Tampilkan postingan dengan label kaum muda. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label kaum muda. Tampilkan semua postingan

31 Desember, 2007

Membaca Kaum Muda

AM Lilik Agung
Kompas, 29 Desember 2007

Tulisan ini merupakan tanggapan atas tulisan Indra Jaya Piliang, Mohammad Sobary, Sukardi Rinakit, dan tulisan saya, Sonny Mumbunan. Semua tulisan tersebut terbit di Harian Kompas, masing-masing pada 15/12, 2/12, 4/12, dan 21/11, 2007.



Dari sebuah gang di Jalan Kaliurang, Yogyakarta. Sebuah patung manusia dengan wajah penguasa otoriter negeri ini dinaikkan ke atas becak dan diarak menuju tempat demonstrasi. Halaman depan Balairung Universitas Gadjah Mada semakin riuh atas kehadiran patung berwajah penguasa otoriter tersebut.

Peristiwa itu pantas dicatat dalam sejarah penumbangan rezim otoriter Orde Baru. Patung tersebut dibakar habis para demonstran. Inilah api yang menyulut demonstrasi akbar para mahasiswa di hampir seluruh pelosok Tanah Air.

Benar bila Indra Jaya Piliang menyebut bahwa gerakan mahasiswa 1998 bukan produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, dan Yogyakarta. (Kompas, 15/12/2007). Ketika para mahasiswa di Jakarta masih disibukkan dengan mengejar IPK dan jalan-jalan di mal, mahasiswa daerah lain (terutama Yogyakarta dan Bandung) harus menghadapi pentungan, gamparan, darah, penjara, penculikan, hingga kematian untuk demokrasi.

Namun, ketika Indra Piliang menyebut bahwa kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki tangan, buntung secara so- sial, tunasosial, dan tanpa keringat, pernyataan ini jadi cacat yang layak untuk di- gugat. Benar bahwa ada kaum muda Jakar- ta seperti apa yang disebut Indra. Namun, banyak kaum muda Jakarta yang utuh secara sosial dan bergelut dengan keringat untuk menegakkan keadilan sosial.

Sebagai contoh kasus yang dilakukan kaum muda profesional Jakarta (baca: pelaku bisnis). Ketika terjadi bencana di mana pun di negeri ini, kaum muda profesional Jakarta menjadi orang yang paling awal mendatangi korban bencana tersebut. Walaupun semua kegiatan tersebut bersifat karitatif, menandakan di tengah keterjepitan waktu mengejar target pekerjaan, para profesional muda Jakarta melek secara sosial. Hanya saja, aktivitas ini jauh dari publikasi media massa ataupun perbincangan politik karena mereka memang tidak ingin ditampilkan ke media massa seperti layaknya tokoh politik.

Bebas primordialisme

Pascagerakan mahasiswa 1998, tak bisa dielakkan mayoritas pelaku gerakan berlarian menyerbu Jakarta. Sebagian bergiat pada ranah politik praktis. Sebagian lagi bergiat di wilayah lembaga swadaya masyarakat, media massa, ataupun kampus. Tak sedikit yang menjadi profesional perusahaan atau menjalankan usaha sendiri.

Benar seperti apa yang ditulis Mohamad Sobary bahwa dibandingkan dengan tokoh-tokoh bisnis, media, keilmuan, dan LSM, tokoh politik kaum muda jauh tertinggal. Kualitas tokoh politik kita (kaum muda) hanya setingkat dengan stereotip yang kita lekatkan kepada pegawai negeri: seadanya, kurang kreatif, ogah berinisiatif, dan gigih menjaga "tradisi" tak bertanggung jawab (Kompas, 2/12/2007).

Mengharap kaum muda memimpin negeri ini jelas tidak bisa diharapkan hanya dari kaum muda yang sekarang bergiat di ranah politik. Kolaborasi menjadi tidak terelakkan antara tokoh politik dan tokoh bisnis, tokoh media, tokoh keilmuan, dan tokoh LSM. Mengoptimalkan tokoh bisnis muda untuk ikut memimpin menjadi sebuah keharusan.

Ada banyak keunggulan tokoh bisnis muda dibandingkan dengan tokoh-tokoh muda lainnya. Dari segi pendidikan, mereka sangat terdidik dan bahkan banyak lulusan universitas terbaik di luar negeri. Dari sudut ekonomi, mereka golongan masyarakat strata A yang tidak lagi takjub untuk bepergian ke luar negeri ataupun rapat di hotel berbintang. Dari sisi manajemen, mereka sudah bergaul intim dengan apa yang disebut cara mengelola organisasi secara efektif dan efisien. Lebih dari itu mereka relatif terbebas dari wawasan sempit primordialisme lantaran lingkup kerja dan pergaulan mereka sudah global. Hanya dua hal yang perlu dipoles dari mereka: kecakapan berpolitik dan kecerdasan menggerakkan massa.

Kapitalisme

Pepatah bijak Sun Tzu mengatakan bunuhlah ular dengan rumputnya. Pepatah ini pantas untuk menengahi opini Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/2007) dalam menjawab opini Sonny Mumbunan menyoal kereta baru milik kaum muda, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos), bisa jadi bakal mogok karena bahan bakarnya keliru pada aras konsep (Kompas, 21/11/2007).

Kaum muda era sekarang dibesarkan dalam sebuah tatanan kapitalisme global. Mereka melihat, merasakan, dan bergaul dengan kapitalisme. Ketika tiba-tiba mereka harus membendung dengan kereta bernama epasos jelas akan terengah-engah kehabisan napas. Cara paling cerdas, "meniduri" kapitalisme tersebut dengan aktif di dalamnya.

Pada dasarnya kapitalisme bersifat netral. Ia bisa digerakkan individu ataupun negara. Bahkan pada era ketika privatisasi BUMN sedang gencar dilakukan di negeri ini, justru di negeri tetangga BUMN mereka ramai-ramai mengakuisisi perusahaan swasta. Sebutlah contoh Temasek (Singapura), Petronas (Malaysia), atau yang paling fenomenal, yaitu Dubai Corporation (Uni Emirat Arab). Tiga raksasa besar BUMN ini yang bisnisnya menggurita dan "lebih" kapitalis dibandingkan dengan perusahaan multinasional seperti yang selama ini dipahami.

Lebih dari itu, kapitalisme bisa menjadi malaikat penyelamat apabila berada di tangan orang-orang bijak. Bisa disimpulkan gerakan filantropis global dengan penyandang dana nyaris tak terbatas berasal dari perusahaan multinasional ataupun perorangan yang sejauh ini dicap sebagai kapitalis buas. Bill Gates merupakan orang yang paling banyak mengucurkan dana untuk kegiatan filantropis. Di bawahnya ada Warren Buffet, Mike Bloomberg, dan George Soros yang jelas seorang kapitalis murni.

Pada sisi lain, para penganjur ekonomi jalan tengah, epasos, ekonomi kerakyatan, atau apapun namanya di negeri ini justru pendidikannya banyak dibiayai oleh perusahaan kapitalis, semisal Toyota Foundation, Ford Fondation, Rockefeller Foundation, hingga perusahaan lokal Astra Foundation dan Sampoerna Foundation. Ada dikotomi di sini. Pada satu sisi mereka menentang kapitalisme, tetapi di sisi lain mereka dibiayai kapitalisme.

Prinsip paling bijak ketika kaum muda memulai memimpin, mereka berkawan dengan kapitalisme. Jangan ketika kaki kanan bernama politik masih rapuh harus mengamputasi kaki kiri ekonomi dengan melawan kapitalisme. Sementara itu, konsep ekonominya sendiri masih diperdebatkan. Roda ekonomi sebuah negara bukan sebuah konsep, tetapi tindakan.

AM Lilik Agung Mitra pengelola High Leap Consulting, Praktisi bisnis.


18 Desember, 2007

Kaum muda tanpa kaum

Oleh Indra Jaya Piliang
Kompas, 15 Desember 2007

Catatan: Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan tulisan saya (Sonny Mumbunan, Kompas, 21/11/2007), Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/2007) dan Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/2007).

Atas nama amanat penderitaan rakyat, mari kita tafakur, berpikir dan berzikir. Juga, atas nama kita sendiri, kaum muda (pergerakan) Indonesia.

Kita tidak perlu dulu berpikir dengan konsep karena itu milik filsuf. Revolusi tidak pernah lahir dari konsep, melainkan dari pamflet, grafiti di tembok-tembok kota, lukisan-lukisan kepal tangan, juga karikatur-karikatur yang membentangkan kesenjangan sosial. "Demokrasi Kita" yang ditulis oleh Bung Syahrir juga berupa pamflet, sebagaimana halnya dengan "Common Sense" citarasa Thomas Paine di Amerika Serikat sana.

Tentu kita juga tidak perlu bertanya tentang dari mana kita mulai. Apakah lewat gerontokrasi, karakter-karakter dinasti politik, oligopoli ekonomi, ataupun hanya sekadar pedagogi hitam di dunia pendidikan. Yang jelas, tempat berpijak yang harus mulai dipikirkan agar kokoh adalah tentang kaum muda itu sendiri. Spesies apakah kaum muda itu? Apakah ia hanya berupa kaum Hobbit dalam Lord of The Rings yang membawa cincin untuk dimusnahkan? Ataukah para kurcaci dalam dongeng putri salju?

Kaum atau perkauman adalah sekumpulan komunitas yang memiliki karakter yang berbeda dengan komunitas yang lain. Ia tidak pernah sama, apalagi serupa, karena latar budayanya memang berbeda, dibentuk oleh pahatan sejarah yang berlainan dan kosmologi pikiran inkoheren. Muda ada pada batasan usia atau spirit yang menonjolkan sikap anti-status quo, kontra-kemapanan dan nihil-kemanjaan.

Pergerakan sendiri memiliki dimensi ombak, bukan karena ada perahu yang lewat atau peselancar bermain di atasnya, melainkan mempunyai energi potensial yang menyebabkan ia terus mengalir.

Garis batas

Dari sini, kaum muda adalah sekumpulan orang yang membentuk komunitas—entah epistemis, ideologis, atau hanya sekadar calo-calo kekuasaan—yang mempunyai kosmologi pikiran yang berbeda dengan kaum tua. Sebagai pergerakan, kaum muda tidak menyukai patung-patung pahlawan yang didatangi oleh para penguasa dalam hening upacara bendera selama lima menit.

Kaum muda yang bergerak juga menantang doktrin-doktrin yang dianggap sebagai kesesatan pikiran, terutama yang diproduksi oleh negara. Dari sini, sebetulnya, kaum muda memiliki musuh yang jelas, yakni negara yang serakah, kepemimpinan absolut, dan pengabaian atas ilmu pengetahuan.

Dan, semakin jelas bahwa kaum muda itu bukanlah orang-orang yang berubah menjadi para pencinta jalan-jalan kenabian sehingga rela diludahi atau dicambuk oleh para pemilik kekuasaan. Kaum muda, karena ia bergerak, adalah orang-orang yang terpukau pada kehidupan. Dengan bentangan usia yang masih lama lagi menghirup udara, dibandingkan dengan kaum tua sesuai dengan tuntutan alamiah, kaum muda memilih jalan kehidupan dan barangkali sebagian (besar) mencintai kehidupan itu sendiri.

Ada garis batas yang jelas tentang ini, yakni kaum muda lebih merasa berhak menentukan masa depan, sementara kaum tua silakan bicara tentang masa lalu. Pertentangan menjadi tidak terelakkan ketika Sukardi Rinakit (Kompas, 04/12/2007) dan Mohamad Sobary (Kompas, 02/12/2007) lebih banyak mendiskusikan masa lalu, sembari menaruh nama Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, atau Tan Malaka, ketimbang Sonny Mumbunan (Kompas, 21/11/2007) yang dingin menatap masa depan.

Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, atau Tan Malaka hanyalah diorama dalam museum-museum sejarah yang daya pikatnya makin mengilat ketika sejarah dan kebudayaan hanyalah warisan dari perilaku kita mengelap-elapnya supaya makin bersinar dan bercahaya.

Sebuah pamflet kaum muda hari ini lebih layak dijadikan acuan ketimbang memberati dengan berton-ton timbunan dokumen-dokumen pikiran yang sebagian besar juga gagal sebagai capaian. Apakah marhaenisme berhasil ketika Soekarno masih menjadi presiden selama 20 tahun? Atau ia hanya berhasil ketika dirumuskan, sebagaimana juga "Demokrasi Kita" Bung Syahrir yang mendasarkan diri kepada humanisme? Barangkali Bung Hatta juga tidak sampai selesai mengembangkan sebuah koperasi, seberhasil Muhammad Yunus menerapkan di bumi Banglades sana. Tan Malaka, ia terobsesi kepada revolusi dan terbunuh karena itu.

Tanpa Jakarta

Lalu, dari mana kita harus memulai? Sekali lagi, apakah kaum muda sudah memiliki kaum? Jangan-jangan yang dimiliki hanyalah auman melengking dalam kandang-kandang besar bernama konsumerisme, hedonisme, gaya hidup, atau jepretan kamera-kamera digital.

Barangkali, kaum muda hanyalah bagian dari kaum muda digital itu yang menilai revolusi hanya sekadar pemberitaan masif di media. Media, dalam zaman ini, hanya alat penampung, medium pemuai, dari segala jenis informasi yang telah dicabik-cabik dan dibingkai sesuai dengan segala jenis paradigma para pekerjanya.

Kaum muda yang memiliki kaum barangkali hanya hadir sesaat, selintas, dalam media yang sebenarnya. Ia menjadi bagian dari representasi sosial masyarakatnya. Ia berlumpur di Sidoarjo, berkoteka di hutan rimba Papua, bermukena di meunasah-meunasah Aceh, serta berselimutkan belerang di kaki-kaki bukit bekas galian.

Di laut-laut ganas mereka hanya berpendidikan sekolah dasar atau tidak tamat sekolah dasar, lebih dari 80 persen, dengan perahu-perahu yang mudah karam. Di desa-desa, mereka berhadapan dengan hama, perubahan iklim, dan para tengkulak. Kaum muda yang berkaum itu tidak lagi sempat membaca koran, melihat televisi, atau mendengarkan radio. Semua itu hanyalah benda-benda mewah hasil kerja para orang tua yang ingin menikmati masa tuanya.

Kaum muda Jakarta bukanlah representasi sosial dari kaum muda seperti itu. Kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki dan tangan. Kaum muda yang buntung secara sosial. Kaum muda yang tuna sosial. Kaum muda Jakarta adalah kaum muda tanpa keringat. Yang ada hanyalah pikiran tak berakar dan amanat tanpa alamat. Maka, ketika kaum muda Jakarta menciptakan sebuah ikrar, tentu ia ibarat teriakan di sebuah lembah yang terdengar disahuti, padahal memantul sendiri, berkali-kali.

Jadi, tanpa melibatkan kaum muda yang punya kaum, saya sepakat agar diskusi soal kaum muda ini lebih baik diperdengarkan secara berbisik. Tidak perlu diteriakkan, apalagi dianggap sebagai tawaran sebuah perubahan. Saya sudah menjadi saksi—semoga kita tidak lupa—bahwa gerakan mahasiswa 1998 pun bukanlah produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, atau Yogyakarta.

Benar, kemudian lebih banyak yang terluka dan terbunuh di Jakarta, tetapi yang mengawali tetap sebagai awal, selebihnya menjadi pengawal. Pasukan terbaik Napoleon Bonaparte pun tidak diambil dari kota Paris atau tentara Romawi dari kota Roma, melainkan berasal dari daerah-daerah pinggiran. Kaum muda yang tanpa kaum hanya akan menjadi kue panggang yang tidak matang dalam oven perubahan.

Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta

Kaum muda

Oleh Sukardi Rinakit
Kompas, 4 Desember 2007

Catatan: Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/2007) dan tulisan saya (Sonny Mumbunan, Kompas, 21/11/2007).


Bacalah koran, lihatlah televisi, dan dengarkanlah radio. Dengan mudah kita akan berkesimpulan bahwa banyak orang, termasuk para elite Republik ini, hanya menonjolkan kepentingan diri sendiri dan kelompok. Mereka terampil memaksakan kehendak, saling tuduh, mempermainkan hukum, dan tega mengorbankan anak sebangsa yang dililit kemiskinan dan pengangguran.

Itulah yang meresahkan kaum muda. Keprihatinan yang sama atas kedaulatan bangsa yang rapuh, kesedihan yang sama atas menipisnya kebanggaan sebagai bangsa, membuat kaum muda ini sering bertemu. Alam bawah sadar mereka dicekam rasa malu kepada ketiga bung besar: Bung Karno, Bung Hatta, Bung Sjahrir. Di dalam mimpi mereka dihantui pesan ketiga bung itu, "Kami wariskan sebuah Republik, kalau kamu bisa menjaganya!"

Kang Sobary

Jadi keprihatinan pada nasib anak-anak sebangsa itulah yang membuat kami berkumpul, Kang Sobary. Bukan untuk tujuan sempit menuntut hak, apalagi merengek-rengek meminta giliran memimpin (Kompas, 2/12/2007). "Ikrar Kaum Muda Indonesia" yang dikumandangkan 28 Oktober lalu itu ingin mengingatkan kita semua agar taat asas dalam membangun negeri ini.

Negeri ini berdiri dengan tujuan untuk melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, meningkatkan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta dalam perdamaian dunia berdasarkan kemerdekaan abadi dan keadilan sosial.

Harus jujur diakui, selama ini para pemimpin masih kurang taat asas pada pencapaian tujuan nasional tersebut. Oleh sebab itu, kaum muda merasa terpanggil untuk mengembuskan angin sejarah biar air laut bergolak dan bumi bergetar. Biar semua komponen bangsa, terutama para pemimpinnya, terbangun dan bekerja mati-matian untuk bangsanya. Itulah wiridan kami.

Di depan mata, India akan segera menguasai produk software dunia, China akan segera merajai produk hardware dunia. Kita bisa nowhere jika para pemimpinnya hanya mengeluh (kurang tidur atau "cuci piring" yang ditinggalkan pesta kekuasaan sebelumnya, misalnya) dan menikmati kebun mawar kekuasaan. Seperti di India dan China, kaum muda mendominasi ranah ekonomi dan politik serta menjadi motor penggerak utama kemajuan. Indonesia dituntut melakukan hal yang sama jika ingin mengejar ketertinggalan.

Pergerakan Kaum Muda Indonesia ingin membangun optimisme dan mimpi bersama. Ia mewadahi siapa pun. Ada rektor, pengusaha, tokoh-tokoh LSM, peneliti, tokoh buruh, nelayan, petani, seniman, dan lain-lain. Pluralisme menjadi kesadaran bersama. Mimpi kami satu: ingin seluruh rakyat Indonesia bisa mesem (tersenyum) karena cukup pangan-sandang-papan dan biaya sekolah serta kesehatan terjangkau.

Kang Sobary, Pergerakan itu memang masih embrio. Ini bukan anak-anak muda, ini Pergerakan Kaum Muda. Jadi siapa pun yang tulus dan peduli pada perwujudan tujuan nasional, berapa pun usianya, dia adalah kaum muda. Sosok seperti Kang Sobary otomatis menjadi "bagian" dari pergerakan ini karena kepedulian Anda pada tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih (good governance). Pergerakan ini tidak diam, Ia ibarat api dalam sekam. Secara mandiri para aktivisnya sedang bergerak ke daerah-daerah sekarang ini.

Bung Sonny Mumbunan

Selain Kang Sobary, sosok yang secara otomatis menjadi bagian dari Pergerakan Kaum Muda Indonesia adalah Bung Sonny Mumbunan. Dari Helmholtz Gemeinschaft (Jerman), dia mempertanyakan apa konsep kaum muda untuk membangun Indonesia. Selain itu, juga memperingatkan bahwa kereta baru milik kaum muda, yaitu ekonomi pasar sosial (epasos), bisa jadi bakal mogok karena bahan bakarnya keliru pada aras konsep (Kompas, 21/11/2007).

Bung Sonny memperingatkan bahwa epasos bukanlah sekadar mencangkok yang baik dari kapitalisme, seperti efisiensi pasar dengan apa yang baik dari sosialisme seperti akses dan kendali semua orang atas sumber daya. Tentu peringatan demikian sangat berguna bagi penyusunan paradigma pembangunan untuk revitalisasi Indonesia.

Secara filosofis, apa yang saya bayangkan dari epasos model Indonesia adalah menempatkan keluarga sebagai unsur dominan dalam paradigma pembangunan berdampingan dengan negara. Negara-negara kesejahteraan Eropa selama ini menempatkan keluarga dalam kotak marjinal bersama dengan pasar. Adapun negara mempunyai peran dominan. Sebaliknya, negara-negara penganut neoliberal, seperti Amerika Serikat, menempatkan pasar dalam kotak dominan. Sementara itu, peran negara dan keluarga adalah marjinal.

Pada kedua sistem itu, keluarga dianggap marjinal. Inti kekuatan hanya ditempati negara atau pasar. Fenomena ini kemungkinan dipengaruhi oleh cara pandang Aristotelian yang berpendapat bahwa politik berhenti ketika sampai pada tingkat keluarga. Padahal dalam realitas kehidupan masyarakat Indonesia, peran keluarga sangat besar. Bukan "keluarga" dalam arti sempit, yang memperkaya anak-cucu atau bagi-bagi jabatan untuk sanak saudara. Sistem kekerabatan seperti model ninik-mamak dan kebijakan tradisional mangan ora mangan asal ngumpul (makan tidak makan asal kumpul) adalah katup pengaman sekaligus energi dasar bagi pemberdayaan bangsa.

Dengan istilah lain, paradigma pembangunan Indonesia menitikberatkan pada pembangunan sistem dengan basis utamanya adalah negara dan keluarga. Tujuan nasional yang tercantum dalam Pembukaan UUD 1945 pun adalah pembangunan sistem, bukan individu-individu. Dari dasar filosofi ini, diturunkan program aksi yang taat asas, yaitu baik struktur maupun isinya sesuai dengan tujuan nasional tersebut.

Dengan demikian, paradigma pembangunan Indonesia yang dipikirkan kaum muda bukanlah sekadar cangkokan. Bahkan inti pemikirannya telah diletakkan oleh para bapak bangsa jauh hari sebelum Alfred Mueller-Armack (1956) meletakkan teori epasos. Saat ini, Pergerakan Kaum Muda sedang menggarap konsep, paradigma pembangunan, manifesto, dan program aksi kebijakan. Pasti ada calon pemimpin yang komitmen menjalankan manifesto tersebut.

Semoga seluruh rakyat Indonesia suatu hari nanti bisa mesem dan kaum muda tidak dihantui mimpi ketemu ketiga bung besar yang selalu berkata, "Kami wariskan sebuah Republik, kalau kamu bisa menjaganya!"

Sukardi Rinakit Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar