Jerman memraktekkan sistem kesehatan menyeluruh bagi warganya. Bagaimana efisiensi sumberdaya dikenalkan sambil menjamin akses warga atas layanan kesehatan? Sebuah pengalaman pribadi.
Pintu ruang praktek dokter Rieger masih tutup, ketika saya tiba. Hari masih pagi, sekitar jam 8.
Dokter Rieger adalah dokter lokal untuk empat asrama mahasiswa di kawasan Leipzig Zentrum Suedost, tempat saya tinggal. Usia perempuan ini sudah lanjut. Ia dikenal ramah pada pasien.
Saya orang kedua yang diperiksa pagi itu setelah seorang nenek yang sudah bikin janji dengannya. Sejak awal Januari saya dijangkiti batuk yang tak berhenti. “Lho, kenapa baru kemari sekarang?“ tanya dia. Saya cuma tersenyum kecut.
Setelah memeriksa saya, dia bilang batuk saya antara lain disebabkan meningkatnya kadar asam dalam perut. Ini memicu paru-paru memroduksi batuk. Sebelumnya dia tanya, apa saja yang saya makan akhir-akhir ini.
Di kertas resep, dia menulis Omeprazol-biomo. Ini adalah kapsul yang harus saya minum tiap setengah jam sebelum sarapan pagi.
“Kamu tinggal di Sumatra?”, tanya dia di sela-sela pemeriksaan. Saya bilang, bahwa saya tinggal di utara Sulawesi yang tidak disapu tsunami.
Dia juga menulis surat rujukan agar saya melakukan Roentgen di klinik radiologi milik Universitas Leipzig. Dengan jalan kaki, klinik itu dicapai tak sampai 10 menit dari asrama saya. Hasil sinar Roentgen akan dikirim padanya lewat pos.
“Seperti yang Anda baca di ruang tunggu,“ ujar dokter Rieger sambil menulis surat rujuk itu, “Anda membayar 20 Euro.” Saya lalu mengambil dompet. “Tetapi, Anda kan masih mahasiswa. Anda cukup bayar 10 Euro saja.” Saya tersenyum dan merogoh saku.
Di ruang tunggu saya memang lihat pengumuman biaya dokter. Di print tebal di atas kertas putih dengan tinta warna merah.
Di ruang itu, sambil menunggu giliran periksa, saya melanjutkan membaca buku Tim Harford, The Logic of Life. Buku menarik, ringan dibaca, tentang logika ilmu ekonomi sehari-hari. Sebagian besar argumentasi Harford, sayangnya, masih bersandar pada konsep rasionalitas yang terbukti kurang akurat oleh behavioural economics.
Saya menebus resep obat tersebut malamnya di Loewen-Apotheke, di Augustuzplatz, di pusat kota Leipzig. Saya membayar 29 Euro untuk 50 biji kapsul ukuran 20 miligram.
Rupanya saya adalah bagian dari sebuah sistem besar yang bekerja. Jerman memiliki sistem pelayanan kesehatan publik salah satu yang terbaik di dunia.
Di negeri ini, sejak reformasi sektor kesehatan, setiap orang sakit membayar 10 Euro (atau 20 Euro, tergantung dokter). Bayaran itu hanya dipungut satu kali dan berlaku untuk 3 bulan. Sebelumnya pasien tidak membayar sama sekali.
Reformasi sektor kesehatan itu uniknya berlangsung dibawah pemerintahan sosial-demokrat. Sosial-demokrasi adalah paham tentang pengorganisasian masyarakat, diyakini sebagian besar orang Jerman.
Paham ini beranggapan, antara lain, bahwa setiap warga negara memiliki akses atas layanan kesehatan. Sebagai bagian dari sistem jaminan sosial, baik warga negara Jerman ataupun pendatang mesti terdaftar dalam asuransi kesehatan.
Dulu, asuransi hanyalah asuransi yang disebut Gesetzliche Krankenversicherung (GKV). Ini asuransi yang dikelola negara. Sejak reformasi tersebut, asuransi model swasta juga dikenalkan, Private Krankenversicherung (PKV).
Termasuk dikenalkannya 10 Euro itu. Saya duga, ini cara kaum sosial-demokrat mencari jalan tengah antara akses kesehatan bagi seluruh warga negara di satu sisi, dan efisiensi penggunaan sumber daya kesehatan, di sisi yang lain.
Kedua macam asuransi ini punya keunggulan dan kelemahan. GKV misalnya lebih mahal dibanding asuransi privat PKV, sebab asuransi GKV mengandung elemen solidaritas. Ada bagian iuran asuransi ini yang dipakai untuk membantu mereka yang tidak mampu.
Sebagai gambaran, seorang mahasiswa membayar sekitar 60 Euro setiap bulan bila menggunakan GKV. Ini setara dengan sekitar 780 ribu Rupiah. Mereka yang sudah bekerja, membayar lebih mahal berdasarkan tingkat pendapatan.
Warga negara diberi kebebasan memilih asuransi mana yang disukai. Adalah menarik bahwa sebagian besar orang Jerman memilih asuransi yang lebih mahal.
Menurut KBV (Kassenaerztliche Bundesvereinigung), sebuah persatuan dokter Jerman, pada tahun 2006 terdapat sekitar 70 juta orang Jerman yang menggunakan GKV. Asuransi privat PKV digunakan oleh 8,5 juta orang. Saya sendiri pernah menggunakan kedua jenis asuransi ini.
Tiga hari kemudian saya datang kembali pada dokter Rieger.
“Dokter, kok batuk saya belum kunjung reda?“ tanya saya.
“Obat butuh minimal tiga hari untuk dinilai efeknya”. Dia melirik kalender. Saya datang pertama kali 4 Februari, 2008. Dia juga menelpon Klinik Universitas dan menanyakan hasil Roentgen saya.
Dia memeriksa bidang lidah saya. Tak lama kemudian ia membuka buku katalog obat yang tebal, warna putih, dan menulis resep baru. Kali ini saya diberi Symbicort Turbohaler. Obat dalam bentuk serbuk, yang harus saya hisap setiap pagi dan saat malam tiba.
Di apotek yang sama saya membeli obat ini. 80 mikrogram, dosis 4.5, untuk 120 kali hisap. Harganya 69 Euro. Lebih dari dua kali dibanding harga obat pertama.
Kecuali 10 Euro itu, semua biaya pengobatan saya akan diganti asuransi kesehatan. Saya cukup mengirim kuitansi dan resep dokter guna memperoleh penggantian tersebut.
Bagaimana Jerman membiayai sistem kesehatannya? Bagaimana negeri ini menyekolahkan gratis lalu membiayai orang-orang seperti dokter Rieger yang kompeten dan ramah melayani pasiennya?
Saya melihat kuitansi obat. Pajak Pertambahan Nilai tertulis sebesar 19 persen. Hampir dua kali lipat dibanding pajak sejenis untuk obat di negeri saya.
***
Baca juga