Ini masih tentang kursus bahasa Jerman si Cya. Juga masih soal menghapal artikel penunjuk der, die, das itu.
Semua barang di kamar miliknya dia beri label. Persis di toko mebel. Label-label itu ditempel dengan selotip.
Label Der Kugelschreiber untuk pulpen. Das Buch untuk buku. Der Fernseher dia tempel di atas televisi. Dan seterusnya.
Tiba-tiba, saya merasa, di jidat saya ada selotip.
***
Baca juga ...
- Hari-hari pertama Cya di Goethe Institut 26 Januari 2008
- Jembatan keledai untuk Der Die Das 21 Februari 2008
- Goethe Institut, Jakarta
2 komentar:
Saya tidak habis pikir kenapa orang Jerman, khususnya Marthin Luther, membuat tata bahasa Jerman yang begitu rumit. Dibandingkan bahasa Indonesia yang begitu sederhana, adakah kelebihan bangsa yang punya tata bahasa yang rumit?. Seorang teman yang belajar neurolinguistic pernah bercerita kerumitan tata bahasa berpengaruh terhadap struktur otak. Semakin rumit tata bahasa suatu bangsa, maka struktur otaknya makin mampu dan terbiasa menganalis permasalahan rumit. Jangan-jangan ini yang menyebabkan bangsa Indonesia jauh tertinggal?
Yang jelas kerumitan bahasa Jerman ini membuat mengurungkan saya belajar di Jerman walau sudah 1 tahun pulang pergi ke Goethe Institute. :-)
dendi
hehehe... thanks informasinya. Mungkin ini membantu menjelaskan kenapa orang Jerman terbiasa dengan yang rumit-rumit. Mungkin juga ini salah satu faktor yang menyebabkan bangsa ini lebih maju relatif atas kita - tetapi mungkin bukan satu-satunya faktor.
Martin Luther membantu "memberi dasar" bagi bahasa Jerman modern, yang kemudian diajarkan Goethe Insitut itu...hehehe. Btw, hari ini, saya baru saja mengantar teman ke tempat Luther menulis 95 thesis nya yang terkenal, di Wittenberg.
Di Belgia, mungkin lebih unik lagi ya ... soalnya, banyak dan rame banget bahasanya. Macem-macem.
- S
Posting Komentar