09 Juni, 2008

Belajar di Lisabon

Cerita tentang rumah dempet di Portugal, limbah tambang Newmont, dan cendekiawan yang dilelang sebagai budak. Serta, nasib ilmu ekonomi dan mengapa ecological economics berbeda dengan environmental economics.

Kereta kota melintas di Alfama (Foto: Sonny M)

Lisabon adalah kota yang unik. Berbukit-bukit. Di atas topografi kota yang tidak datar, tegak bangunan-bangunan cantik.

Waktu saya masih kecil, ibu saya bercerita tentang Bartolomeus Diaz dan Vasco de Gama, para penakluk dari Portugal itu. Imperialisme Portugal berjaya di abad ke-15. Ekspansi lewat laut itu ditopang perdagangan yang telah berkembang satu abad sebelumnya. Sepah-sepah kemakmuran dan kejayaan tersebut tercermin dari arsitektur kota, terutama gapura di Baxia. Di mana-mana di Lisabon tampak monumen.

Simbol Kristen lekat dengan imperialisme itu. Sungguh menarik, sebelumnya, pada abad ke-8, imperialis yang lain menguasai Portugal dengan bendera Islam: kaum Moor. Mereka menguasai Eropah di semenanjung Iberia yang meliputi Spanyol, Portugal, Gibraltar dan sebagian Perancis. Kelindan antara agama dan penaklukan memang kisah celana tua. Silih berganti sepanjang masa. Imperialisme Islam itu meredup pada era yang disebut Reconguista atau penaklukan kembali oleh imperialisme Kristen.

Saya berkunjung ke kastil di Sintra. Letaknya di timur laut dari Lisabon. Di puncak bukit. Kastil itu dibangun abad ke-9 oleh kaum muslim Moor. Kini sudah hancur dan tinggal benteng yang tersisa. Meski musim panas, angin bertiup kencang di sana. Awan menggelayut di atas bukit. Sepulang dari Sintra, saya didera batuk.

Saya suka Miradouro Nossa Senhora do Monte. Ini titik tertinggi di Lisabon. Boleh jadi titik paling cantik. Saya maklum, mengapa banyak orang betah berlama-lama di sana, walau angin bertiup sedikit kencang. Pemandangannya luar biasa indah. Rumah-rumah penduduk tersusun sedemikian rupa, membentuk struktur yang tak lazim. Sepertinya, setiap bangunan punya tempat untuk muncul. Ada juga kastil yang menyembul dari muka lanskap kota.

Sebagian orang hanya sekedar duduk di sana. Sebagian lain pacaran. Menyaksikan mereka, saya jadi ingat pacar saya di tempat jauh.

Mata saya menggerayangi hamparan kota. Di tengah hamparan itu, sungai Rio Tejo membelah kota. Sungai yang lebar, sekitar 2 kilometer. Di seberang sungai adalah bagian selatan kota Lisabon. Kampus Universidade Nova de Lisboa berada di situ, di kawasan Monte de Caparica.

Saya menghabiskan waktu di universitas ini selama dua minggu. Dari 26 Mei sampai 7 Juni, 2008. Saya ikut Marie Curie Summer School in Emerging Theories and Methods in Sustainability Research (THEMES). Saya mendapat beasiswa Marie Curie dari Komisi Eropa untuk sekolah musim panas ini. Curie adalah nama pemenang dua Hadiah Nobel – fisika tahun 1903 dan kimia tahun 1911.

Kuliahnya padat dan melelahkan, tapi menyenangkan. Senin sampai Sabtu, dari jam 9 pagi sampai 6 sore. Beberapa sesi diakhiri dengan debat antar dosen. Ada 40 peserta. Sebagian besar merupakan peneliti muda yang sedang riset doktoral atau post-doktoral di Eropah dan Amerika Utara.

Para dosen adalah peneliti garis depan untuk Ecological Economics. Apa beda antara Environmental Economics dengannya? Sahabat saya, seorang perempuan cantik dari Spanyol dan salah satu peserta sekolah musim panas, menjelaskannya dengan menarik.

Bayangkan satu kotak korek api dan sebuah kotak sepatu. Dalam Environmental Economics, alam adalah kotak korek api di dalam kotak sepatu. Bila lingkungan hidup hancur, ekonomi tetap baik-baik saja. Alam adalah bagian ekonomi.

Sebaliknya, dalam Ecological Economics, andai lingkungan hidup rontok, ekonomi ikut kolaps. Alam adalah kotak sepatu dan kotak korek api bernama ekonomi ada di dalamnya. Di sini, ekonomi adalah bagian dari alam. Ekonomi ada dalam ekosistem biofisik. Interaksi antara ekologi, ekonomi, manusia dan masyarakat adalah fokus Ecological Economics.

Kota Lisabon dari Miradouro Nossa Senhora do Monte (Foto: Sonny M)

Para pengajar antara lain Arild Vatn dari Norwegian University of Life Science. Ia penulis buku Institutions and the Environment, “kitab suci” mereka yang belajar kelembagaan dalam pengelolaan lingkungan hidup. Silvio Funtowicz juga mengajar. Matematikawan dan filsuf ini adalah peneliti di lembaga riset Komisi Eropa di Ispra, Italia. Orang mengenalnya karena konsep post-normal science. Funtowicz memberi kuliah tentang persinggungan antara sains dan kebijakan. Setiap jeda, saya menghabiskan banyak waktu bersama Silvio.

Kami diskusi rupa-rupa. Silvio berbicara runtut dan hati-hati. Tak jarang, ia mengulang pertanyaan saya, agar strukturnya menjadi terang. “Ada baiknya, kamu baca Toxic Torts” katanya satu waktu tentang buku karya Carl Granor. Kami sedang mendiskusikan Newmont, saat usul itu muncul. Produsen emas terbesar di dunia ini bermasalah di kampung saya, di Minahasa. Ia dituding mencemar Teluk Buyat.

“Kamu coba nonton Rashomon,” ujarnya di lain waktu. Rashomon adalah film karya Akira Kurasawa, berputar pada seorang perempuan yang diperkosa, dan suaminya dibunuh. Setelahnya, pembuktian menjadi sulit – kalau bukan tidak mungkin – sebab begitu banyak cerita yang saling berkompetisi, dan sama-sama absah, tentang kasus tersebut.

Film Rashomon diajukan Silvio, sebab saya bertanya ihwal peran sains dalam meneguhkan ketakpastian, uncertainty, dalam mengambil keputusan. Seperti Newmont yang mengajukan sederet hasil riset oleh ahli-ahlinya sendiri untuk membuktikan, mereka bukan pencemar di Buyat, mementahkan bukti-bukti yang diajukan nation-state Indonesia. Dulu di Manado, saya pernah tertidur saat nonton Ran, karya Kurasawa lainnya. Saya terbangun ketika orang mulai beranjak meninggalkan bioskop. Pengetahuan Silvio luas. Darinya, saya juga jadi lebih paham konteks gagasan Habermas, filsuf Jerman, tentang deliberasi dalam pengambilan keputusan.

Setiap peserta sekolah musim panas mesti menulis satu paper bersama. Saya, bersama mahasiswa dari University of Copenhagen dan University of Leeds, menulis tentang pendekatan methodological individualism dan social constructivism untuk konservasi air di Eropah. Dua konsep penting dalam ilmu sosial. Yang pertama mengacu pada anggapan bahwa tindakan manusia merujuk pada kepentingan diri. Yang disebut belakangan, beranggapan bahwa preferensi turut dibentuk kenyataan sosial.

Tipologi tersebut milik Arild Vatn. Saya melihatnya sebagai problematis, sekurangnya karena dua hal. Pertama, social preferences bisa dijelaskan dengan pendekatan methodological individualism. Kedua, ketika kategorisasi “I” dan “We” dibuat Arild, ini mengabaikan dimensi, bahwa perilaku egois bisa mendominasi relasi sosial yang berkarakter kolektif sekalipun.

Bidang ilmu experimental economics punya banyak bukti tentang hal terakhir ini. Terutama, ketika komunikasi sesama pelaku dan kemungkinan untuk menghukum pelaku yang merugikan publik, tidak tersedia. Saya berencana menulis paper tentang kritik ini dengan menggunakan konteks Payment for Ecosystem Services (PES) dan pengaruh kemiskinan dalam konservasi sumberdaya alam.

"Tapi, apa bangunan kelembagaan baru yang bisa diusulkan dari kritik itu?” tanya dia.

“Saya belum sampai di situ, Arild” jawab saya, tersenyum.

Satu malam, selepas makan malam di restoran Terra di kawasan Bairro Alto, saya memilih pulang jalan kaki. Malam itu begitu tenang dan bintang-bintang berpendar di langit. Sepanjang hari, berhari-hari, saya cuma duduk. Ada baiknya jalan kaki, pikir saya. Arild rupanya juga memilih jalan kaki.

Kami lalu bercakap banyak hal. Saya merasa begitu nyaman berdiskusi dengannya.

“Menurutmu, bagaimana masa depan ekonomi neoklasik?”

Saat bertanya, nafasnya agak tersengal-sengal. Jalan yang kami susuri menaik. Kami memang menghindari jalan utama Avenida da Liberdade, memilih jalan-jalan tikus yang menanjak. Dinding-dinding gedung kuning temaram oleh lampu jalan. Sesekali mobil melintas.

Saya tak segera menjawab. Saya memikirkan beberapa skenario jawaban dan kemungkinan tanggapan dia.

“Tidak punya masa depan,” jawab saya seraya melakukan provokasi. Sambil melepas jaket, dengan nafas tersengal-sengal, saya mengajukan beberapa bukti dari ekonomi eksperimental. Berjalan telah membuat kaos saya basah oleh keringat.

“Mudah-mudahan, dalam 20 tahun kedepan, pendekatan ekonomi berubah drastis,” saya menambahkan. “Terutama, karena serangan paling tajam kini datang dari dalam ilmu ekonomi, dengan memakai metodologi serupa.”

Dia tertawa kecil. Sambil mengatur nafasnya, dia memberi jawaban diplomatis. "Mereka - ekonom neoklasik - akan mendifinisikan perubahan tersebut dalam pemahaman mereka sendiri."

Hari sudah larut malam saat kami sampai di hotel.

Pengajar lain adalah Clive Spash, presiden European Society for Ecological Economics, dosen Universitas Cambridge, UK. Saya suka bagaimana dia mempertajam dimensi preferensi bahwa orang punya pilihan yang tidak bisa dipertukarkan dengan pilihan lain yang tersedia, biarpun diberi ganti rugi. Misalnya, “saya tidak merokok,” atau “saya tidak bisa melihat hutan Kalimantan gundul.” Preferensi macam ini tidak berubah, tidak memiliki trade-off, tidak bisa dikompensasi.

Ilmu ekonomi menyebut ini sebagai lexicographic preference. Ilmu ekonomi neo-klasik beranggapan – secara keliru, tentunya – terdapat tingkat tertentu dimana preferensi tersebut bisa dinyatakan (stated preference). Sesat pikir semacam ini nyata dalam penggunaan perangkat seperti Contingent Valuation (CV) atau Cost and Benefit Analysis (CBA) dalam melakukan valuasi sumberdaya alam.

Saat memberi kuliah, Clive sangat serius. Di luar itu, dia kocak. Satu waktu, dia duduk di samping saya, saat kuliah oleh pengajar lain. Tiba-tiba, dari laptopnya keluar seekor serangga mungil. “Eh, dia ikut saya tanpa beli tiket pesawat,” katanya sambil berbisik pada saya. Kami sontak tertawa sama-sama, sambil menutup mulut dengan tangan agar kelas tak sampai gaduh.

Dahaga keingintahuan saya turut dipuaskan para pengajar lain. Giuseppe Munda dari Universitat Autonoma de Barcelona menjelaskan multi-criteria analysis. Ia suka bercanda ketika memberi kuliah. Felix Rauschmayer dari Helmholtz-Centre for Environmental Research (UFZ) Leipzig, Jerman, memberi kuliah panjang lebar tentang “needs” dalam keragaman preferensi. Para peneliti dari Universidade Nova de Lisboa, Portugal, membawa system dynamics ke dalam kelas. Sungguh memikat, bagaimana partisipasi sosial ditanam ke dalam konsep ini.

Tetapi, Lisabon terlalu cantik untuk dibiarkan habis bersama hal-hal yang bikin kening mengkerut. Kota ini, misalnya, surga bagi penggemar ikan laut. Saya menikmati Salmon dan Bacalhau. Saat berada di Lisabon, nelayan setempat melakukan demonstrasi karena kenaikan harga BBM. Harga minyak dunia memengaruhi banyak orang.

Sesekali saya pergi ke kawasan Baixa-Chiado. Ada tempat nongkrong di sana. Ada musisi jalanan. Ada banyak Cafe yang nyaman. Saya duduk, melihat orang lalu-lalang, menikmati kota yang berdenyut sambil melepas mentari menutup hari. Ada shoping mall di satu sudut jalan. Toko buku bahasa Inggris “fnac” ada di dalamnya. Saya membeli The White Castle karya Orhan Pamuk. Buku tentang seorang cendekiawan Italia yang dijual sebagai budak. Saya menikmati cara penulis Turki ini bertutur. Tahun 2006 Pamuk memenangkan Nobel Sastra.

Di lain waktu, bersama peserta lainnya, kami ke Onda Jazz, sebuah cafe di jalan Orca de Jesus. Teman saya bermain musik di situ. Kami melepas penat dengan dansa. Batas – kalaupun ada – antara profesor dan mahasiswa melebur ditelan jazz dan lagu para musisi lokal. Lucu juga melihat para profesor berdansa. Lewat tengah malam, kami kembali ke hotel.

Saya juga bertemu mahasiswa dari Timor Timur. Saya sedang membeli tiket kereta menuju Belem ketika kami berjumpa. Belem adalah kawasan historis di samping sungai Rio Tejo. Dia antri di depan saya. Namanya Natalino. Belajar geografi di Universidade Católica Portuguesa. Sudah 20 tahun dia mukim di Lisabon. Ia tidak bisa berbahasa Indonesia.

Orangnya ramah. Ia memberi nomor telepon pada saya. “Kalau-kalau kau butuh bantuan di Lisabon,” katanya sambil melepas senyum. Barisan gigi putih tampak rapih di balik bibir tebalnya. Saya punya kedekatan pribadi dengan Timor Lorosae. Tahun 1997 saya mengunjungi Dili. Saya mendukung referendum di Tim-tim untuk penentuan nasib sendiri.

Jelajahi kawasan Alfama bila mampir ke Lisabon. Ini bagian kota yang sarat dengan rumah-rumah berdempet dan jalan sempit. Saking sempit, andai kereta kota lewat, kadang pejalan kaki harus menempelkan tubuh di dinding bangunan. “Kamu bakal tersesat di sana, Sonny,” kata Fraincais, sahabat saya dari Perancis, kimiawan peneliti metabolisme sosial. Apa yang harus saya lakukan bila tersesat? “Kamu nikmati saja ketersesatan itu,” timpalnya sambil tertawa.

Agaknya saya kini sedang tersesat dalam perjalanan intelektual saya. Mirip cendekiawan yang dijual sebagai budak di Istanbul dalam karya Orhan Pamuk itu.

Obrigado, Lisboa! Barangkali saya hanya perlu menikmati ketersesatan itu. ***


Update (1/07/2008)

Greenpeace Magazin edisi Juli dan Agustus, 2008, menulis, ikan Cabalhau berada di urutan pertama daftar kritis ikan laut yang terancam punah. Bagi penggemar ikan ini, tak tersedia alternatif. Salmon dan tuna juga masuk daftar kritis, tetapi mereka punya alternatif. Salmon telah dibudidaya. Sementara ikan tuna, jenis skipjack terdapat pasokan memadai. Saya memutuskan tak lagi memakan Cabalhau.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hi sonny, satu lagi garis muncul di testa karena banyak istilah baru..... but, i can't stop reading... this is a nice one :)












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar