01 April, 2008

Mimpi Aneh Kaum Muda

Akhmad Rizal Shidiq
Diskusi Ekonomi, 29 Maret 2008

Catatan: Penulis adalah dosen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, peneliti LPEM-UI, dan mahasiswa doktoral di George Mason University, AS. Tulisan ini adalah tanggapan Shidiq atas polemik tentang ekonomi pasar sosial (Epasos) di harian Kompas. Polemik yang turut dipicu tulisan saya "Ekonomi pasar sosial?" (Sonny Mumbunan, Kompas, 21/11/2007).


Menurut Sukardi Rinakit (Kompas, 4/12/07) kaum muda Indonesia, --entah kaum muda yang mana --, sedang dihantui mimpi buruk; didatangi arwah Soekarno, Hatta, dan Sjahrir yang meminta warisannya, Republik ini, dijaga. Salah satu caranya adalah dengan mengamalkan kembali ajaran lama, yang kemudian diterjemahkan dalam sebuah istilah Ekonomi Pasar Sosial (Epasos) ala Indonesia. Saya tidak tahu apa jadinya kalau yang datang arwah Tan Malaka.

Susahnya model Epasos ala Indonesia ini tidak lazim, Model ini tidak sama dengan interpretasi Sonny Mumbunan (Kompas, 21/11/07) yang dengan jernih menguraikan asal muasal istilah Epasos, yang lahir di Jerman selepas Perang Dunia kedua. Menurut Sonny, secara singkat, Epasos ala Jerman adalah kapitalisme dengan wajah yang diusahakan humanis.

Sementara itu, definisi Epasos ala Indonesia menurut Sukardi, --supaya tidak salah interpretasi, saya kutip utuh-- adalah sebagai berikut
:
“...Secara filosofis, apa yang saya bayangkan dari epasos model Indonesia adalah menempatkan keluarga sebagai unsur dominan dalam paradigma pembangunan berdampingan dengan negara. Negara-negara kesejahteraan Eropa selama ini menempatkan keluarga dalam kotak marjinal bersama dengan pasar. Adapun negara mempunyai peran dominan. Sebaliknya, negara-negara penganut neoliberal, seperti Amerika Serikat, menempatkan pasar dalam kotak dominan. Sementara itu, peran negara dan keluarga adalah marjinal...”

Dari satu paragraf ini kita akan membahas beberapa kerancuan berpikir yang terjadi dalam membayangkan sebuah konsep sistem perekonomian.

Model Epasos ala Indonesia memasukkan agen baru, yaitu keluarga. Saya kira keluarga dalam hal ini bukanlah terjemahan dari household (rumah tangga) yang lazim didapati dalam model circular flow interaksi perekonomian antara perusahaan, rumah tangga, dan negara, yang selalu diajarkan dalam kuliah pertama Pengantar Ekonomi. Keluarga dalam hal ini lebih mirip entitas sosiologis, sebuah sistem kekerabatan.

Persoalan akan muncul dalam upaya memasukkan sistem kekerabatan sebagai kategori sosiologis dalam sebuah sistem perekonomian, Tapi sebelumnya ada baiknya, kita perlebar perspektif kita tentang kategorisasi berbagai sistem perekonomian dalam kajian ekonomi politik, yang sebagian telah disinggung dalam kutipan di atas.

Kita mulai dari sistem pasar bebas. Dalam sistem ini, sumberdaya dimiliki oleh individu atau swasta. Alokasi sumberdaya tersebut, dalam mengatasi persoalan kelangkaan, dilakukan melalui mekanisme pasar, atau perdagangan. Harga, dalam mekanisme tersebut, berfungsi sebagai sumber informasi bagi para pelaku pasar (individu) dalam melakukan kegiatan ekonomi (produksi, konsumsi, perdagangan) dan menentukan arah pergerakan sumberdaya (alokasi) menuju efisiensi.

Bergerak ke kiri, di sisi lain, dalam sosialisme dan ekonomi terpimpin (planned economy), sumberdaya hampir semuanya dimiliki oleh negara. Alokasi sumberdaya juga dilakukan oleh negara melalui aparatus perencanaan, produksi, dan distribusi. Informasi pasar dikumpulkan dalam sebuah biro perencanaan yang serba tahu.

Tentu pada prakteknya, negara-negara di dunia berada di antara dua kutub tersebut. Seberapa besar peran pemerintah vis-a-vis swasta adalah soal derajat. Welfare states, atau negara kesejahteraan, adalah salah satu variannya. Di sini, hak milik pribadi sangat dominan dan ditegakkan, tetapi negara mengatur alokasi sumberdaya di bidang-bidang kesejahteraan sosial, terutama kesehatan, pendidikan, dan juga kesempatan kerja. Cara pembiayaan untuk subsidi dan tunjangan bidang kesejahteraan sosial tersebut adalah melalui perpajakan yang relatif tinggi.

Dalam model sosialisme, pasar bebas, dan welfare states, memang tidak pernah ada elemen sistem kekerabatan, atau keluarga. Jadi bagaimana mungkin yang tidak ada kemudian ditaruh dalam kotak marjinal, sebagiamana dilansir dalam kutipan di atas?

Menolak sistem pasar bebas sekaligus welfare states, sembari memasukkan elemen baru bernama keluarga, kemudian membawa dua pokok dalam sistem perekonomian: Apakah sumberdaya dimiliki oleh sistem kekerabatan? Bagaimana alokasi sumberdaya dilakukan dalam sistem kekeluargaan tersebut?

Sejarah kepemilikan sumber daya bergerak dari sistem komunalisme menuju ke sistem kepemilikan pribadi. Apakah kemudian kembali ke sistem kekeluargaan berarti semacam nasionalisasi, tapi kali ini dilakukan atas nama sistem kekerabatan?

Yang lebih krusial adalah soal bagaimana kemudian sumberdaya dialokasikan secara efisien dalam sistem kekeluargaan. Bagaimana informasi soal kelangkaan di satu tempat disampaikan ke tempat yang mengalami kelebihan? Bagaimana caranya anggota-anggota sistem kekerabatan menentukan berapa yang hendak diproduksi, dikonsumsi, dan dipertukarkan?


Soal-soal ini pernah dicoba dijawab dengan gagah berani melalui sistem ekonomi perencanaan, atau sosialisme. Tapi saya kira aman kalau kita bilang ekonomi sosialisme adalah proyek yang hanya berhasil menghasilkan diktator. Reproduksi model tersebut, dengan mengganti kata negara menjadi keluarga, saya kira adalah resep menuju kegagalan yang kemungkinan besar lebih dalam. Secara konseptual bahkan Epasos ala Indonesia tersebut lebih lemah ketimbang ekonomi terpimpin yang gagal tersebut.

Lalu mengapa kemudian sistem pasar tidak ditengok sebagai solusi? Mengapa kaum muda intelektual tersebut menghindari sistem pasar?

George Stigler (1984) dalam bukunya, “The Intellectual and the Marketplace” menulis bahwa ketidaksukaan kaum intelektual terhadap sistem pasar terutama sekali karena ketidaktahuan mereka terhadap logika dan cara kerjanya.

Misalnya, Bryan Caplan (2007) dalam “The Myth of Rational Voters: Why Democracies Choose Bad Policies”, mencatat bahwa sentimen anti pasar terjadi karena publik tidak memahami bahwa pembayaran dalam pasar (market payment) tidak sama dengan transfer (pemberian tanpa syarat). Atau dengan kata lain, profit (yang selalu dipandang rendah) bukan hadiah atau setoran.Profit atau pembayaran dalam pasar dilakukanhanya setelah seseorang melakukan sesuatu usaha.

Kedua, publik tidak memahami bahwa monopoli bukan hasil, tetapi bentuk kegagalan sistem pasar membentuk harga dan alokasi sumberdaya yang benar. Sistem pasar yang berhasil (dengan pergerakan keluar masuk pasar yang bebas) tidak akan menciptakan monopoli. Secara konseptual perilaku monopolistik sendiri selalu terancam gagal, apalagi bila melibatkan banyak pemain pasar. Dengan demikian, menyamakan perilaku monopoli dengan sistem pasar, tentu saja jauh panggang dari api.

Masih terkait dengan kegagalan membedakan monopoli dengan sistem pasar adalah kecenderungan publik menyalahkan monopolis (yang kemudian disamakan dengan pasar) apabila terjadi kenaikan harga. Monopoli bisa dipersalahkan untuk harga yang tinggi, tetapi bukan harga yang naik --karena monopolis sudah menetapkan harga yang paling tinggi pada tingkat penawaran dan permintaan tertentu (Landsburg, 2007).

Ketiga, terdapat kecenderungan intelektual untuk memberikan label tertentu yang salah alamat. Misalnya, menyatakan bahwa Amerika Serikat adalah negara neo-liberal. Karakter neo-liberal, hantu yang belum terdefinisi dengan jelas, adalah pasar yang bebas dan peran negara yang minimal. Situasi ekonomi politik Amerika Serikat saat ini belum memenuhi persyaratan tersebut. Subsidi pertanian masih besar, tunjangan sosial masih dilakukan, proteksi dan pembatasan imigrasi masih kerap terjadi, dan yang jelas, peran negara masih besar dalam aktivitas ekonominya. Debat soal perlunya upaya bail out pemerintah dalam krisis sub prime mortgage belakangan ini adalah contoh jelasnya.

Agenda neo-liberal sejati, jika memang ada, masih berada di luar sistem utama ekonomi politik AS, dan masih terus disuarakan dari pinggir oleh para pendukungnya; sementara realitasnya pendulum politik bergerak tidak jauh dari tengah, sebatas isu seberapa besar subsidi atau tax cut yang akan dilakukan.

Di dalam negeri, upaya labeling juga problematis. Bagaimana mungkin kita menganggap SBY pro pasar, manakala ia menyatakan bahwa harga BBM tidak akan naik tahun depan, alias subsidi akan terus dijalankan. Atau misalnya, Megawati yang dalam masa pemerintahannya, Letter of Intent dengan IMF ditandatangani menteri-menterinya, adalah pembela ekonomi kerakyatan.

Jadi, daripada bermimpi di siang bolong, lebih baik kaum muda Indonesia bekerja dengan sebaik-baiknya, berpikir sedikit lebih jernih dan tertata, terbuka terhadap perubahan, berani berbeda pendapat (sekalipun dengan pendiri bangsa), dan menyebar dalam berbagai pandangan ekonomi politik. Demokrasi yang sehat tidak menawarkan pandangan yang seragam dan final, tetapi sebuah proses yang tidak pernah berhenti, dan membuka peluang untuk koreksi kesalahaan tanpa lewat paksaan dan kekerasan.

Dan seperti kata Kang Mohamad Sobary (Kompas, 2/12/07), kaum muda perlu menghormati demokrasi dengan menghindari kemalasan membentuk partai politik jika ingin menyatukan kekuatan untuk memperbaiki negeri ini dari jalur kekuasaan. ***

Baca juga

  • Kaum muda - Sukardi Rinakit. Kompas, 4 Desember 2007.


Tidak ada komentar:












Menangkap ikan di Danau Tondano, Sulawesi Utara (Foto: S Mumbunan).

Baca juga

Salah kaprah "Ekonomi pasar sosial"?

Elite muda Jakarta bikin ikrar. Mereka mengibarkan ekonomi pasar sosial dan sosial-demokrasi. Adakah yang keliru dengan konsep kaum muda itu?

Membongkar korupsi di utara Minahasa

Bupati Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara, menuntut warganya sendiri milyaran Rupiah. Mengapa anak-anak muda setempat melawan Bupatinya? Apa kaitannya dengan Kutai Kartanegara, di Kalimantan Timur?


Posting terbaru

.

Komentar