Saya ikut lomba foto. Lomba untuk mahasiswa yang studi di Universitas Leipzig. Dua lembar foto saya kirim. Salah satunya (foto di atas) memenangkan juara pertama untuk kategori mahasiswa asing. Foto itu saya beri judul "Bekannte Verschommenheit" atau kekaburan yang akrab.
Di ruang simpan di Perpustakaan Albertina, Leipzig, saya menjepret foto itu. Perpustakaan ini berdiri tahun 1543, lantas jadi milik universitas. Kerap saya mengerjakan tugas di ruang baca yang nyaman di perpustakaan ini. Universitas Leipzig sendiri - berdiri tahun 1409 - adalah universitas tertua kedua di Jerman setelah Universitas Heidelberg.
Lomba ini diselenggarakan oleh bagian International Relation di Universitas Leipzig bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Riset Jerman (BMBF) serta Dinas Pertukaran Akademis Jerman (DAAD). Sudah dua kali lomba ini diselenggara.
Tema lomba tahun ini adalah "Leipziger (R)Einblicke, Leipziger (R)Ausblicke". Kurang lebih, alihbahasanya adalah "perspektif ke dalam dan ke luar dari orang Leipzig." Foto-foto terpilih dan pemenang dapat dilihat di sini.
***
26 Juni, 2008
Bekannte Verschommenheit
19 Juni, 2008
19 Juni
Hari ini, saya tak berharap apa-apa. Biarlah ia serupa hari-hari lain. Hari ini pun saya ingin sendiri. Pagi masih begitu belia, saat saya menulis baris-baris berikut.
Karibku tunas-tunas.
Reranting muda.
Dan jejalar akar.
Siang hari, saya ke pusat kota. Bercelana pendek, berkaos oblong, bersandal jepit. Leipzig begitu ramah hari ini. Tak ada awan menggantung di atas kota. Matahari bersinar penuh.
Saya berjalan tanpa rencana apapun. Seusai makan siang di Mensa, kantin bersubsidi milik universitas, saya singgah di toko buku Lehmanns. Saya ingin duduk di kursi empuk, di lantai paling atas toko buku itu, sambil menyeruput coklat hangat. Kali ini tak ada buku serius yang saya ambil - cuma majalah Der Spiegel.
Dari perang ke perang, judul Spiegel minggu ini. Gambar hitam putih dengan foto panser berbaris berhadap-hadap, menjadi sampul. Berlin, September 1961, adalah sebuah drama mencekam. Antara AS dan Soviet. Syukur tak ada senjata yang sampai menyalak. Thomas Schelling, penerima hadiah Nobel Ekonomi, bilang bahwa pimpinan Soviet, Kruschev, sekadar menggertak. Dus AS tak perlu melecut senjata nuklir sebagai jawaban. Schelling tokoh penting di belakang layar drama itu.
Drama itu mirip interaksi dalam Teori Permainan (Game Theory). Dan tanpa sisi manusia, teori ini hanya mampu menganjurkan saling hantam dan baku bumihangus. Schelling akurat dan John von Neumann, raksasa lain teori permainan, keliru: Soviet tak jadi mencaplok Berlin barat. Sebagai gantinya, berdiri Tembok Berlin. Von Neumann ngotot agar Berlin timur digempur.
Saya tak utuh membaca majalah itu. Sekali ini saya sekedar melihat-lihat gambar dan membaca caption-nya. Sebelum meninggalkan toko buku, saya mencari dan membayar selembar kartu pos. Saya ingin mengirim kartu terima kasih untuk kenalan saya di Praha, Republik Ceko, yang sudah menjamu ramah, menemani saya di kotanya seminggu lalu.
Dalam dua bulan terakhir ini, saya sakit-sakitan. Kalau ada yang bisa disyukuri, pastilah bahwa hari ini saya sehat. Keluar dari toko buku, saya melepas sandal. Memasukannya ke kantong. Dingin sejurus terasa di telapak kaki, ketika mengayun kaki di jalan yang tertutup bayangan gedung; hangat, saat menginjak jalan yang disinari matahari. Saya menuju rumah. Menyusuri kota, jalan, gang, taman - tanpa alas kaki. Tusukan kerikil-kerikil kecil di kaki adalah kemewahan.
Malam hari, tim nasional Jerman akhirnya menunjukan satu dari sekian Deutsche Tugenden (German virtues) milik negeri ini: berdisiplin. Sebuah laga yang memikat dan Jerman menghentikan Portugal, 3-2. Melewati malam, di sela-sela mengetik, saya memerhatikan lirik Navy Taxi yang sangat sederhana dan jujur... it's your life and it's no one else's, sweetheart.
Hari baru sudah mengetuk jendela kamar, saat saya selesai menulis catatan ini. Semoga mentari kembali bersinar penuh.
***
09 Juni, 2008
Belajar di Lisabon
Cerita tentang rumah dempet di Portugal, limbah tambang Newmont, dan cendekiawan yang dilelang sebagai budak. Serta, nasib ilmu ekonomi dan mengapa ecological economics berbeda dengan environmental economics.
Lisabon adalah kota yang unik. Berbukit-bukit. Di atas topografi kota yang tidak datar, tegak bangunan-bangunan cantik.
Simbol Kristen lekat dengan imperialisme itu. Sungguh menarik, sebelumnya, pada abad ke-8, imperialis yang lain menguasai Portugal dengan bendera Islam: kaum Moor. Mereka menguasai Eropah di semenanjung Iberia yang meliputi Spanyol, Portugal, Gibraltar dan sebagian Perancis. Kelindan antara agama dan penaklukan memang kisah celana tua. Silih berganti sepanjang masa. Imperialisme Islam itu meredup pada era yang disebut Reconguista atau penaklukan kembali oleh imperialisme Kristen.
Saya suka Miradouro Nossa Senhora do Monte. Ini titik tertinggi di Lisabon. Boleh jadi titik paling cantik. Saya maklum, mengapa banyak orang betah berlama-lama di sana, walau angin bertiup sedikit kencang. Pemandangannya luar biasa indah. Rumah-rumah penduduk tersusun sedemikian rupa, membentuk struktur yang tak lazim. Sepertinya, setiap bangunan punya tempat untuk muncul. Ada juga kastil yang menyembul dari muka lanskap kota.
Sebagian orang hanya sekedar duduk di sana. Sebagian lain pacaran. Menyaksikan mereka, saya jadi ingat pacar saya di tempat jauh.
Mata saya menggerayangi hamparan kota. Di tengah hamparan itu, sungai Rio Tejo membelah kota. Sungai yang lebar, sekitar 2 kilometer. Di seberang sungai adalah bagian selatan kota Lisabon. Kampus Universidade Nova de Lisboa berada di situ, di kawasan Monte de Caparica.
Saya menghabiskan waktu di universitas ini selama dua minggu. Dari 26 Mei sampai 7 Juni, 2008. Saya ikut Marie Curie Summer School in Emerging Theories and Methods in Sustainability Research (THEMES). Saya mendapat beasiswa Marie Curie dari Komisi Eropa untuk sekolah musim panas ini. Curie adalah nama pemenang dua Hadiah Nobel – fisika tahun 1903 dan kimia tahun 1911.
Kuliahnya padat dan melelahkan, tapi menyenangkan. Senin sampai Sabtu, dari jam 9 pagi sampai 6 sore. Beberapa sesi diakhiri dengan debat antar dosen. Ada 40 peserta. Sebagian besar merupakan peneliti muda yang sedang riset doktoral atau post-doktoral di Eropah dan Amerika Utara.
Para dosen adalah peneliti garis depan untuk Ecological Economics. Apa beda antara Environmental Economics dengannya? Sahabat saya, seorang perempuan cantik dari Spanyol dan salah satu peserta sekolah musim panas, menjelaskannya dengan menarik.
Bayangkan satu kotak korek api dan sebuah kotak sepatu. Dalam Environmental Economics, alam adalah kotak korek api di dalam kotak sepatu. Bila lingkungan hidup hancur, ekonomi tetap baik-baik saja. Alam adalah bagian ekonomi.
Sebaliknya, dalam Ecological Economics, andai lingkungan hidup rontok, ekonomi ikut kolaps. Alam adalah kotak sepatu dan kotak korek api bernama ekonomi ada di dalamnya. Di sini, ekonomi adalah bagian dari alam. Ekonomi ada dalam ekosistem biofisik. Interaksi antara ekologi, ekonomi, manusia dan masyarakat adalah fokus Ecological Economics.
Kami diskusi rupa-rupa. Silvio berbicara runtut dan hati-hati. Tak jarang, ia mengulang pertanyaan saya, agar strukturnya menjadi terang. “Ada baiknya, kamu baca Toxic Torts” katanya satu waktu tentang buku karya Carl Granor. Kami sedang mendiskusikan Newmont, saat usul itu muncul. Produsen emas terbesar di dunia ini bermasalah di kampung saya, di Minahasa. Ia dituding mencemar Teluk Buyat.
“Kamu coba nonton Rashomon,” ujarnya di lain waktu. Rashomon adalah film karya Akira Kurasawa, berputar pada seorang perempuan yang diperkosa, dan suaminya dibunuh. Setelahnya, pembuktian menjadi sulit – kalau bukan tidak mungkin – sebab begitu banyak cerita yang saling berkompetisi, dan sama-sama absah, tentang kasus tersebut.
Film Rashomon diajukan Silvio, sebab saya bertanya ihwal peran sains dalam meneguhkan ketakpastian, uncertainty, dalam mengambil keputusan. Seperti Newmont yang mengajukan sederet hasil riset oleh ahli-ahlinya sendiri untuk membuktikan, mereka bukan pencemar di Buyat, mementahkan bukti-bukti yang diajukan nation-state Indonesia. Dulu di Manado, saya pernah tertidur saat nonton Ran, karya Kurasawa lainnya. Saya terbangun ketika orang mulai beranjak meninggalkan bioskop. Pengetahuan Silvio luas. Darinya, saya juga jadi lebih paham konteks gagasan Habermas, filsuf Jerman, tentang deliberasi dalam pengambilan keputusan.
Setiap peserta sekolah musim panas mesti menulis satu paper bersama. Saya, bersama mahasiswa dari University of Copenhagen dan University of Leeds, menulis tentang pendekatan methodological individualism dan social constructivism untuk konservasi air di Eropah. Dua konsep penting dalam ilmu sosial. Yang pertama mengacu pada anggapan bahwa tindakan manusia merujuk pada kepentingan diri. Yang disebut belakangan, beranggapan bahwa preferensi turut dibentuk kenyataan sosial.
Tipologi tersebut milik Arild Vatn. Saya melihatnya sebagai problematis, sekurangnya karena dua hal. Pertama, social preferences bisa dijelaskan dengan pendekatan methodological individualism. Kedua, ketika kategorisasi “I” dan “We” dibuat Arild, ini mengabaikan dimensi, bahwa perilaku egois bisa mendominasi relasi sosial yang berkarakter kolektif sekalipun.
Bidang ilmu experimental economics punya banyak bukti tentang hal terakhir ini. Terutama, ketika komunikasi sesama pelaku dan kemungkinan untuk menghukum pelaku yang merugikan publik, tidak tersedia. Saya berencana menulis paper tentang kritik ini dengan menggunakan konteks Payment for Ecosystem Services (PES) dan pengaruh kemiskinan dalam konservasi sumberdaya alam.
"Tapi, apa bangunan kelembagaan baru yang bisa diusulkan dari kritik itu?” tanya dia.
“Saya belum sampai di situ, Arild” jawab saya, tersenyum.
Kami lalu bercakap banyak hal. Saya merasa begitu nyaman berdiskusi dengannya.
“Menurutmu, bagaimana masa depan ekonomi neoklasik?”
Saat bertanya, nafasnya agak tersengal-sengal. Jalan yang kami susuri menaik. Kami memang menghindari jalan utama Avenida da Liberdade, memilih jalan-jalan tikus yang menanjak. Dinding-dinding gedung kuning temaram oleh lampu jalan. Sesekali mobil melintas.
Saya tak segera menjawab. Saya memikirkan beberapa skenario jawaban dan kemungkinan tanggapan dia.
“Tidak punya masa depan,” jawab saya seraya melakukan provokasi. Sambil melepas jaket, dengan nafas tersengal-sengal, saya mengajukan beberapa bukti dari ekonomi eksperimental. Berjalan telah membuat kaos saya basah oleh keringat.
“Mudah-mudahan, dalam 20 tahun kedepan, pendekatan ekonomi berubah drastis,” saya menambahkan. “Terutama, karena serangan paling tajam kini datang dari dalam ilmu ekonomi, dengan memakai metodologi serupa.”
Dia tertawa kecil. Sambil mengatur nafasnya, dia memberi jawaban diplomatis. "Mereka - ekonom neoklasik - akan mendifinisikan perubahan tersebut dalam pemahaman mereka sendiri."
Hari sudah larut malam saat kami sampai di hotel.
Pengajar lain adalah Clive Spash, presiden European Society for Ecological Economics, dosen
Saat memberi kuliah, Clive sangat serius. Di luar itu, dia kocak. Satu waktu, dia duduk di samping saya, saat kuliah oleh pengajar lain. Tiba-tiba, dari laptopnya keluar seekor serangga mungil. “Eh, dia ikut saya tanpa beli tiket pesawat,” katanya sambil berbisik pada saya. Kami sontak tertawa sama-sama, sambil menutup mulut dengan tangan agar kelas tak sampai gaduh.
Dahaga keingintahuan saya turut dipuaskan para pengajar lain. Giuseppe Munda dari Universitat Autonoma de Barcelona menjelaskan multi-criteria analysis. Ia suka bercanda ketika memberi kuliah. Felix Rauschmayer dari Helmholtz-Centre for Environmental Research (UFZ) Leipzig, Jerman, memberi kuliah panjang lebar tentang “needs” dalam keragaman preferensi. Para peneliti dari Universidade Nova de Lisboa, Portugal, membawa system dynamics ke dalam kelas. Sungguh memikat, bagaimana partisipasi sosial ditanam ke dalam konsep ini.
Tetapi, Lisabon terlalu cantik untuk dibiarkan habis bersama hal-hal yang bikin kening mengkerut. Kota ini, misalnya, surga bagi penggemar ikan laut. Saya menikmati Salmon dan Bacalhau. Saat berada di Lisabon, nelayan setempat melakukan demonstrasi karena kenaikan harga BBM. Harga minyak dunia memengaruhi banyak orang.
Sesekali saya pergi ke kawasan Baixa-Chiado. Ada tempat nongkrong di sana. Ada musisi jalanan. Ada banyak Cafe yang nyaman. Saya duduk, melihat orang lalu-lalang, menikmati kota yang berdenyut sambil melepas mentari menutup hari. Ada shoping mall di satu sudut jalan. Toko buku bahasa Inggris “fnac” ada di dalamnya. Saya membeli The White Castle karya Orhan Pamuk. Buku tentang seorang cendekiawan Italia yang dijual sebagai budak. Saya menikmati cara penulis Turki ini bertutur. Tahun 2006 Pamuk memenangkan Nobel Sastra.
Saya juga bertemu mahasiswa dari Timor Timur. Saya sedang membeli tiket kereta menuju Belem ketika kami berjumpa. Belem adalah kawasan historis di samping sungai Rio Tejo. Dia antri di depan saya. Namanya Natalino. Belajar geografi di Universidade Católica Portuguesa. Sudah 20 tahun dia mukim di Lisabon. Ia tidak bisa berbahasa Indonesia.
Orangnya ramah. Ia memberi nomor telepon pada saya. “Kalau-kalau kau butuh bantuan di Lisabon,” katanya sambil melepas senyum. Barisan gigi putih tampak rapih di balik bibir tebalnya. Saya punya kedekatan pribadi dengan Timor Lorosae. Tahun 1997 saya mengunjungi Dili. Saya mendukung referendum di Tim-tim untuk penentuan nasib sendiri.
Jelajahi kawasan Alfama bila mampir ke Lisabon. Ini bagian kota yang sarat dengan rumah-rumah berdempet dan jalan sempit. Saking sempit, andai kereta kota lewat, kadang pejalan kaki harus menempelkan tubuh di dinding bangunan. “Kamu bakal tersesat di sana, Sonny,” kata Fraincais, sahabat saya dari Perancis, kimiawan peneliti metabolisme sosial. Apa yang harus saya lakukan bila tersesat? “Kamu nikmati saja ketersesatan itu,” timpalnya sambil tertawa.
Agaknya saya kini sedang tersesat dalam perjalanan intelektual saya. Mirip cendekiawan yang dijual sebagai budak di Istanbul dalam karya Orhan Pamuk itu.
Obrigado, Lisboa! Barangkali saya hanya perlu menikmati ketersesatan itu. ***
Update (1/07/2008)
Greenpeace Magazin edisi Juli dan Agustus, 2008, menulis, ikan Cabalhau berada di urutan pertama daftar kritis ikan laut yang terancam punah. Bagi penggemar ikan ini, tak tersedia alternatif. Salmon dan tuna juga masuk daftar kritis, tetapi mereka punya alternatif. Salmon telah dibudidaya. Sementara ikan tuna, jenis skipjack terdapat pasokan memadai. Saya memutuskan tak lagi memakan Cabalhau.
Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).
Baca juga
Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?
Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?
Membongkar korupsi di utara Minahasa
Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?
Posting terbaru
Komentar