pemenang. Winner takes all. Tempurung si kalah berpindah tangan pada pemenang.

Tempurung bukan sekedar alat bermain. Sering ia berfungsi bahan bakar. Kadang-kadang, bagian keras buah kelapa ini jadi pemanas seterika, dan perkakas masak. Hidup sebagian besar masyarakat Minahasa –tempat saya lahir, dan tinggal– memang bergantung pada kelapa. Ekonomi, politik, dan kebudayaan.

Ambil contoh kopra. Komoditas ini sangat penting bagi ekonomi Minahasa. Akhir 1930an hampir 90 persen dari seluruh ekspor Minahasa adalah kopra, catat ahli geografi Karl Pelzer.

Kopra turut memicu pemberontakan Permesta. Ilmuwan politik Barbara Harvey, menunjukkan, bagaimana struktur pasar kopra mendorong Minahasa melawan Jakarta.

Struktur pasar kopra? Kalau sekarang pasar bebas ditolak petani cengkih, dulu sebaliknya. Ketika itu, mekanisme pasar berlangsung di Jawa. Produksi kopra di daerah ini sedikit. Sementara di timur Indonesia –produsen utama kopra– Jakarta memberlakukan monopoli. Kopra Minahasa dibayar lebih rendah dibanding harga pasar, meski punya kwaliteit lebih baik.

Penyelundupan kopra pun marak. Jakarta lalu menutup pelabuhan Bitung. Minahasa protes. “Buka ulang Bitung atau kami berontak!” adalah slogan populer sekitar Juni 1956.

Warga dan tentara Minahasa mendukung penyelundupan. Dari dana penyelundupan (baca: surplus ekspor), berbagai infrastruktur dibenahi. Jembatan. Irigasi. Gedung. Pelabuhan. Serta, tentu, jalan. 5 bulan sejak Permesta dicetuskan, 70 persen jalan diperbaiki.

Saya bermain tempurung ketika masih sekolah dasar. Di Tonsea, daerah cantik di utara Minahasa, tanah tempat kelapa tumbuh baik. Kelapa bikin masyarakatnya makmur. Sampai-sampai, Tonsea dulu pernah jadi “kuburan mobil“.

Istilah tersebut ciptaan antropolog Mieke Schouten. Daya beli yang meroket karena kopra sayangnya diikuti perilaku konsumtif. Barang-barang mewah seperti mobil dibeli. Berkembangnya industri sabun dan mentega di Eropah dan Amerika Utara kala itu, memang membuat nilai kopra tinggi.

Lalu dunia dihantam krisis besar ekonomi tahun 1930. Sebagai bagian ekonomi dunia, Minahasa ikut goncang. Harga kopra terjun bebas. Tonsea jatuh miskin. Utang bertumpuk. Mobil-mobil tak terpakai. Diparkir, tak terawat. Tampak seperti kuburan.

Biasanya saya bermain sepulang sekolah. Bermaeng tampurung sampai berkeringat. Daki bergaris-garis di kerah baju atau di leher kaos oblong. Tak jarang lecet di sela jari-jari kaki.

Sistem produksi berubah. Masyarakat berubah. Corak penggunaan sumberdaya alam juga berubah. David Henley, seorang pakar geografi, mendokumentasikan perubahan semacam itu, termasuk di Minahasa, dalam buku Fertility, Food, and Fever – Population, Economy and Environment in North and Central Sulawesi, 1600-1930.

Buku ini bahas macam-macam. Dari pola kependudukan dan pasokan pangan, sampai penggunaan lahan. Serta hubungan manusia dengan alam dalam produksi pertanian di bawah kolonialisme.

Banyak keterangan menarik dalam buku ini. Misalnya, meski di beberapa tempat tumbuh padat, tanaman kelapa pada 1930an hanya menggunakan tak sampai 10 persen dari seluruh lahan yang diubah aktivitas manusia. Berbeda dengan foodcrop seperti beras yang boros lahan.

Juga cerita lucu. Petinggi Belanda acap mengeluh, melihat kebiasaan orang Tonsea. Jatah waktu untuk perayaan rupanya lebih banyak dibanding aktivitas produktif. Terkadang sampai sembilan hari, untuk sekali acara.

Karena produksi kolonial butuh tenaga kerja, akhirnya tahun 1856, AJF Jansen, residen Minahasa yang ambisius itu, melarang apa saja yang berlangsung lebih dari tiga hari. Ia melarang acara, pesta, termasuk foso (pantangan) kerja.

Sayang, tak satu pun cendekiawan Minahasa menimbang buku sangat kaya informasi yang terbit tahun 2005. Membacanya, menjadi lebih terang gambar besar di balik rencana World Ocean Conference (WOC) 2009 di Manado. Juga Buyat dan Tokatindung, tempat maskapai mancanegara menambang dan bermasalah.

Puji syukur, pohon kelapa kini masih jadi lambang Manado, Minahasa atau Sulawesi Utara. Nanti? Entahlah.

Beberapa tahun lalu, anggaran akku mobil Gubernur Sulut berkali-kali lebih besar dari anggaran bibit kelapa. Hari-hari ini, orang bahkan berencana menyulap balai riset kelapa jadi pacuan kuda.

Perkara pacuan kuda ini bikin saya khawatir dua kali. Pertama, ia contoh baik, bagaimana privatisasi sumberdaya publik mengambil bentuk. Lahan, pajak dan APBD kita digunakan untuk memuaskan tujuan pribadi.

Kedua, rabun jauh kebijakan publik. Policy myopia. Meski pertanian nafas ekonomi Sulawesi Utara, di mata penderita rabun jauh, satu dua ekor kuda milik bupati dan walikota tampak jauh lebih penting. Dibanding puluhan ribu petani berikut keluarganya.

Pengidap rabun tak bisa membedakan prioritas. Padahal riset kelapa meningkatkan produktifitas petani dan nilai kelapa. “Pemberontak” Permesta masih lebih jago soal prioritas.

Dulu, Permesta bikin jalan dan ditembak mati. Sekarang, kita bikin baliho raksasa di pinggir jalan, dipampang foto keluarga atau kuda piaraan. Balai riset kelapa digusur untuk balapan kuda piaraan? Kalau betul, Oom Sam Ratulangi dan Oom Alex Kawilarang pasti meringis di dalam kubur.

Kelapa memang baru lambang. Belum prioritas kebijakan. Di Tonsea, 40.500 keluarga masuk kelompok tak sejahtera pada tahun 2006. Kalau data ini akurat, berarti sekitar 47 persen. Di tanah tempat kelapa tumbuh baik itu, hampir separuh keluarga adalah miskin.

Kemiskinan bukan takdir Tuhan. Seperti sapu lidi, kemiskinan adalah bikinan orang. Di tahun yang sama, seorang anggota DPRD Minut yang dulu sederhana, kini punya rumah mewah.

Pada tahun yang sama pula, anggaran rumah tangga bupati setara dengan sekitar dua pertiga PAD Minut sebelumnya. Orang Tonsea masih linglung, mengapa bupatinya digadang Komisi Pemberantasan Korupsi tersangkut kasus Kutai.

Dus, di satu sisi, rabun jauh kebijakan. Di sisi lain, salah urus sumberdaya. Di Minahasa, keduanya melingkar seperti ikan sogili kawin. Lalu meremas leher petani secara serentak. Kapasitas produktif pertanian hancur.

Hal-hal berikut tiba-tiba jadi relevan. Kenapa banyak perempuan muda keluarga petani Minahasa akhirnya menjual tubuh dan harga diri untuk bertahan hidup? Mengapa banyak orang cuma ba hoba, melenggang kangkung, dan tidak menenteng belanjaan di Boulevard Manado?

Jawabannya rumit. Tetapi logikanya gampang. Pertanian adalah penyerap utama kelimpahan tenaga kerja di desa. Pertanian penentu penting daya konsumsi masyarakat. Begitu di Minahasa. Pertanian keok? Perempuan Minahasa mungkin melacur. Boulevard bisa bangkrut.

Membagikan uang cash 20 ribu rupiah [pada masyarakat] itu mulia. Sayangnya, kemiskinan cuma pergi 20 jam. Berbeda dengan mobilisasi dana APBD untuk mendukung pengembangan masal dan modern tanaman kelapa. Dampaknya panjang dan menyeluruh.

Apalagi, bila mobilisasi dana itu dikelola secara mapalus. Secara bersama-sama.

Maksudnya? Anda dan saya, warga kota dan desa, kelompok tani, jemaat gereja, komite sekolah, menyusun rencana anggaran daerah. Kita susun RAPBD kita sendiri. Seraya berkonsultasi dengan Bapedda, Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah. Kemudian kita bawa ke DPRD dan pemerintah. Mirip yang dilakukan orang Brazil.

Saya menyebutnya MAESA, Mapalus menyusun APBD.

Maaf melebar jauh. Mari balik ke tempurung. Ternyata, permainan-permainan pembuka tulisan ini tinggal beberapa dari yang tersisa.

In menggelisahkan jurnalis Lingkan S. Wolf. “Permainan tempurung patut dihidupkan kembali,“ ujarnya sekitar 1980an dalam siaran budaya Radio Sion Tomohon. “Meskipun permainan ini statis, dibanding olahraga modern.”

Dia mengumpulkan beragam permainan tempurung. Ada sebelas macam.

Mamingkir adalah jenis permainan melempar tempurung dengan kaki sambil membelakangi sasaran. Lalu Mangombo. Di sini, pemain melompat dan dua betisnya menjepit tempurung.

Dalam permainan Manusuk, tempurung didorong dengan jari kaki. Tempurung dilempar pula dengan mata kaki (Mangomper), lutut (Mamopo), jepitan jari kaki (Mangopit) atau jepitan belakang lutut (Mameko). Mengguling tempurung sampai kena sasaran namanya Mangalaus.

Tempurung dimainkan juga sambil balik badan (Mamentir), atau tutup mata (Mamola), dan tangan mengarahkan tempurung ke sasaran. Kalau Maneinteng, tempurung diletakkan di kepala dan dikenakan pada tempurung yang disasar.

Dalam permainan-permainan ini, persaingan dan kerjasama sosial yang orisinal dan kuat mungkin terbangun. Di luar itu, permainan murah ini mewakili kecerdasan gerak dan koordinasi tubuh. Kecerdasan yang tidak ditawarkan alat modern macam PlayStation.

Sampai sini, Anda mungkin berpikir, si Mumbunan mulai nyanda ma slak, mengada-ada. Terjangkit romantisme. Ia berniat memberi nafas pada budaya lama, agar bisa berdiri dan berjalan, persis orang sedang main tempurung.

Awo, ba butul lei ni dia? Mengajak orang bermain tempurung, saat internet dan multimedia sudah kosakata sehari-hari?

Saya akan berkelit. Lalu bilang, memang tidak semua pencapaian budaya lama itu buruk. Sementara tak seluruh yang lama pas dengan kenyataan, dengan kelembagaan, dengan pengorganisasian masyarakat baru.

Dan kita punya sekarung cerita tentang masyarakat yang berubah. Bahasa Minahasa misalnya. Bahasa yang ditinggal.

Akankah nasib bahasa ini berakhir seperti permainan tempurung?

***

Penulis adalah kandidat doktor ilmu ekonomi di Universitaet Leipzig, Jerman. Catatan: Terdapat beberapa perubahan kecil dalam tulisan ini dibanding format di harian Komentar.

19 Februari, 2008

Tambang di Minahasa: LSM protes rencana DPRD Sulawesi Utara dan OC Kaligis

Sejumlah LSM melakukan protes atas rencana dengar pendapat tentang penolakan Amdal perusahaan tambang Australia di Minahasa. Dengar pendapat ini diajukan DPRD Sulawesi Utara berdasar pertimbangan pengacara OC Kaligis, kuasa hukum perusahaan tambang tersebut. Gubernur Sulut menolak perusahaan tersebut beroperasi. Sebelumnya, DPRD Sulut juga menolak. Berikut pernyataan sikap LSM.



Kepada YTH.

Ketua KOMISI A DPRD SULUT

di Manado


PETISI dan Permintaan Klarifikasi tentang Rencana Hearing Komisi A DPRD Sulut tanggal 19 Februari 2008 Sehubungan dengan Penolakan Amdal PT MSM oleh Gubernur Sulawesi Utara.

Dengan hormat,


Merujuk:


1. Surat DPRD Sulut nomor: 160/DPRD/130 tanggal 10 Februari 2003 tentang Pemberitahuan, yang intinya antara lain merekomendasikan kepada Gubernur Sulut untuk TIDAK MENERBITKAN IZIN bagi PT Meares Soputan Mining (MSM) dan PT Tambang Tondano Nusajaya (TTN), fotocopy terlampir;


2. Surat Gubernur Sulawesi Utara nomor: 660/209/Sekr tanggal 2 Februari 2007 tentang Tanggapan Hasil Penilaian Dokumen Amdal PT MSM dan PT TTN yang intinya adalah Amdal PT MSM dan PT TTN Tidak dapat disetujui oleh Gubernur Sulut, fotocopy terlampir;


3. Surat DPRD Sulut nomor: 160/DPRD/84 tanggal 26 Maret 2007 tentang Dukungan DPRD terhadap Sikap Gubernur mengenai Penolakan dokumen Amdal PT MSM dan PT TTN, fotocopy terlampir;


4. Hasil hearing Komisi A,B,C dan D tanggal 9 Agustus 2007 dengan beberapa NGO yaitu Ammalta Sulut, Yayasan Suara Nurani, Walhi Sulut, Majelis Adat Minahasa, Perkumpulan Kelola, dan masyarakat yang bersengketa tanah dengan PT MSM (foto-foto terlampir); Adapun hasil hearing tersebut adalah mendukung sikap Gubernur Sulut dalam menolak Amdal PT MSM dan mempertanyakan sikap Dirjen Minerba Dep. ESDM, sdr Simon Sembiring yang menganalogikan pemerintah dan rakyat Sulut sebagai kambing-kambing;

Dengan ini kami memprotes, sekaligus meminta klarifikasi Komisi A tentang rencana hearing Komisi A DPRD Sulut atas penolakan Gubernur Sulut terhadap dokumen Amdal PT MSM dan PT TTN karena hal-hal sebagai berikut:


1. Bahwa surat DPRD nomor: 160/DPRD/130 tanggal 10 Februari 2003, diinisiasi oleh Komisi A;


2. Bahwa sikap Dewan Perwakilan Rakyat Sulut sebagaimana dimaksud surat DPRD Sulut nomor 160/DPRD/84 tanggal 26 Maret 2007, serta hasil hearing lintas komisi tanggal 9 Agustus 2007, adalah sikap resmi DPRD Sulut dimana Komisi A sudah termasuk didalamnya;


3. Bahwa menurut PP Nomor 27 tahun 1999 tentang Amdal, terdapat beberapa cacat hukum dalam dokumen amdal PT MSM dan PT TTN, antara lainnya bertentangan dengan ketentuan hukum yang dimaksud pasal 8 s/d pasal 12 PP Nomor 27 tahun 1999; Sehingga oleh karenanya, alasan-alasan yang diajukan oleh Advokat OC. Kaligis tentang Amdal PT MSM telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan, patut diragukan dan dipertanyakan;


4. Bahwa rencana hearing Komisi A DPRD Sulut terhadap kasus ini, menurut kami adalah sikap inkonsistensi Komisi A DPRD Sulut sebagai lembaga politik yang seharusnya mempertahankan kehormatannya; Bahkan menurut beberapa kalangan, agenda hearing tersebut memiliki korelasi dengan analogi Sdr. Simon Sembiring tentang Pemerintah dan rakyat Sulut sebagai kambing-kambing;


Demikian penyampaian kami, atas perhatiannya diucapkan terima kasih.


Hormat Kami,

David Katang (Aliansi Masyarakat Menolak Limbah Tambang (AMMALTA) Sulut, Jull Takaliuang (Yayasan Suara Nurani), Yahya Laode (Walhi Sulut), Decky Tiwow (Perkumpulan Kelola).

Tembusan:
1. Menteri Dalam Negeri RI di Jakarta; 2. Gubernur Provinsi Sulawesi Utara di Manado; 3. DPP Partai Golkar di Jakarta;
4.DPP PDIP di Jakarta; 5. DPP PKB di Jakarta; 6. DPP PKS di Jakarta; 7. DPP PDS di Jakarta; 8. DPD Partai Golkar Sulut di Manado; 9. DPD PDIP Sulut di Manado; 10. DPD PKB Sulut di Manado; 11. DPD PKS Sulut di Manado; 12. DPD PDS Sulut di Manado



Catatan


Perusahaan MSM (Meares Soputan Mining Offshore Pty. Ltd) dan TTN (PT Tambang Tondano Nusajaya) adalah dua anak perusahaan Aurora dari Australia. MSM berencana melakukan eksploitasi tambang di kawasan seluas 8,9 ribu hektar di Bitung dan Minahasa Utara. Sementara TTN, seluas 30,2 ribu hektar di Minahasa Utara.


85 persen saham Aurora dijual kepada Archipelago Resources PLC (terdaftar di Inggris), bulan Februari 2002. Para pemegang saham Archipelago Resources antara lain Ocean Resources Capital Holdings (Australia), John Colin Loosemore, Michael Norman Arnett dan istri.


Sejak Agustus 2005, Archipelago Resources dikelola oleh Ambrian Partners Ltd London yang memperoleh dana untuk konstruksi tambang di Toka Tindung, Sulawesi Utara. Bulan Maret 2006, perusahaan ini memperolah pendanaan dari NM Rothschild & Sons (Australia). Perusahaan yang lazim dikenal dengan Rothschild.


Sumber: www.save-lembeh.info



15 Januari, 2008

Cerita karung

S Mumbunan

Ekornya pasti berputar-putar, kapan saja ketemu Mince. Bleki, pemilik ekor itu, adalah anjing yang tak bisa diam. Tetapi, tak tampak ekor yang berputar dua hari terakhir ini.

“Ma, nya lia pa Bleki?“, tanya Mince pada ibunya yang sedang menumis kangkung.1

“So pi tanya pa Om Kale? Kage stou da pi pa dorang”.2

Mince tahu, Bleki tak bakal melakukan itu. Kemungkinannya kecil, kalau bukan nol. Om Kale, tetangga mereka itu, memang kerap dikunjungi Bleki, meskipun tidak sampai lama. Tak pernah lewat petang. Tak pernah sampai siutan Mince berbunyi tiga kali.

Bleki merupakan anjing hadiah. Ia diberikan paman Mince di Sonder, sebuah tempat di dataran tinggi Minahasa, yang dirimbuni pohon cengkih.

Anjing ini buah keringat lelah. Imbal kerja Mince memetik cengkih. Dua karung penuh berhasil Mince petik menggunakan tangga, dirajam terik matahari. Saat pindah tangan, anjing hitam pekat itu belum berumur satu bulan.

“Na urus bae-bae pa dia, neh”, titip pamannya. 3

“Rajing ja se mandi, supaya nyanda bakutu”. 4

Bleki serupa cermin Mince. Ketika perempuan ini kena demam berdarah dan mesti dibawa ke Puskesmas, Bleki murung. Saat Mince girang selesai menjuarai lomba menyanyi antar gereja setempat, Bleki ikut gembira. Di depan gereja, Bleki tak henti menghidung-hidung betis Mince, sampai-sampai tungkai kaki Mince yang jenjang dan temaram, seperti ketela yang baru dikupas, terlihat dibalik rok.

Di mana Mince ada, disitu ditemukan Bleki. Mereka menempel terus laiknya permen karet. Di pasar. Di sungai. Di gereja. Di mana-mana.

Bila malam tiba, Bleki mengerutkan badannya di bawah tempat tidur Mince, di atas tumpukan karung kosong bekas beras ransum. Ibunya Mince menerima sekarung beras dari SD Inpres tempat ia mengajar, setiap kali akhir bulan tiba. Bleki baru bersedia menuju kolong, sesudah Mince menggaruk-garuk manja lehernya.

Tadi malam, tak terdengar sesungutan Bleki dari kolong tempat tidur.

***

Malam sebentar lagi datang mengakhiri hari. Kendaraan umum paling akhir baru saja meninggalkan terminal kecamatan. Suara ojek sesekali terdengar memecah sunyi. Tak seberapa jauh dari terminal, sekelompok anak muda tampak duduk melingkar.

”Kiapa dang kong pe lanut bagini?”, tanya salah satu di antara mereka. 5

Mulutnya monyong dengan salah satu tangan menarik-narik daging di antara jepitan gigi-giginya.

“Pe mai deng ngana, badiang jo!,“ timpal kawan di sampingnya. 6

“Cuma tau makang lei, banya mulu”, tambah seorang yang lain, dari seberang meja. 7

“Da suru pi ambe rica deng pongpong tadi, na cuma pi tidor di dego-dego“, ketusnya, dengan suara meninggi. 8

Yang lain tertawa. Terkekeh-kekeh, hampir-hampir nyaris tersedak.

“Eh kapista, leng kali, ngana tu pegang karong. Nanti kita tu toki di kapala”. 9

Malam telah menjadi genap. Angin satu dua kali membawa sayup-sayup suara mereka sampai terminal. ***


Januari 2008.


Catatan kaki

[1] Mama, tidak lihat si Bleki?

[2] Sudah menanyakannya pada Om Kale? Barangkali [Bleki] pergi ke sana.

[3] Kau urus dia baik-baik, ya.

[4] Rajin dimandikan, supaya tak banyak kutu.

[5] Kok, [dagingnya] kenyal begini?

[6] Sialan kau, tutup mulutmu!

[7] Cuma tahu makan saja, banyak omong.

[8] Tadi, disuruh mengambil cabe pedas dan daun kemangi (basilikum), kau cuma pergi tidur di meja jualan (SM: dego-dego = meja yang lazim digunakan di pasar umum, terbuat dari bambu atau kayu).

[9] Eh bangsat, lain kali, kau yang pegang karungnya. Nanti aku bagian memukul kepala [anjing].


Foto Minahasa



Danau Tondano dan kolam terapung (Foto: S Mumbunan)


Petani Minahasa (Foto: S Mumbunan)





Gunung Klabat, tampak di kejauhan (Foto: S Mumbunan)





Bibit pohon cengkih (Foto: S Mumbunan)




19 Desember, 2007

Korupsi Kukar, korupsi Minut

Harian Komentar (Manado), "Mumbunan: Kasus Kutai Kartanegara-Minut miliki kesamaan", 23 Maret 2007.


Dugaan korupsi Bupati Kutai Kertanegara (Kukar) HR Syaukani yang belakangan juga turut menyeret Bupati Minahasa Utara (Minut) Vonnie Panambunan sebagai saksi mendapat perhatian serius masyarakat.

Kandidat doktor ilmu ekonomi Universitas Leipzig, Sonny Mumbunan, yang juga warga Minut menyatakan dari telaahnya ada kesamaan antara kasus korupsi Syaukani dengan beberapa dugaan penyimpangan pemanfaatan dana publik di Minut.


Modus korupsi dengan memobilisasi sumber daya masyarakat secara sepihak dan relatif tertutup melalui atau dengan mendagangkan aset pribadi pada negara untuk memburu keuntungan melalui penggelembungan nilai pengadaan barang sebagaimana di Kutai Kertanegara pantas diduga terjadi di Minut, ujar Mumbunan.


Secara khusus, Mumbunan menunjuk kasus rumah sakit di mana diduga terjadi penggelembungan nilai beli tanah jauh di atas kewajaran Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Serta, pembelian itu dilakukan tanpa kajian memadai, termasuk rencana relokasi SMP Negeri 1 Airmadidi, salah satu situs pendidikan bersejarah.

Bila kondisinya demikian, jelas berpotensi merugikan negara dan menghilangkan kesempatan masyarakat memperoleh sarana dan layanan lebih optimal dari jumlah satuan sumber daya yang sama, papar Mumbunan.


Sementara ditanggapi aktivis Center for Alternative Policy (CAP) Pitres Sombowadile, ada baiknya KPK membuka slot penyelidikan baru atas pola dugaan penyelewengan sumber daya publik di Minut. Apalagi, ucapnya, kasus RS Airmadidi pernah dalam penyelidikan kejaksaan.


Sangat tepat bila KPK mengambil alih kasus itu, karena hubungan modus dengan kasus Kutai Kertanegara dan Bupati Minut juga salah satu figur yang turut diperiksa dalam kasus Syaukani, kata mantan Direktur Eksekutif Yayasan Suara Nurani, Tomohon ini.


Dirinya juga mempertanyakan Polres Minut yang menjadikan Mumbunan sebagai tersangka pencemaran nama baik dan penghinaan pejabat negara.


Upaya polisi bisa ditafsir mengkriminalisasi partisipasi masyarakat dalam pemberantasan korupsi, yang jelas-jelas dijamin UU Nomor 31 Tahun 1999, UU Nomor 28 Tahun 1999 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dan Ketetapan MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, katanya. (von)

Bupati Minahasa Utara gugat warga sendiri

Harian Komentar (Manado), "Bupati Minut gugat lima warganya milyaran rupiah", 3 Mei 2007.


Bupati Minahasa Utara (Minut), Vonnie Anneke Panambunan secara resmi melayangkan gugatan kepada lima warganya masing-masing Sonny Mumbunan, Noris Tirajoh, Christian Kawatu, Stenly Kandou, Toar, dan turut tergugat Peggy Mekel melalui PN Manado.

Gugatan yang dilayangkan Panambunan tersebut dengan nomor perkara 79/Pdt. G/2007 disampaikan melalui penasehat hukumnya Hari Purwadi SH dan Ali Antonius SH.

Dalam gugatannya tersebut, Panambunan dinyatakan tersinggung dengan kegiatan diskusi yang digelar tergugat yang difasilitasi Komite Rakyat Minut pada awal Maret 2007 lalu. Di mana dalam kegiatan tersebut para tergugat mengangkat tema ‘Merampok Minut? Korupsi Sumber Daya Publik dan Pemerintahan Vonnie Panambunan’.

Mereka dinilai telah melakukan pencemaran nama baik sehingga melanggar Pasal 1365 dan 1372 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHP).

Mereka juga dalam kegiatan tersebut menyinggung bahwa Panambunan terlibat dalam dugaan korupsi Bupati Kutai Kertanegara, H Syaukani yang kini sedang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Selain itu pengalihan aset pribadinya menjadi aset Pemerintah Kabupaten Minut juga dikatakan dengan membuat transaksi yang telah membebani rakyat.

Dalam gugatan tersebut, karena merasa tercemar nama baiknya, Panambunan memintakan ganti rugi Rp 3 miliar kepada tergugat I dan II sementara tergugat III sampai V dimintakan Rp 1 miliar.

Selain itu, jika putusan diterima mereka juga diminta membayar Rp 100 ribu per hari sampai ganti rugi dibayarkan. Persidangan perkara tersebut pekan ini se-benarnya sudah memasuki agenda jawaban tergugat yang diwakili penasehat hukum Maharani SH. Namun pihak tergugat belum bisa menghadirkan jawabannya sehingga sidang ditunda pekan mendatang. (gra)

***


Baca juga berita terkait ...

Korupsi Kukar, Korupsi Minut [ klik sini ]

PAD bocor di Pasar Airmadidi, Minahasa [ klik sini ]


***

PAD bocor di Pasar Airmadidi, Minahasa

Harian Komentar (Manado), "Hindari kebocoran retribusi pasar, dibutuhkan profesionalitas", 7 Maret 2007.

Catatan: Airmadidi adalah ibukota kabupaten Minahasa Utara, di Sulawesi Utara.


Kemampuan keuangan daerah memang tak dapat lepas dari Pendapatan Asli Daerah (PAD). Oleh karena itu, PAD menjadi satu-satunya pendapatan yang diandalkan oleh daerah.


Dengan demikian, sumber PAD yang ada harus dikelola secara maksimal dan profesional. Sebab, ini menyangkut kelangsungan jalannya roda pemerintahan dan pembangunan daerah. Namun sayangnya sumber-sumber penghasil PAD yang ada di Pemkab Minut dewasa ini, contohnya seperti Pasar Airmadidi, justru banyak mengalami kebocoran.

Sehingga tidak mengherankan jika dalam satu tahun, tepatnya laporan tahun 2006, tarikan retribusi pasar hanya mampu menyetor sekitar Rp 70,1 juta. Padahal idealnya, jika retribusi pasar ini dikelola dengan baik mampu menghasilkan sekitar Rp 600-800 juta per tahun. Bahkan dapat berpotensi mencapai Rp 1 miliar.


Data tersebut merupakan hasil riset yang dapat dipertanggungjawabkan. Di mana didasarkan pada kriteria, Pasar Airmadidi merupakan pasar kelas satu yang tentu saja mampu menghasilkan PAD antara Rp 600-800 juta, ujar ekonom asal Minut, Sonny Mumbunan, yang saat ini merupakan kandidat doktor di Universitas Leipzig, Jerman, kepada wartawan, Selasa (06/03) kemarin.


Lebih lanjut, Mumbunan menerangkan, bahwa penyebab kebocoran tarikan retribusi tersebut disebabkan oleh sejumlah hal, antara lain, rendahnya tingkat pengumpulan retribusi baik dari sisi pedagang maupun petugas pasar yang sama-sama tidak melakukan kewajibannya. Bahkan tidak membayar retribusi sesuai ketentuan yang ada.

Sementara itu, dari sisi otoritas pemungut retribusi atau dinas pasar di Pasar Airmadidi, diduga bahwa penyebabnya adalah penerimaan yang sudah diatur sesuai perda tidak dijalankan sebagaimana mestinya. Demikian juga dengan rendahnya upaya pemungutan retribusi. Hal-hal seperti ini semestinya akan dapat dihindari jika ada pengelolaan yang profesional, tukasnya kembali.


Di sisi lain, Mumbunan juga mengingatkan bahwa semua masalah tersebut dapat diatasi apabila tingkat pengumpulan retribusi pedagang di Pasar Airmadidi yang jauh dari tingkat potensialnya, dilakukan perbaikan.


Yakni dengan solusi pembuatan kebijakan yang meliputi struktur insentif yang mendorong atau memfasilitasi usaha maksimalisasi pemungutan retribusi hingga mendekati nilai potensialnya. Dan tentu saja satu hal yang harus dilakukan adalah evaluasi retribusi tambahnya.(eda)














Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar