19 Juni, 2008

19 Juni

Hari ini, saya tak berharap apa-apa. Biarlah ia serupa hari-hari lain. Hari ini pun saya ingin sendiri. Pagi masih begitu belia, saat saya menulis baris-baris berikut.

Karibku tunas-tunas.
Reranting muda.
Dan jejalar akar.

Siang hari, saya ke pusat kota. Bercelana pendek, berkaos oblong, bersandal jepit. Leipzig begitu ramah hari ini. Tak ada awan menggantung di atas kota. Matahari bersinar penuh.

Saya berjalan tanpa rencana apapun. Seusai makan siang di Mensa, kantin bersubsidi milik universitas, saya singgah di toko buku Lehmanns. Saya ingin duduk di kursi empuk, di lantai paling atas toko buku itu, sambil menyeruput coklat hangat. Kali ini tak ada buku serius yang saya ambil - cuma majalah Der Spiegel.

Dari perang ke perang, judul Spiegel minggu ini. Gambar hitam putih dengan foto panser berbaris berhadap-hadap, menjadi sampul. Berlin, September 1961, adalah sebuah drama mencekam. Antara AS dan Soviet. Syukur tak ada senjata yang sampai menyalak. Thomas Schelling, penerima hadiah Nobel Ekonomi, bilang bahwa pimpinan Soviet, Kruschev, sekadar menggertak. Dus AS tak perlu melecut senjata nuklir sebagai jawaban. Schelling tokoh penting di belakang layar drama itu.

Drama itu mirip interaksi dalam Teori Permainan (Game Theory). Dan tanpa sisi manusia, teori ini hanya mampu menganjurkan saling hantam dan baku bumihangus. Schelling akurat dan John von Neumann, raksasa lain teori permainan, keliru: Soviet tak jadi mencaplok Berlin barat. Sebagai gantinya, berdiri Tembok Berlin. Von Neumann ngotot agar Berlin timur digempur.

Saya tak utuh membaca majalah itu. Sekali ini saya sekedar melihat-lihat gambar dan membaca caption-nya. Sebelum meninggalkan toko buku, saya mencari dan membayar selembar kartu pos. Saya ingin mengirim kartu terima kasih untuk kenalan saya di Praha, Republik Ceko, yang sudah menjamu ramah, menemani saya di kotanya seminggu lalu.

Dalam dua bulan terakhir ini, saya sakit-sakitan. Kalau ada yang bisa disyukuri, pastilah bahwa hari ini saya sehat. Keluar dari toko buku, saya melepas sandal. Memasukannya ke kantong. Dingin sejurus terasa di telapak kaki, ketika mengayun kaki di jalan yang tertutup bayangan gedung; hangat, saat menginjak jalan yang disinari matahari. Saya menuju rumah. Menyusuri kota, jalan, gang, taman - tanpa alas kaki. Tusukan kerikil-kerikil kecil di kaki adalah kemewahan.

Malam hari, tim nasional Jerman akhirnya menunjukan satu dari sekian Deutsche Tugenden (German virtues) milik negeri ini: berdisiplin. Sebuah laga yang memikat dan Jerman menghentikan Portugal, 3-2. Melewati malam, di sela-sela mengetik, saya memerhatikan lirik Navy Taxi yang sangat sederhana dan jujur... it's your life and it's no one else's, sweetheart.

Hari baru sudah mengetuk jendela kamar, saat saya selesai menulis catatan ini. Semoga mentari kembali bersinar penuh.

***

3 komentar:

kucing mengatakan...

hihihi... Just like me when "celebrating" b'day. :P

happy belated birthday pal. ^__^

blessing, blessing, blessing~~~~~

amen.

Anonim mengatakan...

Honey, mentari itu telah bersinar penuh kembali kan ?
Bukan semoga, itu pasti.

Anonim mengatakan...

better late than never.... happy 17th bday ;)












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar