Kompas, 15 Desember 2007
Catatan: Tulisan ini adalah tanggapan atas tulisan tulisan saya (Sonny Mumbunan, Kompas, 21/11/2007), Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/2007) dan Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/2007).
Atas nama amanat penderitaan rakyat, mari kita tafakur, berpikir dan berzikir. Juga, atas nama kita sendiri, kaum muda (pergerakan) Indonesia.
Kita tidak perlu dulu berpikir dengan konsep karena itu milik filsuf. Revolusi tidak pernah lahir dari konsep, melainkan dari pamflet, grafiti di tembok-tembok kota, lukisan-lukisan kepal tangan, juga karikatur-karikatur yang membentangkan kesenjangan sosial. "Demokrasi Kita" yang ditulis oleh Bung Syahrir juga berupa pamflet, sebagaimana halnya dengan "Common Sense" citarasa Thomas Paine di Amerika Serikat sana.
Tentu kita juga tidak perlu bertanya tentang dari mana kita mulai. Apakah lewat gerontokrasi, karakter-karakter dinasti politik, oligopoli ekonomi, ataupun hanya sekadar pedagogi hitam di dunia pendidikan. Yang jelas, tempat berpijak yang harus mulai dipikirkan agar kokoh adalah tentang kaum muda itu sendiri. Spesies apakah kaum muda itu? Apakah ia hanya berupa kaum Hobbit dalam Lord of The Rings yang membawa cincin untuk dimusnahkan? Ataukah para kurcaci dalam dongeng putri salju?
Kaum atau perkauman adalah sekumpulan komunitas yang memiliki karakter yang berbeda dengan komunitas yang lain. Ia tidak pernah sama, apalagi serupa, karena latar budayanya memang berbeda, dibentuk oleh pahatan sejarah yang berlainan dan kosmologi pikiran inkoheren. Muda ada pada batasan usia atau spirit yang menonjolkan sikap anti-status quo, kontra-kemapanan dan nihil-kemanjaan.
Pergerakan sendiri memiliki dimensi ombak, bukan karena ada perahu yang lewat atau peselancar bermain di atasnya, melainkan mempunyai energi potensial yang menyebabkan ia terus mengalir.
Garis batas
Dari sini, kaum muda adalah sekumpulan orang yang membentuk komunitas—entah epistemis, ideologis, atau hanya sekadar calo-calo kekuasaan—yang mempunyai kosmologi pikiran yang berbeda dengan kaum tua. Sebagai pergerakan, kaum muda tidak menyukai patung-patung pahlawan yang didatangi oleh para penguasa dalam hening upacara bendera selama lima menit.
Kaum muda yang bergerak juga menantang doktrin-doktrin yang dianggap sebagai kesesatan pikiran, terutama yang diproduksi oleh negara. Dari sini, sebetulnya, kaum muda memiliki musuh yang jelas, yakni negara yang serakah, kepemimpinan absolut, dan pengabaian atas ilmu pengetahuan.
Dan, semakin jelas bahwa kaum muda itu bukanlah orang-orang yang berubah menjadi para pencinta jalan-jalan kenabian sehingga rela diludahi atau dicambuk oleh para pemilik kekuasaan. Kaum muda, karena ia bergerak, adalah orang-orang yang terpukau pada kehidupan. Dengan bentangan usia yang masih lama lagi menghirup udara, dibandingkan dengan kaum tua sesuai dengan tuntutan alamiah, kaum muda memilih jalan kehidupan dan barangkali sebagian (besar) mencintai kehidupan itu sendiri.
Ada garis batas yang jelas tentang ini, yakni kaum muda lebih merasa berhak menentukan masa depan, sementara kaum tua silakan bicara tentang masa lalu. Pertentangan menjadi tidak terelakkan ketika Sukardi Rinakit (Kompas, 04/12/2007) dan Mohamad Sobary (Kompas, 02/12/2007) lebih banyak mendiskusikan masa lalu, sembari menaruh nama Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, atau Tan Malaka, ketimbang Sonny Mumbunan (Kompas, 21/11/2007) yang dingin menatap masa depan.
Bung Karno, Bung Hatta, Bung Syahrir, atau Tan Malaka hanyalah diorama dalam museum-museum sejarah yang daya pikatnya makin mengilat ketika sejarah dan kebudayaan hanyalah warisan dari perilaku kita mengelap-elapnya supaya makin bersinar dan bercahaya.
Sebuah pamflet kaum muda hari ini lebih layak dijadikan acuan ketimbang memberati dengan berton-ton timbunan dokumen-dokumen pikiran yang sebagian besar juga gagal sebagai capaian. Apakah marhaenisme berhasil ketika Soekarno masih menjadi presiden selama 20 tahun? Atau ia hanya berhasil ketika dirumuskan, sebagaimana juga "Demokrasi Kita" Bung Syahrir yang mendasarkan diri kepada humanisme? Barangkali Bung Hatta juga tidak sampai selesai mengembangkan sebuah koperasi, seberhasil Muhammad Yunus menerapkan di bumi Banglades sana. Tan Malaka, ia terobsesi kepada revolusi dan terbunuh karena itu.
Tanpa Jakarta
Lalu, dari mana kita harus memulai? Sekali lagi, apakah kaum muda sudah memiliki kaum? Jangan-jangan yang dimiliki hanyalah auman melengking dalam kandang-kandang besar bernama konsumerisme, hedonisme, gaya hidup, atau jepretan kamera-kamera digital.
Barangkali, kaum muda hanyalah bagian dari kaum muda digital itu yang menilai revolusi hanya sekadar pemberitaan masif di media. Media, dalam zaman ini, hanya alat penampung, medium pemuai, dari segala jenis informasi yang telah dicabik-cabik dan dibingkai sesuai dengan segala jenis paradigma para pekerjanya.
Kaum muda yang memiliki kaum barangkali hanya hadir sesaat, selintas, dalam media yang sebenarnya. Ia menjadi bagian dari representasi sosial masyarakatnya. Ia berlumpur di Sidoarjo, berkoteka di hutan rimba Papua, bermukena di meunasah-meunasah Aceh, serta berselimutkan belerang di kaki-kaki bukit bekas galian.
Di laut-laut ganas mereka hanya berpendidikan sekolah dasar atau tidak tamat sekolah dasar, lebih dari 80 persen, dengan perahu-perahu yang mudah karam. Di desa-desa, mereka berhadapan dengan hama, perubahan iklim, dan para tengkulak. Kaum muda yang berkaum itu tidak lagi sempat membaca koran, melihat televisi, atau mendengarkan radio. Semua itu hanyalah benda-benda mewah hasil kerja para orang tua yang ingin menikmati masa tuanya.
Kaum muda Jakarta bukanlah representasi sosial dari kaum muda seperti itu. Kaum muda Jakarta hanyalah kepala tanpa kaki dan tangan. Kaum muda yang buntung secara sosial. Kaum muda yang tuna sosial. Kaum muda Jakarta adalah kaum muda tanpa keringat. Yang ada hanyalah pikiran tak berakar dan amanat tanpa alamat. Maka, ketika kaum muda Jakarta menciptakan sebuah ikrar, tentu ia ibarat teriakan di sebuah lembah yang terdengar disahuti, padahal memantul sendiri, berkali-kali.
Jadi, tanpa melibatkan kaum muda yang punya kaum, saya sepakat agar diskusi soal kaum muda ini lebih baik diperdengarkan secara berbisik. Tidak perlu diteriakkan, apalagi dianggap sebagai tawaran sebuah perubahan. Saya sudah menjadi saksi—semoga kita tidak lupa—bahwa gerakan mahasiswa 1998 pun bukanlah produk mahasiswa Jakarta, melainkan disampaikan secara bergelombang dari sejumlah mahasiswa yang terluka dan terbunuh di Medan, Lampung, Makassar, atau Yogyakarta.
Benar, kemudian lebih banyak yang terluka dan terbunuh di Jakarta, tetapi yang mengawali tetap sebagai awal, selebihnya menjadi pengawal. Pasukan terbaik Napoleon Bonaparte pun tidak diambil dari kota Paris atau tentara Romawi dari kota Roma, melainkan berasal dari daerah-daerah pinggiran. Kaum muda yang tanpa kaum hanya akan menjadi kue panggang yang tidak matang dalam oven perubahan.
Indra Jaya Piliang Analis Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Jakarta
Tidak ada komentar:
Posting Komentar