Sonny Mumbunan
Kompas, 21 Oktober 2008
Kok bisa, Mercedes- Benz, mobil Jerman itu, dijual di Jepang sementara Toyota dipasarkan di Jerman?
Pertanyaan ini sulit dijelaskan teori perdagangan yang bersandar pada prinsip keunggulan komparatif. Seperti dikemukakan David Ricardo awal abad ke-19, negara unggul bertani sebaiknya fokus pada pertanian; negara efisien bikin baju lebih baik memusatkan diri pada tekstil. Berdagang dua barang berbeda, kedua negara bakal sama-sama untung, demikian menurut teori perdagangan lama.
Ekonom Amerika Serikat, Paul Krugman, diganjar Nobel Ekonomi tahun ini untuk sumbangannya memahami perdagangan mobil seperti di atas.
Kita tahu, perusahaan bisa menekan biaya rata-rata bila produksinya diperluas. Harga produk jadinya bisa diatur perusahaan, sementara perbedaan harga antara produk serupa–yang tak banyak ragamnya–tidak terlalu memengaruhi konsumen. Dalam keadaan demikian, persaingan sempurna tidak terjadi dalam pasar. Ekonom menyebutnya kompetisi monopolistik. Krugman berangkat dari konsep ini.
Dalam ekonomi yang lebih besar dan terbuka, misalnya karena melakukan perdagangan, ceritanya menjadi lain. Di sana, pilihan bagi konsumen menjadi lebih banyak macam untuk satu produk, apalagi konsumen cenderung suka pilihan beragam. Walau kedua negara punya produk hampir serupa, katakanlah kesamaan tingkat teknologi atau skill pekerja, semuanya diuntungkan saat berdagang. Ekonomi terbuka jadinya memungkinkan Jerman dan Jepang sama-sama saling dagang mobil. Sebuah intra-industry trade. Lebih seru lagi, bahkan kini sebuah negara mungkin melakukan sekaligus impor dan ekspor mobil, seperti Swedia.
Pusat dan pinggiran
Paul Krugman mempunyai sumbangan yang lain. Ia menambatkan dimensi ruang pada analisis ekonomi perdagangan. Dalam teropong ekonomi geografi, kawasan dilihat sebagai pusat (core) dan pinggiran (periphery), misalnya daerah dengan basis industri dan pertanian.
Baginya, perusahaan di daerah yang berpenduduk lebih padat bakal lebih untung. Mengapa demikian? Secara teoretis, perusahaan bisa menurunkan biaya rata-rata produknya. Biaya transportasi pun menciut, sebab pasar lebih dekat. Konsumen beroleh harga lebih murah, produk jadi le- bih beragam, dan upah naik. Orang dan perusahaan pun pindah ke daerah padat. Ini berlangsung sedemikian rupa, secara berjejalin saling memengaruhi. Akibatnya, memang, ada kemungkinan pembelahan antara kota besar yang padat dan kawasan yang ditinggal dan tertinggal.
Dalam kenyataan, ceritanya bisa jadi lebih kaya. Misalnya, haluan kapal-kapal dari pelabuhan Darwin, di utara Australia, barangkali tidak menyasar Sorong atau Ambon, pelabuhan-pelabuhan laut di timur Indonesia walau berjarak lebih dekat berbiaya transpor lebih rendah. Melainkan, menuju Banten yang lebih jauh tapi disesaki kawasan industri.
Akan tetapi, konsentrasi ekonomi juga punya sisi lain. Setelah keuntungan menurun, seperti biaya produksi yang naik atau inovasi yang mandek, perusahaan di ”pusat” bisa pindah ke ”pinggiran.” Pada tingkat tertentu, kecenderungan relokasi produksi berbasis teknologi dari kawasan selatan Jerman ke timur Jerman bisa jadi contoh. Demikian pula tumbuhnya ekonomi sektor-sektor tertentu di Eropa timur.
Model ekonomi yang dikembangkan Krugman adalah perumpamaan terbatas dari kenyataan. Sumbangannya penting bagi ilmu ekonomi dan pemahaman kita tentang bagaimana ekonomi terbuka bekerja. Tentu, perdagangan dan pengembangan kawasan dipengaruhi banyak macam hal, kadangkala nonekonomis. Kawasan Perdagangan Bebas (FTZ) di Batam, misalnya, adalah ideal berlangsungnya mekanisme pasar. Dalam ideal itu, pajak semestinya tidak diberlakukan di Batam. Uniknya, penentang penghapusan pajak di Batam adalah IMF, kampiun pasar bebas, karena potensi penerimaan bagi negara.
Contoh lain pelabuhan Bitung, di utara Sulawesi. Petani dan pengusaha Minahasa sempat sekian lama harus mengirim barang dari sana lewat Surabaya yang mahal. Padahal, transportasi langsung ke Singapura jauh lebih murah. Lalu, Sabang di Aceh. Pemberian status kawasan perdagangan bebas baginya, barangkali tidak semata-mata karena pertimbangan ekonomi.
Pendukung Obama
Sulit menampik untuk melihat sisi Krugman yang non-akademis mengingat ia seorang komentator dan penulis populer. Berbeda dengan model-model ekonominya yang tidak politis, sosok sehari-hari Krugman sepertinya melihat, ekonomi tak bisa dipisah dari politik. Mirip John Maynard Keynes, ekonom besar yang membenarkan campur tangan negara dalam mengelola dan mendorong perekonomian.
Krugman mengakui peran serikat buruh dalam penentuan upah. Ia berpendapat, upah minimum yang layak tidak selamanya menyebabkan pengangguran. Ia pun kurang yakin, andai pelayanan kesehatan bagi warga negara diserahkan penuh pada pasar, setak yakin ia bahwa pemotongan pajak selalu baik bagi ekonomi. Dapat dimaklumi, mengapa ia kerap bikin gemas kaum ”fundamentalis pasar” dan kelompok konservatif di negeri itu. Krugman mengkritik keras pula kebijakan George Bush yang sepihak menyerang Irak.
Di tengah krisis ekonomi sekarang, secara terbuka Krugman menyokong Barack Obama, kandidat presiden dari Partai Demokrat yang kebijakannya kental kehadiran negara. Tampaknya Obama dan Krugman adalah wakil Keynes di medan intelektual dan politik. Dalam upaya mengakali keterbatasan kapitalisme.
***
6 komentar:
Salam kenal...
Saya baru nyasar keblog Anda hari ini. Nyasar yang membawa berkah :-)
Luar biasa mencerahkan walaupun saya baru baca 4 tulisan.
Kalo melihat kelompok ekonom di dunia, sepertinya semua punya pengikut setia dan semuanya mempunyai kesempatan yang sama untuk berkembang.
Tapi sepertinya ilmu ekonomi yang dipelajari di Indonesia hanya didominasi para ekonom neoliberal. Walaupun ada beberapa yang bukan, tapi mainstream pengajaran ilmu ekonomi di kampus adalah neoliberal. (Saya hanya lulusan S1, maaf kalo salah).
Menurut saya hal ini kurang adil dan cenderung mempersempit cara pandang.
Terima kasih..
Salam kenal juga. Di Indonesia, dan bahkan di banyak negara maju sekalipun, yang cenderung jadi arus utama saat ini memang ekonom "neoliberal" (istilah ini masih sangat longgar, tergantung dari mana melihatnya).
Dan, setiap mahasiswa ekonomi paham :) bahwa monopoli - baca: aktor tunggal dalam "pasar penyedia wacana" - cenderung, per definisi, mengarah pada "inefisiensi". Kita semua, para penikmat percakapan ekonomi hanya mendengar yang itu-itu lagi, benar atau keliru tidak ada alternatifnya. Ibarat nonton siaran TVRI jaman dulu...hehehe. (Dengan cuma satu wacana dan perspektif, yang berlangsung di kampus-kampus Indonesia sangat mungkin adalah kebalikan dari ideal kampus yang liberal. Sudah tentu, di beberapa kampus terdapat ekonom yang punya pendapat atau perspektif alternatif. Kita punya alm. Mubyarto, misalnya.)
Bukan cuma ini mungkin mempersempit pandangan. Barangkali, pandangan itu juga bisa ikut-ikutan buntu.
Saya menyukai blog Anda. Cerita-cerita rakyat itu ditulis dengan kalimat-kalimat yang jelas dan enak dibaca. Saya harus belajar menulis cerita dari Anda.
- S
Bung Sonny, perkenalkan nama saya Fahmy Jindan dari majalah EXPAND. Saya tahu blog ini dari Royke. Begini Bung, saya memohon Anda menjadi narasumber untuk beberapa pertanyaan yang pernah ditanyakan kepada tokoh politik nasional, namun jawabannya tidak dalam dan terkesan mengambang. Bersediakah kalau saya menghubungi Anda via telp? atau lebih baik lewat blog ini, walaupun resikonya jawaban yang diterima kana lambat? mohon jawabannya
terima kasih.
Halo Fahmy, terima kasih untuk permintaan sebagai narasumber. Saya tidak tahu banyak hal, apalagi semua hal - jadi tergantung pertanyaannya nanti. Untuk soal yang saya paham, saya akan coba jawab atau tanggapi. Sementara, untuk yang tidak saya paham, nanti saya rekomendasikan mereka yang lebih kompeten, lebih sesuai bidang riset atau bidang minatnya.
Lewat blog sepertinya bakal lebih lama. Telepon dari Indonesia ke Jerman, juga tidak murah. Dus, baiknya tolong kirim ke e-mail: sonny_mumbunan@yahoo.com Saya relatif rutin membuka email.
Terima kasih.
Salam,
Sonny
Halo Sonny...
Di sela-sela kesibukan, sempat mampir ke blog ini. Setelah membaca beberapa artikel, Keynes..., Paul Krugman.. dan beberapa tulisan berbau ekonomi politik, kita merasa jauh ketinggalan. tapi satu hal yang positif kita dapatkan semangat lagi untuk upgrade my knowledge
Selamat Sonny..Terus berkarya
your friend,
Bobby Hamenda
Posting Komentar